Pagi ini Nabila terus disibukkan dengan berbagai macam hal yang memusingkan. Dimulai dari spam chat dari Zinde yang terus menyuruhnya ini dan itu─Seperti mandi dengan sabun yang banyak, luluran, sikat gigi tiga kali, pakai masker, dan sebagainya─lalu ditambah dengan ibunya yang terus saja mengomel karena melihatnya bolak-balik, dan terakhir karena Barga yang mendadak hilang tanpa kabar.
Nabila sudah bisa menebak bahwa Zinde adalah orang yang kelewat cerewet, mengingat bagaimana waktu dulu, dia kerap kali mengganggu Nabila dengan melontarkan berbagai macam kalimat yang pedas, tapi siapa sangka kalau mereka bisa sedekat ini sekarang? Semesta memang suka selucu itu.
Kalau soal Barga, Nabila sungguh tidak paham apa-apa, padahal semalam mereka baru saja melakukan videocall, tapi pagi ini dia langsung menghilang tanpa kabar, dan Nabila tidak mendapatkan ucapan selamat pagi dari laki-laki itu.
Drrtt... drrttt..
Ponselnya yang berada di atas nakas bergetar, Nabila langsung membuka pesan itu tanpa melihat terlebih dulu siapa pengirimnya, sudah bisa ditebak bahwa itu pesan dari Zinde.
Zinde Ceysara
Gue di depan pintu lo.
06.09
Zinde Ceysara
Kampret, digedorgedor geh nggak dibuka.
06.09
Zinde Ceysara
GUE DOBRAK NIH YA?!
06.10
Dengan gerakan cepat Nabila membuka pintu kamarnya, kedua matanya membulat begitu melihat banyak sekali gaun yang dibawa oleh gadis itu, Zinde tidak sendiri, ada Lalisa juga disana yang sudah menyunggingkan senyum tanpa dosanya.
"Lo ngapain sih? Gue gedor dari tadi nggak dibuka-buka, untung aja nyokap lo nggak marah." Zinde meletakkan gaun gaun bawaannya di tempat tidur, dia mendekat pada Nabila, lalu meleliti gadis itu dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Cakep!" katanya penuh semangat, "lo ngelakuin semua yang gue suruh ‘kan?"
Nabila mengangguk cepat.
Zinde berpaling pada Lalisa, gebetan dari si ketua OSIS. "Acara mulai jam berapa, Sa?"
"Kata Aksa sih jam sembilan, tapi mungkin agak ngaret."
"Oke, kita─ah, bentar. Gue mau ke kamar mandi dulu." Zinde melipir masuk ke kamar mandi tanpa memperdulikan tatapan heran dari Nabila dan Lalisa.
"Kadang gue heran, kok kita bisa jadi deket sama dia sih?!" Lalisa menggelengkan kepalanya pelan, mengenal dekat seorang Zinde memang sebuah keajaiban.
"Sa..." Nabila memilin jemarinya, ragu. "Lo dapet kabar nggak ... dari Barga?"
Untuk sesaat Lalisa mengernyit, namun sedetik kemudian tawanya pecah. "Aduh ... kenapa sih? Khawatir? Dia kan lagi bantu-bantu di sekolah, ini acara besar, Raka aja ikutan bantuin Aksa di sekolah."
Memang Nabilanya saja yang kelewat khawatir.
"Tapi dia nggak ngabarin gue...." Suara Nabila melemah, merasa takut dan malu di saat yang bersamaan.
Lalisa terkekeh lagi, "tenang aja deh. Nanti juga lo bakal ketemu sama dia."
"UDAH SIAP?!"
Nabila berjengit kaget dengan kemunculan Zinde yang tiba-tiba, gadis itu nyengir polos di hadapannya, entah sejak kapan, tapi di genggaman Zinde sudah banyak peralatan make up yang akan mereka pakaikan untuk Nabila.
Nabila harus menelan salivanya dengan susah payah, begitu melihat Zinde menyunggingkan seringaian bersamaan dengan pekikan senangnya yang terdengar, "Mulai!"
Untuk hari ini, Nabila hanya bisa pasrah.
###
Hari ini smansa terlihat lebih ramai daripada biasanya, ulang tahun yang diadakan tahun ini begitu ramai. Karena tidak seperti tahun-tahun kemarin, tahun ini mereka mengundang salah satu band terkenal yaitu payung teduh, dan anak-anak dari sekolah lain pun di perbolehkan masuk dengan membeli tiket.
Pukul delapan tepat, Nabila sampai bersama dengan Zinde dan Lalisa. Aura sekitar langsung berubah begitu melihat kedatangan mereka, bak putri yang baru saja datang dari istana, entah mengapa Nabila terlihat begitu cantik hari ini.
Dengan gaun putih, flower crown yang melingkar indah di kepalanya, serta make up yang terlihat pas sekali dengan wajahnya, Nabila terlihat begitu cantik. Dan sekali lagi Nabila ingin berterimakasih, semua ini berkat Zinde dan Lalisa.
Manik mata gadis itu menemukan keberadaan Jeno diantara kumpulan laki-laki berkaus putih─sangat identik dengan smanda, berbeda dengan smansa yang justru lebih mendominasi penggunaan kaus putih.
Jeno tersenyum ke arahnya seraya mengacungkan ibu jarinya tanda pemberi semangat, laki-laki itu tidak bisa mendekat karena tahu bahwa ini bukan daerah sekolahnya, apalagi Nabila harus bersiap-siap untuk menjadi mc.
"Lo nggak apa-apa ‘kan?" Lalisa bertanya disela langkahnya, melihat bagaimana keringat mulai bercucuran dari dahi Nabila. Entah karena cuacanya yang mendadak panas atau karena Nabila yang merasa gugup.
"Barga mana sih?" Nabila berucap lirih, dia butuh semangat dari laki-laki itu untuk mengatasi rasa gugupnya.
"Gue disini."
Ketiganya menoleh, Barga sudah berdiri di belakang Nabila dengan raut kelelahan, namun begitu manik matanya bertemu pandang dengan Nabila, Barga langsung tersenyum.
Barga melirik sekilas jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, lalu tangannya terulur ke arah Nabila, "mau ikut gue bentar nggak?" tanyanya dengan suara lembut.
Sungguh, semua orang yang mendengar bagaimana cara Barga bicara kepada Nabila pasti akan merasa iri. Apalagi setelah melihat bagaimana pipi Nabila merona bersamaan dengan jemari gadis itu yang menyambut uluran tangan Barga.
"Pinjem bentar ya, princess-nya." Barga mengedipkan sebelah matanya ke arah Zinde dan Lalisa, membuat keduanya sontak mendengus geli tapi juga bahagia di saat yang bersamaan.
Barga berbalik, menarik pelan jemari Nabila agar berjalan beriringan di sampingnya. Barga memiringkan kepalanya, agar bisa melihat dengan jelas bagaimana wajah Nabila saat ini "Lo cantik ... dan gue suka."
"Ga ...." Nabila merengek, wajahnya semakin merah padam.
"Apa sayang?"
"Ish! Barga!"
"Iya-iya." Barga mengusap puncak kepala Nabila pelan, padahal dia ingin sekali mengacak-ngacak rambut gadis itu karena kelewat gemas, tapi Zinde pasti akan marah nantinya. Jadi, Barga harus mengurungkan niatnya itu.
"Kok kita ke belakang panggung?" Nabila bertanya begitu menyadari bahwa langkah kaki mereka menuntun ke belakang panggung, ada sirat kecewa dalam suaranya, terdengar jelas sekali sehingga Barga harus mati-matian menahan senyumnya.
"Bentar lagi mau mulai," Barga memberi pengertian, dia mendorong bahu Nabila pelan agar menduduki sebuah kursi yang sudah di siapkan sedari tadi. Dengan gerakan cepat, Barga juga mengambil satu gelas air minum untuk Nabila.
"Minum dulu."
Nabila menerima air itu dan meminumnya dengan patuh. Setelah selesai, Barga menarik sebelah tangan Nabila yang sempat dia genggam, lalu menyiram telapak tangannya dengan air yang masih tersisa, melihat ada tanya dari raut wajah Nabila, Barga sontak bicara.
"Tangan gue kotor tadi abis bersih-bersih, terus gue genggam lo tadi, takutnya nanti berdebu. Jadi harus di cuci."
Barga juga melakukan hal yang sama pada kedua tangannya, setelahnya dia menunduk, kedua tangannya bertumpu pada masing-masing lutut agar wajahnya sejajar dengan wajah Nabila.
Sebelah tangan Barga terangkat untuk menangkup pipi gadis itu, "Jangan gugup," ucapnya pelan, "gue di belakang panggung terus kok nggak kemana-mana, kalo ada apa-apa panggil gue aja, jangan yang lain."
Nabila tersenyum, perasaan hangat menjalar di hatinya, "Makasih ya─"
"Jangan makasih sekarang." Barga menyela cepat, membuat kerutan di dahi Nabila bertambah.
Barga menyunggingkan segaris senyum tipis, "Kalo lo bisa jadi mc yang baik hari ini, nanti pulangnya bakal gue kasih hadiah."
"Apa?"
Barga mengulum senyumnya, "Rahasia."
"Nabil? Udah siap?" Aksa datang tiba-tiba, terlihat sekali dari wajahnya bahwa dia sudah bekerja keras untuk menyiapkan acara ini. Dan setelah menyadari bagaimana semangatnya para panitia untuk keberhasilan ulang tahun sekolah, Nabila tidak bisa untuk tidak menjawab.
"Iya, gue siap."
###
"MAKASIH SEMUANYA BUAT HARI INI!!!!" Aksa berteriak, menutup rapat akhir setelah berakhirnya acara ulang tahun sekolah. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Acara yang selesai pukul empat, lalu dilanjutkan oleh semua panitia dan pendukung yang langsung melakukan gerakan beres-beres, dan terakhir diakhiri rapat dengan penuh rasa lega.
Acara hari ini berjalan lancar, walaupun ada sedikit kendala tapi itu semua tertutupi dengan rapi. Baik siswa dari smansa maupun sekolah lain turut merasa bangga akan keberhasilan acara yang diketuai oleh Aksa.
"Makasih ya, Nabil!" Aksa berseru girang ketika mendekati Nabila, ada Lalisa disampingnya yang juga menyunggingkan senyum lega karena acara sudah selesai.
"Udah malem, anterin gebetan lo pulang sana." Barga berkomentar dengan ketus, apa dia tidak berkaca? Jelas-jelas, Barga juga belum mengantar Nabila pulang.
Aksa tersenyum mengejek, "Jadi nih?" Barga mengangguk untuk menjawab.
Nabila hanya memasang wajah bingung, apa dia melewatkan sesuatu?
Seperti ada sesuatu yang disembunyikan.
"Bila?"
Nabila mengerjap kaget, "Hah? Ap─loh, Aksa sama Lalisa mana?"
"Lo ngelamun, mereka udah pulang."
Nabila merasa ada sesuatu yang mengisi jari-jemarinya, itu jemari tangan Barga, laki-laki itu menggenggam tangannya lagi. "Lo kan udah jadi mc yang hebat hari ini, inget nggak tadi pagi gue bilang apa?"
Nabila terdiam sebentar untuk berpikir, Barga yang memperhatikannya sedari tadi hanya bisa berdecak gemas, "udah jangan difikirin, ayo ikut aja."
Nabila hanya bisa menurut ketika Barga memakaikan helm di kepalanya, menyampirkan jaket miliknya ke bahu Nabila, menyuruhnya naik ke motor, hingga saat mereka membelah jalanan ibukota Jakarta yang ramai. Kedua tangan Nabila melingkar mulus di perut Barga, bahkan semakin mengencang ketika angin malam terasa menusuk kulit kulitnya.
Hingga sampai motor Barga berhenti, bukan tepat di depan rumah Nabila, melainkan ke taman dekat rumah Nabila yang beberapa hari lalu sempat mereka kunjungi─tepat di hari kepulangan Nabila dari rumah sakit.
Sangking sibuk dengan pikirannya sendiri, Nabila sampai tidak sadar kalau Barga sudah melepaskan helm yang dikenakannya. Tempat ini, tempat di mana mereka berdiri sama persis seperti hari itu.
"Gue udah izin sama Tante Farisha, lo nggak perlu khawatir." Barga membuka pembicaraan, laki-laki bersandar pada body motornya selagi melihat langit.
"Gue harus berterimakasih sama semesta, karna dia udah tuntun lo malam itu buat nemuin gue yang udah nggak berdaya."
‘Kecelakaan pertama Barga.’
"Gue harus berterimakasih juga sama semesta, karena dia memperhatikan semua gerak-gerik lo dari jauh."
Nabila diam, walaupun dia tidak mengerti alur pembicaraan Barga, tapi dia tetap mendengarkan laki-laki itu dengan baik.
"Tapi gue juga marah sama semesta, karena dia nggak nolongin lo malam itu."
Bogor.
Malam itu.
"Jangan dipikirin," Barga menggenggam masing-masing tangan Nabila, berusaha mengusir semua ingatan Nabila tentang masa kelamnya waktu itu. "Gue udah bilang kan, kalo gue bakal jagain lo?"
Nabila mengangguk tanpa bisa dicegah.
"Bil, gue mau lo tau. Gue bukan laki-laki yang pintar merangkai kalimat buat bikin lo seneng, gue bukan laki-laki humoris yang tiap saat bisa bikin lo ketawa, dan gue juga bukan laki-laki sempurna yang bisa bikin lo bahagia."
"Tapi diluar itu semua, lo harus tau, gue selalu seneng tiap kali liat lo seneng. Gue juga ikut ketawa diem-diem waktu liat lo ketawa, dan yang paling penting kalo lo bahagia otomatis gue juga ikut bahagia."
Satu langkah. Barga mendekat kepada Nabila, sebelah tangannya yang menggenggam tangan Nabila terlepas, tergantikan dengan sebuah kotak kecil yang baru saja Barga ambil dari saku celananya.
Nabila tercekat ketika kotak kecil itu terbuka.
"Ci─cincin?" Nabila tergagap di tempatnya.
"Gue bukan mau ngelamar ya, Bil." Barga terkekeh kecil seolah membaca pikiran Nabila, "gue tau, kita bahkan belum kelas tiga SMA. Jadi, gue mau lo cukup anggep benda ini sebagai janji, janji gue buat melamar lo lebih baik, beberapa tahun lagi." Barga mengeluarkan cincin perak dari dalamnya, dengan perlahan memasukkannya kedalam jari manis Nabila.
Setelah memastikan cincin itu terpasang dengan sempurna, Barga tersenyum manis. Dia meletakkan masing-masing tangannya pada bahu Nabila, "Lo tau? Gue benci ngeliat lo terluka kayak waktu itu, gue pingin selalu ada di samping lo buat jagain lo terus, gue nggak mau lo kenapa-kenapa lagi."
Jemari Barga bergerak, menyentuh setiap inti wajah Nabila dengan lembut. "Gue nggak perduli mereka udah ambil semuanya, karena buat gue, Nabila tetap Nabila sampai kapanpun."
Barga mendongak untuk menyelami netra hitam pekat di depannya ini, berusaha mencari sebuah jawaban yang selama ini dia cari.
"Gue sayang sama lo, Nabila."
Hening.
Melihat Nabila berkaca-kaca di depannya, Barga justru tersenyum.
"Kok nangis?" Ibu jari Barga mengusap air mata yang baru saja jatuh di pipi gadis itu. Nabila menggeleng lemah dan langsung memeluk Barga tiba-tiba, tangis gadis itu pecah di d**a Barga. Dengan sabar, Barga mengusap surai coklatnya dengan sayang.
"Gue juga sayang sama lo, Barga."
Hanya satu kalimat, tapi mampu membuat senyum Barga kian melebar.
"Malam ini, gue cuma pingin buktiin sama semesta. Kalo cerita tentang kita nggak akan berakhir pedih, justru sebaliknya. Tunggu gue, Bil. Beberapa tahun lagi, gue bakal buktiin sama semesta, kalo akhir cerita kita bakal berakhir bahagia."