Raka.
Zinde, maaf banget kita batal makan malam, ya.
Aku mendadak ada meeting dan meetingnya enggak bisa diundur.
19.28
Lagi?
Zinde menghela napas kasar kala membaca pesan tersebut. Pesan yang Raka kirimkan sejak lima menit lalu dan belum juga Zinde balas sampai sekarang.
Raka.
Sorry :(
Aku janji ini terakhir kalinya aku batalin janji kita.
19.35
Zinde menghela napas lagi entah untuk yang keberapa kalinya. Kalimat dalam pesan itu adalah kalimat yang sudah sangat sering Zinde dapatkan, dan dalam beberapa tahun Raka tidak pernah juga berubah. Janji yang pernah ditepati oleh laki-laki itu bahkan bisa dihitung oleh jari karena terlalu seringnya Raka mengingkari.
Mood Zinde sudah jatuh pada titik paling rendah dan dia pada akhirnya memilih untuk mengabaikan pesan laki-laki itu. Masa bodo pikirnya, karena keesokan paginya laki-laki itu pasti sudah bersandang di depan pintu rumahnya dan meminta maaf secara langsung.
“Terus gue harus ngapain kalo udah dandan rapi kayak gini?” Gadis itu bermonolog sendiri, berjalan menuju dapurnya untuk meneguk air putih.
“Nabila lagi jalan nggak ya sama Barga? Kalo gue suruh ke sini dia bakal mau nggak ya?”
“Atau Lalisa aja?”
Cukup lama Zinde berpikir dan mempertimbangkan hal apa yang harus dia lakukan, tapi gadis itu justru berakhir duduk di ruang tamunya, dengan pakaian yang sudah terganti dan juga make up yang sudah dihapus, dia menonton salah satu film dari televisinya seorang diri.
Dia takut mengganggu waktu Nabila dan Lalisa walaupun kenyataannya Zinde memang membutuhkan salah satu diantara mereka untuk menemaninya saat ini.
Film yang terputar saat ini tidak bisa menarik perhatian Zinde sebab gadis itu lebih memilih untuk melamun dan memikirkan berbagai macam hal. Dan sebagian besar isi pikirannya tentu saja dikuasai oleh laki-laki bernama Raka.
Raka yang sudah bertahun-tahun singgah dihatinya, Raka yang menjadi pacar pertamanya namun hubungan mereka harus putus dalam hitungan bulan, Raka yang selalu membawa pengaruh terhadap hidup Zinde, dan Raka yang sampai saat ini bahkan tidak bisa dia miliki.
Raka itu adalah laki-laki yang sangat sulit ditebak. Dia memang pekerja keras dan Zinde sangat mengakui itu, bahkan ketika Barga menolak untuk meneruskan perusahaan Papanya dan berakhir Raka lah yang mengambil alih, laki-laki itu bahkan tidak pernah protes. Dia menjalankan segala hal yang ada untuknya dengan sepenuh hati, mau itu sesuai dengan keinginannya atau tidak, asal hal yang dia lakukan baik untuk masa depannya, maka Raka akan melakukan itu.
Tapi satu hal yang paling tidak bisa Zinde tebak dari Raka adalah tentang hati laki-laki itu. Dulu setelah putus dari Raka, Zinde berubah menjadi gadis yang sangat jahat apalagi terhadap Nabila. Rasa tidak terima tentang Raka yang selalu menomorsatukan Nabila perlahan-lahan menjadi rasa takut untuk Zinde sendiri.
Dia selalu takut bahwa Raka memang tidak bisa kembali lagi padanya sehingga amarah yang ada selalu dia lampiaskan kepada Nabila, dan dengan cara itu pula Zinde bisa mendapatkan perhatian Raka lagi. Karena jika dulu dia tidak membully Nabila, maka Raka tidak akan pernah melihatnya.
Tapi, setelah kejadian yang menimpa Nabila beberapa tahun lalu dan diteruskan dengan pilihan Nabila yang pada akhirnya memilih untuk melabuhkan hatinya kepada Barga adalah satu tindakan besar yang membuat Zinde maupun Raka pada akhirnya berubah.
Zinde telah tumbuh menjadi gadis cantik yang baik hati, bahkan sekarang dia sudah berteman akrab dengan Nabila dan Lalisa. Zinde juga sudah meminta maaf dengan tulus kepada Nabila terhadap perbuatannya dulu dan untung saja Nabila mau memaafkan semuanya, Zinde jadi tak heran kenapa banyak sekali laki-laki yang menaruh rasa suka pada Nabila sebab, gadis itu memang definisi dari kata sempurna. Segala sikap dan tindakannya pastilah sebuah hal yang baik.
Dan untuk Raka, laki-laki itu juga berkata bahwa dia sudah mengikhlaskan jika pada akhirnya Nabila memang tidak bisa memilih dirinya, karena bagaimanapun juga sebuah perasaan pasti tidak akan pernah bisa dipaksakan. Dan untuk itu Raka jadi kembali dekat Zinde hingga sampai saat ini.
Hubungan mereka dekat dan baik-baik saja, namun yang masih menjadi ragu dari hati Zinde adalah mengapa sampai saat ini Raka tidak pernah memperjelas hubungan mereka? Jika kata gantung merupakan kata yang paling tepat untuk diucapkan, maka Zinde akan berkata demikian. Karena memang begitu kenyataannya, sejak mereka berdua kembali menjadi dekat baik Zinde maupun Raka tidak ada yang pernah menyatakan seperti kebanyakan orang. Zinde pikir mungkin Raka masih menyiapkan hatinya dan Zinde akan dengan sabar akan menunggu, tapi setelah digantungkan bertahun-tahun akan ada hari dimana Zinde kehilangan kepercayaan dirinya dan memilih untuk menyerah karena hatinya berkata bahwa sampai sekarang Raka tidak pernah benar-benar mengikhlaskan, hatinya masih menolak untuk menghapus nama Nabila dari sana.
ting tong… ting tong…
Zinde mengalihkan pandangan kosongnya dari layar televisi menuju pintu rumahnya, dia pikir yang datang adalah kurir dari makanan pesan antar yang sempat dia pesan sebelumnya. Namun ketika membuka pintu Zinde justru dibuat terkejut dengan kedatangan Nabila di depan pintu dan gadis itu tengah menenteng makanan yang dia pesan beberapa menit lalu.
“Tadi ada abang-abang di depan pas gue baru datang, jadi sekalian aja karena gue mau ke rumah lo.” Nabila masuk ke dalam rumah Zinde tanpa permisi lebih dahulu, karena sudah sering mampir jadi tak masalah untuknya melakukan itu dan Zinde akan sangat memaklumi jika Nabila dan Lalisa melakukannya.
Karena menurutnya, rumahnya adalah rumah mereka berdua juga. Sahabat terbaiknya.
“Kok masih kayak gini?” Nabila memperhatikan Zinde dari ujung kepala hingga ujung kakinya. “Bukannya hari ini ada janji pergi sama Raka?”
Nabila memang tau karena setiap ada sesuatu yang menyangkut Raka pasti Zinde akan selalu bercerita dengan gadis itu dan Lalisa.
Zinde menghela napas malas sembari menutup pintu rumahnya. “Batal, dia ada meeting.”
Nabila mangut-mangut di tempatnya. “Pantesan,” ujarnya santai seolah paham apa permasalahan di sini.
“Pantesan?” Ulang Zinde bingung.
Sabahatnya itu memilih untuk menggeleng kecil sembari mengangkat kembali pesanan Zinde. “Makan?” tawarnya dengan senyum hangat.
Zinde berlari kecil menghampiri Nabila karena jujur saja cacing-cacing di perutnya sudah meronta ingin diberi makan. Zinde sengaja mengosongkan perutnya karena ingin makan banyak bersama Raka, tapi apa boleh buat karena laki-laki itu sudah membatalkannya.
Setidaknya Nabila sudah ada di sini, menemani Zinde makan malam dan mendengarkan gadis itu bercerita serta menonton film sampai tengah malam. Walaupun Zinde masih bingung mengapa Nabila bisa tiba-tiba sampai di depan rumahnya sore hari ini.
“Jadi ini udah yang keberapa kali?” tanya Nabila setelah mendengarkan Zinde bercerita selama berjam-jam.
Zinde menggigit keripik kentangnya sambil menggeleng kecil. “Bahkan gue sampai nggak apal ini udah keberapa kali sangking seringnya dia ingkar sama janji kita.”
Nabila mengusap puncak kepala Zinde lembut. “Gue tau lo pasti kesel banget, tapi setiap kali Raka ingkar janji dia selalu punya alasan ‘kan? Gue bukannya mau belain dia, tapi kemarin waktu gue ketemu Barga, dia sendiri pun bilang ke gue kalo seandainya dulu dia ambil alih perusahaan Papanya dia bakal sibuk banget, terbukti sama Raka sekarang. Lo paham kan maksud gue?”
Zinde tidak bisa mengelak karena apa yang Nabila katakan terlampau benar.
“Gue tau dia beneran sibuk, makanya selama bertahun-tahun masih gue maklumin.”
Nabila tertawa kecil. “Lo harus percaya sama Raka, karena dia beneran sayang sama lo.”
Ada senyum kecil yang terbit di bibir kecil dan tanpa sadar hatinya menghangat mendengar kalimat yang telah Nabila ucapkan.
Semoga, semoga saja Raka benar-benar menyayanginya.
**
Pukul setengah satu malam Zinde terbangun dari tidur pulasnya karena merasa ada tangan seseorang yang mengusap kepalanya penuh kehati-hatian, setelah cukup sadar indra penciumam Zinde refleks mengenali wangi parfume seseorang tersebut. Merasa bahwa dirinya tidak sedang bermimpi Zinde mulai membuka kedua matanya dengan gerak pelan yang mana membuat usapan di kepalanya juga ikut terhenti.
“Zinde, maaf. Aku ganggu tidur kamu, ya?”
Suara ini, suara yang amat sangat Zinde kenali. Benar-benar suara Raka yang saat ini tengah duduk di ujung tempat tidurnya sembari memperhatikan Zinde.
“Maaf,” ucapnya sekali lagi entah yang kali ini maaf untuk apa.
Zinde baru saja ingin bangun dari posisi tidurnya tapi tangan Raka justru menahan agar gadis itu tetap pada tempatnya. “Kamu… ngapain di sini?” Pertanyaan itu yang pada akhirnya Zinde berikan untuk kehadiran Raka yang terlalu tiba-tiba.
Dan bagaimana bisa Raka masuk ke rumahnya sedangkan tadi sore Nabila yang datang dan memilih untuk menginap— sebentar Nabila kemana?!
Seolah mengetahui kepanikan Zinde, Raka kembali mengusap puncak kepala gadis itu seraya berkata, “Nabila udah pulang, tadi Barga yang jemput.”
“Kok kamu biarin dia pulang? Orang Nabila mau nginep di sini.”
“Aku yang suruh Nabila ke sini tadi sore.”
“Hah?”
Raka menundukkan kepalanya beberapa detik sebelum kembali melihat Zinde. “Maaf, maafin aku karena udah ingkarin janji kita lagi. Aku bener-bener minta maaf, aku nggak bermaksud buat batalin tapi meetingnya enggak bisa aku undur besok, aku sempet cerita kan ke kamu kalo lagi ada problem di perusahaan jadi aku—”
“Udah, udah.” Zinde menggenggam tangan Raka yang masih mengusap puncak kepalanya. “Aku ngerti kok. Udah jangan minta maaf lagi.”
Kalau bisa Raka ingin menangis saja sekarang.
“Makasih karena udah selalu ngertiin aku.”
Zinde mengangguk samar dalam posisi tidurnya. “Kamu pulang kerja langsung ke sini?”
Raka balas mengangguk. “Aku yang suruh Nabila ke sini buat nemenin kamu, aku udah bilang sama dia tengah malem aku bakal pulang ke sini mau nengokin kamu dan nanti Barga yang jemput dia, untungnya Barga setuju karena biasanya dia males banget bantuin aku.”
“Tapi aku nggak mau ditengokin doang.” Zinde membalas sambil menggenggam kuat tangan Raka. “Di sini aja, tidur sama aku. Tidur yang bener-bener tidur karena aku masih ngantuk banget dan aku tau kamu cape.”
Ini bukan pertama kalinya Raka menginap, dan mereka berdua memang murni hanya terbaring dan terlelap bersama sampai esok pagi. Maka dari itu tanpa banyak protes pada akhirnya Zinde menggeser posisi tidurnya dan memberi ruang untuk Raka tidur di sebelahnya.
“Aku belum mandi.” Lapor Raka sewaktu Zinde mendekat untuk masuk ke dalam pelukannya.
“Nggak apa-apa, kamu tetep wangi walaupun belum mandi juga. Mandinya besok aja ya, atau nanti waktu aku udah ketiduran lagi, karena sekarang aku maunya dipeluk kamu.”
“Iya sayang, iya. Yaudah sekarang tidur lagi.”
Pada akhirnya segala ragu yang muncul di kepala Zinde telah hilang karena Raka akan selalu punya cara untuk memenangkan hatinya kembali.