28 : Cerita Dari Mereka Yang Sudah Dewasa

1318 Kata
           Lima tahun kemudian.             Jika harus dijabarkan dalam sebuah diary kecil maka jangka waktu lima tahun pasti akan memakan berpuluh-puluh buku untuk bisa dituliskan. Lima tahun itu bukan waktu yang sebentar, mengingat seorang bayi kecil bisa mulai merangkak bahkan sampai mulai berjalan diusianya yang kelima tahun. Akan banyak cerita serta proses yang akan terjadi di dalamnya.             Begitu pula lima tahun yang sudah dijalani oleh Nabila Farisha Kusnandi.             Hari-harinya masih sama seperti sebelumnya. Gadis itu akan belajar dengan giat di setiap malamnya, membantu sang ibu memasak jika hari-harinya sedang kosong, berbicang dengan ayahnya ketika beliau baru saja pulang dari kantornya, bermain bersama Lalisa, Zinde, Raka dan Aksa, dan terakhir yang tak pernah absen adalah Barga.             Nabila ingat beberapa tahun lalu ketika ujian kelas tiga menyambutnya untuk kelulusan, dirinya benar-benar fokus menghabiskan hari-harinya hanya untuk belajar. Karena bagaimanapun juga Nabila masih merasa bahwa pendidikan harus menjadi nomor satu untuknya dan dia masih mempunyai cita-cita untuk membanggakan kedua orang tuanya.             Dan sekarang segala usaha yang sudah dia kerahkan selama lima tahun benar-benar membuahkan hasil yang jelas karena sejak satu minggu lalu Nabila sudah berhasil menyelesaikan kuliah kedokterannya dan lulus sebagai dokter spesialis kesehatan anak pada salah satu Universitas di kota Malang.             Awalnya Nabila sempat bingung ingin mengambil jurusan apa ketika berkuliah, tapi ingatan tentang Barga yang sering menelponnya setiap jam 10 malam hanya untuk diobati setelah kecelakaan membawa Nabila pada akhirnya memilih jurusan kedokteran. Dan untuk spesialisnya sendiri itu karena Nabila sangat menyukai anak-anak, menurutnya menyembuhkan anak-anak merupakan satu tindakan yang sangat mulia dan sangat ingin dia lakukan.             Selama empat tahun menempuh pendidikan di kota yang berbeda membawa banyak pengalaman tersendiri untuk Nabila terutama dalam mengatasi rasa takut akan kejadian yang pernah menimpanya. Untungnya ada banyak orang-orang baik yang berada di sekelilingnya. Dia mendapatkan teman-teman kuliah yang baik, orang tua yang selalu menanyakan kabarnya, teman-temannya di kota sebrang yang juga sering bertukar pesan dengannya dan yang paling penting adalah Barga yang tidak pernah absen mengiriminya pesan.             Bicara tentang Barga, sekarang laki-laki itu tengah duduk di depan Nabila dalam sebuah restoran yang menjadi tempat pertemuan mereka malam ini. Barga bilang ini adalah  makan malam khusus sebagai perayaan atas kelulusan Nabila. Gadis itu memperhatikan Barga yang sedang serius pada ponselnya selagi menunggu makanan mereka berdua datang.             Tanpa sadar senyum Nabila terulas begitu tipis, entah mengapa dia merasa begitu bersyukur bisa berada di samping Barga hingga saat ini. Laki-laki itu banyak sekali berubah, dia menjadi lebih tinggi hingga terkadang Nabila harus mendongak hanya untuk melihat wajahnya. Barga juga jadi sedikit lebih banyak bicara dibandingkan dengan sewaktu sekolah dulu, apalagi ketika Nabila masih berkuliah, laki-laki itu yang akan paling cerewet dengan membombardir pesannya untuk selalu mengingatkan makan, tidur, dan kegiatan-kegiatan kecil lainnya. Apalagi karena Nabila tinggal jauh dari rumah waktu itu.             Tapi untungnya semua hal berjalan dengan begitu normal, dan Nabila sudah sembuh dari bayang-bayang kejadian beberapa tahun lalu yang sempat menimpanya, walaupun terkadang masih ada sedikit ketakutan yang menghantuinya ketika dia pergi sendirian tapi untungnya semua tetap berjalan dengan baik-baik saja.             “Bil, kamu yakin enggak mau terima tawaran Papaku?”             Nabila tersentak kecil ketika Barga mengangkat wajahnya secara tiba-tiba. Barga yang menangkap basah ekspresi terkejut Nabila hanya tersenyum tipis selagi meletakkan ponselnya ke meja.             “Kamu kenapa, hm?”             “Enggak apa-apa, aku cuma lagi mikir aja tadi, Ga.”             “Mikirin apa? Kalo salah satu dari banyak hal yang kamu pikirin ada akunya, aku nggak masalah kalo kamu mau bengong lagi.”             Nabila terkekeh mendengarnya. “Apaan sih kamu.”             Satu hal lain yang lupa Nabila sebutkan terhadap perubahan Barga adalah laki-laki itu menjadi sangat menyebalkan dan percaya diri, seperti tadi contohnya.             “Aku serius nih sekarang, buat pertanyaan tadi kamu beneran enggak mau pikirin lagi tawarannya? Di sana udah ada Dokter Sonda dan kamu udah kenal banget sama dia, jadi aku nggak perlu khawatir karena udah ada dia yang jagain kamu di sana.” Barga kembali bicara, mengungkit lagi lembaran kisah yang harus Nabila putuskan setelah kelulusannya.             Nabila berdecak. “Aku bukan anak kecil lagi, kamu nggak perlu khawatirin aku sebegitunya, Barga. Aku udah bisa jaga diri aku sendiri.” Jujur saja, sebenarnya topik ini adalah topik paling sensitif untuk Nabila sebab, ketakutan Barga adalah sebuah hal yang paling sering terjadi untuknya.             Masih terkait kasusnya beberapa tahun lalu, Barga selalu bilang bahwa dia tidak mau kecolongan lagi, laki-laki itu sebisa mungkin ingin menjauhkan Nabila dari segala hal jahat disekitarnya. Barga hanya ingin Nabila bahagia dan Nabila tau itu, tapi terkadang cara Barga menjaganya terkesan terlalu berlebihan sehingga Nabila tak nyaman.             “Aku udah sering bilang kan sama kamu, jangan takut karena aku udah nggak apa-apa.”             Barga menyenderkan tubuhnya pada kursi sembari mendesah pasrah. “Oke, maafin aku,” kata laki-laki itu memilih untuk menyerah.             Melihat mood Barga yang sepertinya berkurang membuat Nabila jadi merasa bersalah, padahal maksudnya tidak seperti itu. Dia hanya ingin mengingatkan Barga bahwa dirinya benar-benar baik sekarang, apalagi Barga selalu menjaganya dengan baik dan tidak pernah melukainya, harusnya laki-laki itu menyadarinya.             “Jangan marah,” ujar Nabila semakin merasa bersalah.             Barga kembali menegakkan tubuhnya dan melihat gadis itu. “Aku nggak marah, Sayang.” Tangan kirinya sampai terjulur untuk mengelus tangan kanan Nabila, meyakinkan gadis itu bahwa Barga memang tidak akan pernah bisa marah padanya.             “Aku tuh sebenernya pingin istirahat dulu, Ga. Kamu tau kan kemarin-kemarin aku sibuknya kayak apa, dan kuliah dokter kemarin beneran bikin aku rada stress terlebih lagi ngambil banyak waktu aku buat seneng-seneng. Jujur aja aku cape dan… kangen kamu, karena beberapa tahun kebelakang cuma ada sedikit waktu yang bisa aku habisin bareng kamu walaupun kenyataannya kita masih sering video call, tapi aku kangen yang kayak gini, ngobrol langsung sama kamu dan bisa liat kamu secara langsung.”             Sepanjang Nabila bicara selama itu pula Barga tidak mengalihkan tatapan dari gadisnya itu. Langka sekali rasanya mendengar Nabila mengatakan kalimat seperti itu, terlebih dia benar-benar terlihat lelah padahal Barga sangat tau bahwa belajar adalah kegiatan yang paling amat dia sukai.             Sebenarnya selelah apa gadisnya ini?             “Oke, aku paham. Nanti aku bakal bilang Papa buat undur dulu tawarannya karena kamu butuh ruang buat istirahat. Baru satu minggu setelah kelulusan kamu, dan masih ada banyak waktu ke depan yang bisa kamu habisin bareng aku. Sekarang udah seneng belum?”             Tanpa perlu menjawab, senyum lebar yang terbit di bibir Nabila seolah sudah menjawab semuanya. Menjawab seberapa beruntungnya gadis itu memiliki Barga di sisinya.             “Barga, makasih banyak ya.”             “Anytime, sayang.” Barga memasang senyum terbaiknya untuk Nabila. “Kalo kamu mau pergi kemana pun buat refreshing, kabarin aku ya. Aku pasti bakal selalu sempetin waktu aku buat kamu, asal bukan waktu jam terbangnya aku.”             Ah ya, Nabila belum bercerita ya tentang apa pekerjaan kekasihnya ini? Lima tahun lalu setelah lulus, Barga memutuskan untuk tidak mengambil alih perusahaan Papanya sehingga Raka lah yang menjadi pengganti disana, alih-alih menjadi direktur di sebuah perusahaan besar, Barga justru memilih untuk menjadi seorang Pilot. Dia sudah mendapatkan predikat layak terbang sejak satu tahun lalu dan Nabila sangat amat bangga terhadap pencapaiannya.             Sedikit tidak menyangka memang bahwa pada akhirnya jalan itulah yang Barga pilih, tapi apapun keputusan laki-laki itu Nabila akan selalu berada di sampingnya untuk memberi semangat dan tidak pernah sekalipun melarang apapun yang ingin laki-laki itu lakukan.             Aneh memang, sewaktu sekolah dulu Barga senang balapan, tapi sekarang dia justru menerbangkan sebuah pesawat pada jam terbangnya.             Nabila kira awalnya akan sedikit susah mencari jam untuk menelpon Barga kala dia masih bersekolah di Malang, tapi ternyata Barga yang selalu menghubunginya lebih dulu dan itu cukup sering. Entah sebelum lepas landas, atau setelah mendarat, pasti laki-laki itu akan menyisihkan beberapa waktunya untuk menghubungi Nabila.             Dan untuk semua itu Nabila jadi semakin bersyukur karena memilikinya.             Kisah dewasa di lima tahun belakangnya terangkum dalam kisah-kisah itu, mungkin Nabila bisa menceritakan kisahnya lain kali, karena untuk saat ini Nabila hanya ingin fokus dengan apa yang ada di masa depannya.             Tentu saja, pasti Barga akan menjadi salah satu dalam kisah masa depannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN