R A K A
Gue udah pernah bilang kan, Nabila dan Hari Jumat adalah dua hal yang gue suka. Tapi, apa yang nggak gue suka? Kalian tau nggak? Fans gue pada pergi? Oyajelas, gue nggak suka hal itu terjadi. Karena gimanapun juga tanpa fans gue bukan apa-apa, hahaha, jijik banget buset bahasa gue. Kayaknya kata fans nggak cocok menggambarkan mereka, mungkin bisa dibilang pengejar setia? Haduh ya, lagaknya kayak sok laku banget gue. Tapi apapun itulah yang penting gue suka mereka ada. Alasannya? Pertama, karena gue jadi terkenal, seorang Raden Raka Bagaskara punya keinginan buat dikenal sama masyarakat, mulai dari nenek-nenek, emak-emak, janda, gadis, balita, bahkan janin yang masih membentuk embrio, gue senang kalo mereka kenal gue. Karena gue memang se-senang itu buat jadi pusat perhatian.
Kedua, yang terakhir─gue nggak suka kebanyakan alasan─gue bisa berbagi kebahagiaan buat mereka. Enggak semuanya sih, hanya beberapa orang yang bisa berbagi kebahagiaan sama gue, walaupun cuma sesaat. Mereka harus bersyukur kalo Nabila lagi punya perjalanan lomba, karena kalo itu terjadi, salah satu dari mereka udah bisa dipastikan bakal jadi pacar gue.
Catat itu.
PACAR.
Et, tunggu dulu, kalo Nabila udah pulang lomba, ya udah pasti bakal langsung putus. Maaf sebelumnya, gue nggak pernah menganggap kalo itu semua jadi mainan. Gue cuma ingat apa yang Papa Daniel bilang ke gue, berbagilah kebahagiaan dengan orang-orang disekitarmu, jadi gue menganggap itu semua amal perbuatan baik, kenapa? Udah jelas lah, karna gue bagi-bagi kebahagiaan sama mereka. Oke, skip.
Dari semua hal yang masuk kedalam list pusaka gue, 'Apa-apa saja hal yang tidak Raka sukai', ada satu hal yang paling-paling-paling (tuhkan sampe tiga kali) nggak gue suka, dan hal itu gue tulis di nomor 101, atau bisa gue bilang terakhir. Karena gue berharap hal itu nggak pernah terjadi, walaupun kemungkinan besar bakal terjadi, jadi gue taruh di nomor terakhir.
Apa itu?
Gue nggak suka kalo Nana kesayangan gue, bertingkah kayak bukan Nana.
Ribet, ya? Ya pokoknya mah gitu lah ya.
Dari awal gue sampai disekolah, gue sempet ngeliat Abang gue ngobrol sama Nabila. Walaupun dia langsung pergi pas tau gue udah dateng, alah sok bener lagaknya, ngomong tadi malem mau bersaing, paginya bilang kalo dia kesurupan, eh pas disekolah malah ngobrol.
Dasar, tokek goreng labil.
Gue lagi nggak mau bahas perasaan Barga, ya, karena fokus gue cuma satu, siapa lagi kalo bukan Nabila.
Gue kira mereka terlibat obrolan yang biasa aja, dilihat dari gimana santainya wajah Barga. Tapi kayaknya gue salah sangka. Karena sekarang, dari depan pintu kelas tempat gue berdiri, gue melihat Nabila tertidur lagi di meja. Kayaknya nggak bisa gue bilang tidur, karena selalu aja ada gerakan yang dia perbuat, entah ngebenerin letak kepalanya yang mungkin kurang nyaman, atau kadang ngacak rambutnya sendiri. Dan itu jelas bukan gaya tidur Nabila. Cewek itu punya kebiasaan tidur yang kayak patung, nggak bergerak sama sekali kecuali nafas, karena gue sering lihat itu beberapa kali. DISEKOLAH LOH YA, BUKAN DIRUMAHNYA.
Ada sesuatu yang mengganggu Nabila, itu yang ada dipikiran gue sekarang.
Tanpa pikir dua kali, gue langsung jalan kekursinya Zainuri yang kebetulan orangnya udah dateng, kursi dia sebelahan sama kursi Nabila dan cuma terhalang oleh jarak buat orang jalan.
"Zai." Zainuri langsung mengalihkan matanya dari buku untuk menatap gue.
"Kenapa?"
"Gue duduk sini dong, hari ini aja." Gue sedikit memelankan suara agar Nabila tidak mendengarnya.
Dia langsung mengangguk setuju. "Jangan buang s****h di laci gue," peringatnya sebelum benar-benar pindah ke kursi gue bersama tasnya.
Hal pertama yang gue lakuin begitu duduk di kursi Zai adalah pura-pura tidur. Gue nggak mungkin bangunin Nabila dan maksa cewek itu buat cerita, karena sejujurnya, Nabila nggak seterbuka itu sama gue. Orang pertama yang bakal dia cari kalo mau cerita adalah Lalisa.
Jadi, gue memutuskan untuk pura-pura tidur selagi menunggu Lalisa datang.
Lalisa datang di sepuluh menit berikutnya, bersamaan dengan bel masuk yang baru aja bunyi. Kalo Nabila kerajinan dateng terlalu pagi, beda sama Lalisa yang selalu dateng pas bel udah bunyi. Apa yang gue harapin pun tiba, masih dengan posisi pura-pura tidur, gue memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan percakapan mereka.
"Nab, lo sakit lagi?"
Kayaknya Nabila baru bangun. Tapi gue nggak terlalu fokus buat dengerin basa-basi itu, gue udah tau Nabila bakal jawab enggak, segitu pahamnya gue sama Nabila? Ya, gue memang sepaham itu.
"Sa, gue mau tanya deh."
Ini yang gue tunggu.
"Menurut lo, kalo ada cowok yang omongannya berbanding terbalik sama perbuatannya, itu maksudnya apa?"
Gue mengernyit dalam kepura-puraan tidur gue, cowok? Siapa yang dia maksud?
"Gini loh, kalo ada cowok yang bilang sama lo mau ngejauh, tapi nyatanya pergerakan dia itu malah mendekat, itu maksudnya apa?"
Oke, gue harus pasang telinga baik-baik.
"Gue sebenernya belum pernah sih ngerasa kayak gitu, cuma menurut gue, apa dia lagi cari perhatian lo gitu? Gini gini maksud gue, dia pingin cari perhatian lo dengan cara yang berbeda. Gue rasa bukan cuma omongan dia aja, tapi omongan lo juga. Jadi, kalo seandainya lo ngelarang dia buat makan mie, ini misalnya loh ya, dia bakal tetep makan biar lo perhatiin dia dan nyuruh dia berhenti gitu. Lo ngerti nggak sih maksud gue?"
Kenapa hati gue mendadak panas?
Enggak, enggak! Siapa yang berani cari perhatian sama Nabila?!
"Gini loh Nabila-ku sayang, bisa gue bilang kalo cowok itu suk─”
Brak!
Gue nggak bisa menahan diri lagi buat denger kalimat Lalisa selanjutnya, gue terlalu marah. Enggak tau kenapa, tapi gue nggak suka denger langsung kalo ada laki-laki lain yang suka sama Nabila. Jelas, Nabila itu punya gue, walaupun belum resmi.
Gue nggak tau apa yang gue fikirin ketika tanpa sadar langkah gue mendekat kearah Nabila, dan sebuah pertanyaan terlontar gitu aja dari mulut gue.
"Nana, jadi pacar Raka, mau, ya?"
S i a l a n.
KENAPA GUE HARUS NGOMONG GITU?!
"Raka ...."
"Enggak, enggak, nggak perlu dijawab!" potong gue cepat. "Raka bercanda, Raka nggak beneran nembak Nana kok tadi. Udah, ya, Raka mau ke kamar mandi." Dengan langkah lebar gue keluar dari kelas, menyisahkan tatapan bingung dari Nabila dan teman-teman gue yang lain.
See?
Kalian semua nggak tau. Dibalik sifat playboy yang sering kalian bilang, gue memang nggak seberani itu buat ngungkapin langsung didepan orang yang gue sayang.
Gue terlalu takut, ditolak sama Nabila.
###
Nabila berjalan gontai ke arah ruang guru. Sekolah baru saja dibubarkan, dan dia mendapatkan panggilan dari Ibu Sisca untuk segera keruangannya. Tidak jauh-jauh, pasti dia akan mewakili sekolah lagi untuk lomba.
"Permisi." Nabila membuka pintu ruangan Bu Sisca dengan hati-hati, Nabila terkejut karna menemukan keberadaan Zinde disana. Tidak berani menatap mata Zinde berlama-lama, akhirnya Nabila masuk seraya melempar senyum tipis ke arah Ibu Sisca.
"Karena Nabila sudah disini, langsung saya jelaskan saja ya." Ibu Sisca memulai, "Satu minggu lagi, ada lomba cabang Matematika di Bogor, dan lomba ini bukan tunggal, lomba ini untuk regu yang terdiri dari dua orang. Jadi, kamu pasti tahu kenapa ada Zinde disini kan Nabila?"
Nabila mengangguk terpatah, "saya sama Zinde bakal kerjasama bu."
Nabila harus mengakui sesuatu.
Di luar semua perlakuan jahatnya, Zinde memang termasuk siswi yang pintar.
"Baiklah kalau begitu, saya sangat tau kapasitas otak kalian berdua. Saya tidak perlu memberikan tutor belajar sepulang sekolah, karena Pak Eko juga berpesan untuk tidak mengganggu waktu pulang sekolah kamu Nabila, dia ingin kamu membantu persiapan ulang tahun sekolah. Jadi, apa bisa saya percaya kepada kalian untuk belajar masing-masing?"
Keduanya mengangguk.
"Kalau begitu, kalian boleh keluar sekarang."
"Permisi, Bu."
Zinde lebih dulu keluar disusul Nabila dibelakangnya, mereka berdua meninggalkan ruang guru dalam diam. Nabila sampai heran, kenapa gadis itu tidak mencelanya sekarang? Mereka berpisah dikoridor tanpa sepatah katapun. Melihat perlakuan Zinde barusan, Nabila jadi bisa menyimpulkan dua hal.
Mood gadis itu sedang baik, sehingga tidak mengganggunya.
Atau, Zinde sudah menyiapkan rencana untuk mengganggunya, nanti.
###
"Nabil!"
Nabila menoleh kekanan dan kekiri untuk mencari sosok laki-laki yang baru saja memanggilnya tadi, tapi Aksa tidak terlihat di manapun.
"Gue di atas!"
Nabila langsung mendongak dan mendapati Aksa berdiri di bagian paling atas gedung lantai tiga sekolahnya. Laki-laki itu tidak sendirian, ada beberapa anggota OSIS laki-laki lainnya, termasuk Guanlin. Setelah selesai dengan urusan Ibu Sisca, Nabila memang pergi menuju lapangan. Dia ingin membantu persiapan, sekaligus memberitahu Aksa jika dia tidak bisa menjadi mc tahun ini.
"Bentar, ya! Tunggu sana!" Aksa berteriak lagi.
Nabila tidak tau apa yang sedang dibicarakan Aksa kepada anggotanya yang lain, tapi sepertinya dia menyuruh mereka untuk segera memasang banner yang memang mereka bawa keatas sana, setelahnya Aksa turun dan menghampiri Nabila.
Diam-diam Nabila menghela napas lega, dua saudara kembarnya yang lain─Barga dan Raka─sudah membuat Nabila resah karena perlakuan tak terduga yang dilakukan mereka hari ini, Nabila tidak tahu apa yang terjadi pada mereka berdua, sehingga berniat sekali membuat Nabila bingung. Tapi diluar semua masalah itu, Nabila bersyukur karena Aksa justru membuatnya sedikit lega.
Setidaknya, sikap laki-laki itu sedikit menghiburnya.
"Ngapain kesini?" Aksa tidak bisa menahan nada riangnya ketika bertanya.
Nabila terkekeh samar. "Bantuin, memang apa lagi?"
"Mendung." Laki-laki itu menengadah ke langit, "hari ini mau masang-masang banner sama bendera sponsor aja kok, bentar lagi juga hujan, Nabil nggak usah bantu apa-apa."
"Gue mau kasih tau sesuatu aja kalo gitu."
Aksa mengernyit, "apa? Jangan bilang Nabil mau nerima pernyataan cinta Aksa sekarang." Aksa nyengir.
"Enggak, Sa." Nabila tertawa lagi, "gue nggak bisa jadi mc tahun ini, jadi lo cari mc pengganti aja, ya?"
"Lomba lagi?"
Tepat sekali.
Nabila mengangguk.
"Makanya sih, Nabil itu jangan pinter-pinter jadi orang," kata Aksa.
Alis Nabila bertaut, "kenapa?"
"Karena kalo terlalu pinter, Nabil bakal sering ikut lomba, dan lomba itu bakal bikin Aksa nggak lihat Nabil selama beberapa hari, dan itu ngebuat Bae …." Kalimat Aksa terhenti.
"Ngebuat apa?"
Aksa membasahi bibir bawahnya sebelum berucap, "kangen."
Nabila tertawa lagi, kali ini cukup keras dan tawa itu adalah jenis tawa lepas dari seorang Nabila. Wajah Aksa sontak memerah karena melihat Nabila tertawa, ada rasa senang karena tawa itu disebabkan olehnya.
"Nabil cantik kalo ketawa."
Nabila tau kalau Aksa selalu seperti itu, blak-blakan dan terlalu jujur.
"Makasih," jawab Nabila disertai senyum.
"Jangan senyum dong, Aksa takut pingsan karena disenyumin sama Nabil."
Nabila tidak bisa untuk tidak tertawa lagi, mendengar Aksa mengatakan kalimat seperti itu disertai dengan wajah yang memelas membuatnya terlalu lucu untuk tidak ditertawakan.
Gerimis tiba-tiba turun, refleks Aksa menarik lengan Nabila untuk berteduh dipinggir koridor, awan hitam berkumpul diatas sana, menutupi biru dan putih yang sering terlihat di langit.
"Hujan," gumam Nabila pelan.
"Nggak masalah."
Nabila menoleh kearah Aksa dengan tatapan bingung, mengetahui arti tatapan Nabila, Aksa segera menyambung.
"Sedingin apapun hujan sore ini, buat Aksa akan selalu terasa hangat, karena ada Nabil disini."
Nabila menggeleng pelan, "gombal terus."
Obrolan mereka masih terus berlanjut, sampai ketika petir sudah mulai terlihat dan Aksa mengajak Nabila untuk berlindung saja di ruang OSIS.
Tanpa mereka sadari, Raka memperhatikan semuanya. Dari pertama kali Nabila keluar dari ruang Bu Sisca bersama Zinde, Raka mengikutinya. Dan setelah melihat semua perilaku Aksa terhadap Nabila, bahkan tawa lepas gadis itu ketika Aksa berbicara, entah kenapa Raka kembali merasakan itu.
Hatinya memanas.
Jadi, mendung kali ini untuk langit atau untuk hati Raka?
Tidak tau karena apa, biasanya dia akan biasa saja bersaing bersama Aksa, tapi melihat bagaimana mudahnya Aksa membuat Nabila tertawa dan sebagainya, Raka tidak suka. Mendadak Raka jadi terfikirkan sesuatu yang berkaitan dengan kalimat Barga tadi pagi.
‘Apa suatu saat kita bakal berantem hanya karna satu gadis yang sama?’