13 : Rumit

2102 Kata
Cuaca hari ini sangat cerah, bahkan ramalan cuaca mengatakan biru akan mendominasi seharian penuh tanpa ada abu-abu disekitarnya. Cuaca seolah sedang menggambarkan isi hati seorang Aksa, karena apa yang terjadi kemarin masih saja membekas dipikiran laki-laki berusia 17 tahun itu, mengobrol dengan Nabila hingga sore menjemput sungguh hal yang sangat menyenangkan untuk Aksa. Tapi tidak untuk Raka. Laki-laki itu merasa, langit seperti sedang mengejeknya. Suasana hatinya begitu buruk, bahkan tidak pernah seburuk ini. Raka malu untuk mengakui bahwa dia sangat marah sekarang, tapi faktanya memang seperti itu, dia memang marah pada dirinya sendiri. Kenapa dia tidak bisa menjadi seberani Aksa? Begitu mudahnya bagi seorang Raka untuk mengungkapkan isi hati kepada gadis manapun, kecuali Nabila. Hanya karena satu alasan. Dia tidak ingin kedekatannya dengan Nabila hancur begitu saja. Raka menangkap sosok Aksa dan Barga yang baru saja turun dari lantai dua─lantai dimana kamar mereka bertiga berada─dengan raut wajah yang berbeda. Barga dengan wajah datarnya, dan Aksa dengan cengiran lebarnya, dan entah karena apa, Aksa tiba-tiba muak melihat wajah kedua saudaranya itu. Dengan wajah dingin Raka bangkit dari kursi dapur, mencium cepat pipi Sera dan beralih mencium punggung tangan Daniel. "Kakak berangkat," katanya tanpa menatap sedikitpun pada kedua saudaranya. Melihat kepergian Raka yang tak biasa, membuat Aksa bertanya pada Daniel. "Kakak kenapa, dah?" "Papa nggak tau, dari pas turun muka dia udah kayak gitu." Sera menatap kedua putranya secara bergantian, "kalian berantem?" tanyanya. "Enggak, Ma," jawab Barga kalem. "Adek juga nggak ngerasa berantem tuh sama dia." "Udah duduk sini, sarapan dulu." Daniel menepuk dua kursi disebelahnya, menyuruh Barga dan Aksa untuk duduk. "Mungkin Raka lagi ada masalah disekolah, nanti juga baik sendiri." Aksa mengambil kursi tepat di sebelah Daniel, tapi Barga tetap bergeming. Daniel yang menyadari itu langsung mengangkat sebelah alisnya, bingung. "Abang nggak mau sarapan?" Barga menggeleng, "Abang mau kumpul futsal pagi ini, ngomongin lomba di bogor minggu depan." Aksa membelalakkan matanya cepat, "LO JUGA IKUT LOMBA DI BOGOR?!" Barga mengangguk. "KOK BISA?!" "Jangan teriak-teriak sih, dek!" Ucap Daniel kesal. Aksa nyengir, "Maaf, maaf." kemudian kembali fokus pada Barga dengan tatapan bertanya dan penuh selidik. Barga yang risih ditatap seperti itu langsung berdecak, "Jangan manipulasi anggota futsal gue." Peringatnya seperti bisa membaca fikiran Adik kembarnya itu. Jelas saja, sebagai ketua OSIS, Aksa bisa saja mengganti nama-nama anggota yang akan mengikuti perlombaan, dengan berbagai macam alasan tentunya. "Awas aja lo kalo diem-diem menghanyutkan nantinya." Aksa menatap Barga sinis. Barga menggelengkan kepalanya pelan tanpa membalas tudingan Aksa, sekarang dia menatap Daniel serius, kemudian bicara lagi. "Pa, nanti Abang pulang telat. Jangan ditunggu." "Mau ngapain? Latihan futsal?" tanya Sera. Barga mengangguk. "Abang berangkat, ya." Seperti apa yang dilakukan Raka tadi, Barga juga memberi salam kepada kedua orang tuanya. Daniel menatap punggung putra sulungnya itu hingga menghilang di balik pintu, setelah yakin bahwa Barga benar-benar sudah pergi, Daniel beralih menatap Aksa dengan serius. "Ikutin Abang kamu malem ini." ### "Nana?" Obrolan Nabila bersama Lalisa terhenti karna panggilan Raka, Nabila mengerjap tidak menyangka bahwa Raka akan kembali menyapanya hari ini. Setelah kemarin laki-laki itu mendiaminya seharian, Nabila kira marahnya Raka bisa bertahan hingga berhari-hari, tapi sepertinya dia salah. "Kenapa?" Sebisa mungkin Nabila bertanya dengan lembut, melihat bagaimana buruknya raut wajah Raka hari ini. Nabila merasa sepertinya laki-laki ini sedang banyak fikiran. Raka mengalihkan tatapannya, tidak berani menatap Nabila, "bisa minta waktunya sebentar? Gue mau ngomong," katanya tanpa menatap gadis itu. ‘Biasanya dia langsung ngomong, tapi kenapa sekarang minta izin?’ "Oke." Raka berjalan lebih dulu keluar dari kelas, ini jam istirahat pastinya para siswa banyak menghambur dikantin, jadi Raka memilih untuk bicara diluar kelas saja. Nabila pamit sekilas kepada Lalisa yang jelas sudah memasang tampang luar biasa bingung. Mereka berhenti tepat didepan kelas, Raka melirik sekeliling, menunggu beberapa orang melewati mereka, hingga akhirnya dia memulai pembicaraan, "Nanti malem, ada acara nggak?" "Enggak, paling cuma belajar buat lomba minggu depan. Kenapa, Ka?" Raka menggigit bibir bawahnya, "Na, nanti malem ... mau nggak keluar sama gue?" Raka menunduk cepat, terlalu takut dengan reaksi Nabila. "K-keluar?" Nabila mengerjap kaget. "Enggak!" Raka menjawab cepat. "Gue cuma mau minta tolong, buat bantuin photo endorse. Bukan ngajak keluar buat kencan gitu, bukan!" Tanpa sadar helaan napas lega keluar dari bibir Nabila, dan tanpa sadar pula, reaksi spontan Nabila tadi sudah membuat luka kecil dihati Raka. ‘Bener kan? Dia pasti nggak mau lebih dari teman.’ "Jadi gimana?" Nabila meminta penjelasan lebih. "Gue dapet endorse sweater, tapi buat cewek. Lo tau kan, gue nggak punya teman cewek yang bener-bener teman selain lo. Jadi, bisa gue minta tolong untuk membuat lo jadi modelnya? Kan nggak mungkin kalo gue yang pake itu sweater." Sadarkah Nabila jika Raka terlalu menekan kata 'teman'? Nabila tampak berpikir sejenak. Seakan teringat sesuatu, dia langsung menatap Raka dengan rasa bersalah. "Lo tau kan, gue nggak bisa keluar─" "Gue udah fikirin itu," potong Raka cepat. "Sekitar jam sembilan malam, lo izin aja ke alfamart depan komplek lo. Kita cuma foto doang kok, gue janji nggak bakal lama." Lanjut Raka lagi. "Gue bukan bermaksud nyuruh lo bohong, Na. Cuma gue nggak tau pake cara gimana lagi, soalnya lo sendiri yang bilang kalo Ayah lo terlalu curigaan sama cowok yang deket sama lo." Raka menyambung lagi, takut Nabila menyalahkan niatnya. "Iya gue ngerti." Nabila tersenyum tipis. "Tunggu gue nanti malem." Raka membalas senyum Nabila dengan lebih lebar. Setidaknya dia masih diberi kesempatan untuk berusaha, walaupun hanya malam ini. ### Pukul sembilan malam, Barga datang ke basecamp untuk memenuhi panggilan. Sesuai permintaan Donghan─Ketua dari balap liar yang dia geluti─yang memintanya datang, dengan alasan bahwa seorang teman lama ingin menemuinya. Barga bisa saja menolak, tapi mendengar bagaimana cerita Donghan, tentang teman lamanya yang menghancurkan setengah basecamp mereka hanya karna ingin menemuinya, Barga tidak bisa untuk menolak lagi. Barga melepas helm, dan suara deru motor yang bersahut-sahutan langsung memasuki indera pendengarannya. Barga sudah biasa mendengar itu semua, sehingga dia tidak terlalu memperdulikan dan langsung saja berjalan menuju Donghan. "Gue kira lo nggak dateng." Suara Donghan langsung menyapanya. Barga tersenyum sinis, "gue banyak urusan." Urusan yang Barga maksud adalah Daniel tentunya. Setelah kejadian pada malam dimana Papanya menunggunya pulang hingga lewat tengah malam, membuat Barga tidak ikut balapan lagi selama beberapa hari. Sebenarnya dia masih butuh waktu, tapi karena keadaan mendesak seperti ini, Barga bisa apa? "Dia dimana?" Tanya Barga, menyadari bahwa orang yang ditunggunya itu belum ada dilintas balap. "Bentar lagi juga dateng." Selang beberapa detik setelah Donghan berbicara, beberapa pengendara datang bersama dengan raungan motor mereka. Suasana menjadi lebih berisik dengan riuh teriakan serta tepuk tangan dari pihak penonton. Barga tidak bisa mengalihkan tatapannya dari laki-laki yang terlihat di paling depan, laki-laki itu membuka helmnya, tatapannya langsung bertemu dengan Barga. Tidak sulit untuk Barga membaca pergerakan dari bibir laki-laki itu. Setelah sadar bahwa pertanyaan tanpa suara yang dilayangkan oleh laki-laki itu adalah sebuah penghinaan, sontak membuat Barga menggeram marah. "Lo siap kalah?" Donghan merangkul pundak Barga seraya membisikkan kalimat-kalimat yang membuat semangat Barga semakin naik. Mereka mendekat kearah laki-laki itu. "Langsung aja, gue nggak butuh basa-basi." Barga mengeluarkan kunci motor dari saku jaketnya, hendak melangkah menuju motornya sebelum suara laki-laki itu menginterupsi pergerakannya. "Ow! Sangar ya sekarang." Laki-laki itu tertawa pelan. Barga berbalik dan langsung mencengkram kerah baju laki-laki itu, "Tutup mulut lo, kalo nggak mau babak belur kayak waktu itu, Jeno." Iris matanya menatap nyalang tepat di manik mata laki-laki itu. Ya, dia Jeno. "Gue salah ngomong ya?" Jeno memasang wajah bingung, tapi kebingungan itu dengan cepat terganti menjadi penghinaan. "s****n!" desis Barga marah. Kalau saja Donghan tidak segera menarik Barga menjauh, sudah dipastikan Jeno akan kembali mendapatkan lebam dari tinjuan Barga. "Lorang berdua mau balapan apa berantem?! Kalo mau berantem gue kasih pistol biar sekalian mati aja! Punya otak nggak lorang berdua itu?!" Donghan berteriak kearah Barga dan Jeno. "Kalo mau balapan langsung aja!" Donghan menarik Barga menuju motornya, sedangkan Jeno langsung bersiap-siap diarena balap. Suasana mendadak riuh kembali, melihat Barga dan Jeno yang sudah siap berada digaris start membuat mereka bersorak senang, meneriaki masing-masing jagoan mereka. Barga dan Jeno saling lempar tatap sekilas, sejak enam bulan yang lalu menjadi Rival seorang Jeno Mahardika, Barga tidak lagi mengenal kata teman dalam kamus hidupnya. "Tiga." Suara motor Barga dan motor Jeno saling bersahutan, membuat penonton semakin berteriak riuh digelapnya malam. "Dua." Hanya ada satu kalimat yang terlintas difikiran Barga saat ini. Dia harus menang. "SATU!" ### "Ayah, Bila mau ke alfamart depan komplek. Ayah mau titip sesuatu nggak?" Farhan meletakkan koran yang sedang dibacanya keatas meja, lalu menatap putrinya dengan tatapan curiga. "Bener mau ke alfamart?" Nabila tersenyum lebar seraya mengangkat uang dua puluh ribu ditangannya tinggi-tinggi, "Nih duitnya, Nabila mau beli sabun muka." "Oke," Farhan mengangguk, "Beliin Ayah torabika aja. Jangan lama-lama." "Iya tenang aja!" Nabila segera berjalan cepat keluar rumah, karna jujur saja dia sudah telat sepuluh menit dari jam yang seharusnya. Sekitar lima menit Nabila sampai hanya dengan berlari. Sesuai instruksi Raka, Nabila langsung pergi menuju rooftop minimarket itu dengan izin terlebih dahulu kepada pegawai yang menjaga disana. "Ka." Nabila terengah menghampiri laki-laki itu. "Gue telat." Raka menoleh dan langsung tersenyum tipis, "Nggak apa-apa." Dia menyodorkan sweater berwarna abu-abu kecoklatan kepada Nabila, "Didobel aja, gue balik badan ya." Sesuai ucapannya Raka langsung berbalik badan menatap langit selagi Nabila memakai sweater itu. "Udah." Raka dibuat terperangah oleh penampilan Nabila. Padahal tidak ada yang berubah selain warna baju yang melekat di tubuh gadis itu, tapi entah mengapa, melihat Nabila dibawah terangnya cahaya paduan bulan dan lampu, dengan sweater pemberiannya, membuat Nabila berkali-kali lebih cantik dari dugaannya. "Langsung foto ya, gue nggak bisa lama-lama." Suara Nabila membuyarkan semua fikiran Raka, laki-laki itu hanya mengangguk tipis sebelum memfokuskan kamera ponsel yang digunakan untuk memfoto gadis itu. Raka tersenyum setelah melihat hasil bidikannya, tidak perlu dua kali untuk mendapatkan bidikan yang bagus. Karena satu kali saja, Nabila sudah sempurna. Tidak perlu kamera mahal, karna kamera ponsel saja sudah bagus untuk memfoto Nabila. Gadis itu memilih foto candid karna dia difoto dari samping, duduk dikursi putih dengan memegang ujung sanggahan rooftop. Raka berdecak pelan, Nabila benar-benar cantik. Nabila mendekat, namun Raka lebih dulu menjauhkan ponselnya. "Mau lihat!" Rengek Nabila. "Enggak," Raka mundur beberapa langkah, masih fokus pada ponselnya. "Lihat aja di i********: gue, baru gue post." Raka.bgskra [photo] ♡1.050 likes Raka.bgskra Beautiful. "Gue nggak ada kuota, Ka!" Nabila ingin merampas ponsel Raka, tapi laki-laki itu lebih dulu menahan tangannya, lalu beralih menggenggamnya. "Mau ngapain, hm?" Raka mengangkat sebelah alisnya seraya menatap Nabila. "Mau lihat." Raka tidak membalas kalimat Nabila, dia justru sibuk memandangi wajah gadis itu yang terlihat lebih dekat karena genggaman tangannya. Raka memang tidak pernah salah menjatuhkan hatinya untuk gadis ini, tapi yang salah hanya dirinya. Dia yang tidak pernah menjadi seberani Aksa hanya untuk mengungkapkan. "Nana?" Panggil Raka. "Apa?" Nabila mendongak, namun langsung terkejut karena menyadari jarak mereka yang terlalu dekat. Nabila ingin mengambil langkah mundur, tapi Raka langsung menahan pergerakannya. Nabila harus mati-matian mengatur detak jantungnya yang mendadak cepat hanya karena tatapan Raka. Nabila tidak bisa mengartikan apa arti dari tatapan itu, apalagi saat Raka yang tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke arah wajah Nabila. Kedua kaki Nabila langsung melemas saat melihat kedua mata Raka tertutup. Tapi sebelum semua hal yang ada difikiran Nabila terjadi, dering ponsel gadis itu membuat baik Raka maupun Nabila langsung tersentak kaget. Raka refleks melepaskan genggaman tangan Nabila dan mundur beberapa langkah dengan wajah memerah. Nabila langsung mengangkat telpon tersebut untuk menghilangkan rasa gugupnya, tanpa melihat siapa yang menelpon, Nabila langsung berucap. "Iya yah, Bila pulang sekarang." "Bil?" Nabila terkejut, menjauhkan ponsel dari telinganya hanya untuk melihat siapa si penelpon itu, Nabila kenal suaranya. Barga. Segala macam fikiran tentang apa yang terjadi dengan laki-laki itu langsung memenuhi seluruh kepala Nabila, bahkan dia sampai mengabaikan eksistensi Raka yang masih berada didekatnya. Dengan gemetar Nabila kembali mendekatkan ponsel itu pada telinganya. "Ha … lo?" "Gue butuh─Akh!─gue butuh lo." Tanpa fikir panjang, Nabila segera berlari turun dari rooftop, dia mengabaikan panggilan Raka dibelakangnya ataupun tatapan bingung dari para pegawai minimarket. Tidak ada yang bisa Nabila fikirkan lagi, selain, dia harus cepat sampai di tempat Barga. Nabila bersyukur karna minimarket ini berada disebrang jalan, jadi dia hanya harus melewati g**g kecil untuk menemui laki-laki itu, tapi Nabila langsung diserang panik begitu mengedarkan pandangannya, dan tidak menemukan Barga dimanapun. Nabila diserang panik, dia menatap layar ponselnya lagi, panggilan itu belum terputus. Maka dengan terbata dan dengan tangis tertahan Nabila berbicara lagi, dia berharap bahwa Barga masih bisa mendengarnya. "L-lo dimana … Ga … lo dimana." Tidak ada sahutan. Mengikuti insting, Nabila berlari sedikit lebih jauh kearah kiri, masih dengan ponsel yang dia dekatkan pada telinga. "Ga … please, jawab gue." Nabila menggigit bibir bawahnya, air mata yang semula ditahan habis-habisan, kini mengalir dengan derasnya bersamaan dengan iris matanya yang menangkap sosok Barga dikejauhan. "BARGA!" Gadis itu berlari sekuat tenaga, hingga tidak melihat ada sebuah batu yang membuatnya tersandung. Nabila langsung tersungkur dijalan, wajahnya menghantam permukaan aspal dengan sangat kuat. Mengabaikan seluruh perih diwajah serta kakinya, Nabila kembali bangkit dan menghampiri Barga yang sudah tidak sadar. "Ga, bangun …." Nabila meletakkan kepala laki-laki itu pada pahanya, terus mengguncang tubuh laki-laki itu berharap bahwa dia bangun. Di kejauhan, pada dua arah yang berbeda, Aksa dan Raka menyaksikan semuanya. Aksa yang memang sempat kehilangan jejak Barga langsung berlari mendekat kearahnya dengan panik. Sedangkan Raka? Dia hanya bisa menatap semuanya dengan tatapan nanar. Raka meraih ponselnya, membuka aplikasi i********:, lalu memilih opsi delete untuk postingan yang baru beberapa menit lalu dia kirim. Setelah selesai, tanpa berkata lagi, Raka langsung berbalik untuk menjauh, tanpa berminat untuk memutar balik dan membantu Barga dibelakang sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN