Daniel benar-benar pusing, dalam satu malam dia harus mendapatkan dua masalah sekaligus.
Pertama, kabar mendadak dari Aksa yang mengatakan bahwa Barga kecelakaan lalu dilarikan kerumah sakit karena kondisinya sedikit parah. Daniel sudah punya firasat bahwa ini akan terjadi, karena selama dirinya tau bahwa Barga ikut balap liar, akan ada kemungkinan bahwa putra sulungnya itu akan kecelakaan seperti ini, dan sekarang terbukti benar. Tapi mendengar cerita dari Aksa, bahwa Barga hampir saja berkelahi dengan salah satu temannya, Daniel semakin dibuat bingung. Apakah Barga punya masalah yang tidak diketahuinya selama ini? Daniel bisa bertanya nanti.
Kedua, Raka tidak diketahui dimana keberadaannya, dan sampai jam menunjukkan pukul satu malam pun, putra keduanya itu tidak memberi kabar apapun. Sera terus saja menangis karena khawatir dengan keadaan Raka. Padahal dia pamit keluar dengan alasan ingin membeli makan diluar, tapi sekarang justru menghilang.
"Kakak belum bisa dihubungin, dek?" Daniel yang sedari tadi berdiri didepan ruangan Barga bertanya pada Aksa.
Aksa hanya menggeleng dengan wajah pucat, jujur saja, itu pertama kalinya Aksa melihat anggota keluarganya bersimbah darah. Sebagai anak terakhir, Aksa dihadiahi hati yang begitu lembut, dia bahkan tidak bisa menahan tangis selama diperjalanan membawa Barga kerumah sakit.
Mengenai Nabila, gadis itu sudah pulang sekitar tiga jam yang lalu, Ayahnya menjemput ke rumah sakit. Aksa sebenarnya penasaran, bagaimana bisa Nabila berada ditempat kejadian? Padahal saat itu dia belum memberitahu siapapun tentang kecelakaan yang dialami Barga.
Aksa menghembuskan napas pelan ketika mendengar Mamanya menangis lagi, setelah dokter mengatakan bahwa Barga belum juga sadar Mamanya tidak pernah berhenti menangis, apalagi mengingat Raka juga belum diketahui keberadaannya.
Aksa mendekat kearah Mamanya, lalu mengusap bahu sang Mama dengan pelan. "Ma, udah dong, jangan nangis lagi." Mendengar isakan Mamanya yang semakin kuat, Aksa justru beralih memeluknya. "Mama kan udah denger, kondisi Abang nggak terlalu parah, nanti pagi juga pasti sadar. Mama sabar ya." tangannya terulur untuk mengusap bahu sang Mama.
"Kakak … dimana?"
Pada saat-saat seperti ini, rasanya ingin sekali Aksa menonjok wajah Raka.
"Belum ada kabar, tapi adek bakal hubungin terus. Mama jangan khawatir."
###
Kedua mata Nabila terbuka bersamaan dengan bunyi jam weaker yang baru saja menggema. Tidak perlu menunggu bermenit-menit untuk bermalasan lebih dulu, Nabila langsung memposisikan dirinya untuk duduk dan mengusap kedua matanya sebentar, mengumpulkan nyawa. Tatapannya jatuh pada sebuah sweater yang menggantung di belakang pintu kamarnya, ada beberapa bagian dari sweater itu yang terkena bercak darah.
Nabila sontak mengambil ponselnya yang berada di atas nakas, mengeceknya, berharap ada sebuah balasan dari pesan yang dia kirim semalam. Tapi ternyata, tidak ada satupun notifikasi disana, harapannya pupus bersamaan dengan dirinya yang membuka kembali kolom percakapan terakhir bersama laki-laki itu.
Raka
Ka, lo dimana?
Barga masuk rumah sakit.
21.56
Ka, maaf:')
22.15
Pesan itu terkirim, tapi tidak mendapatkan balasan. Nabila berharap setidaknya Raka tetap membaca pesan itu. Nabila merasa bersalah karena meninggalkan Raka begitu saja, dan baru sadar ketika Ayah bertanya sweater siapa yang dia kenakan. Tapi alih-alih menjawab pertanyaan Ayah semalam, Nabila justru menangis lagi karena teringat Raka. Pasti laki-laki itu kecewa kepadanya.
Maka sekarang, Nabila hanya ingin cepat datang kesekolah untuk bicara dengan Raka.
###
Raka tidak datang.
Walaupun bel masuk sudah berbunyi, Nabila tidak pernah mengalihkan tatapannya dari pintu kelas barang sedetikpun, dia masih punya harapan selagi guru pelajaran pertama belum datang. Tapi ketika Lalisa menyuruhnya untuk berganti pakaian olahraga, Nabila hanya bisa pasrah karena menyadari Raka tidak akan masuk hari ini.
Lalisa tidak tahu apa yang terjadi dengan Nabila hari ini. Biasanya gadis itu selalu menjadi paling semangat jika ada jam olahraga, tapi sekarang dia justru terlihat malas. Kedua mata Nabila memang memperhatikan Pak Aziz yang sibuk menjelaskan tentang materi basket, tapi Lalisa tau bahwa fikiran Nabila sedang tidak ada disini, gadis itu terlihat aneh.
"Nab?" Lalisa berbisik.
Tidak mendapat respon.
"Nab." Kali ini Lalisa sampai menyenggol bahu Nabila.
"Hah?"
"Ke UKS sana muka lo pucet, nanti gue yang izinin."
Nabila menggeleng, "Gue nggak sakit."
"Bohong, lo pasti nggak sempet sarapan. Tadi Zai bilang sama gue lo dateng subuh banget, jam berapa lo sampe sekolah?"
Tanpa berpikir lagi Nabila menjawab, "enam kurang."
"Gila. Lo mau bantuin Bang Memet buka pager?"
Nabila terkekeh kecil mendengar nama Bang Memet disebut, sekedar informasi saja bahwa Bang Memet adalah satpam sekolahnya.
"Udah sana." Lalisa mendorong bahu Nabila agar gadis itu segera beranjak dari lapangan. Tapi Nabila tetap saja bergeming ditempatnya.
Lalisa berdecak, lalu tiba-tiba mengangkat tangan, membuat penjelasan Pak Aziz terhenti karna melihatnya. "Kenapa Lalisa?" tanya Pak Aziz dengan raut bingung.
"Nabila sakit pak, tapi saya suruh ke UKS nggak mau."
Pak Aziz menggeser sedikit tubuhnya kekiri untuk melihat wajah Nabila yang sesungguhnya memang benar-benar pucat.
"Nabila kamu ke UKS saja, bapak nggak mau kalo ada anak murid yang pingsan waktu lagi dribble bola basket."
Nabila melirik kearah Lalisa dengan sebal, tapi dia tetap menjawab, "Iya pak."
Lalisa tersenyum lebar lalu menepuk bahu Nabila sekilas. "Istirahat, terus minta tolong suster beliin lo nasi." Nabila mengangguk singkat sebelum melangkah pergi menuju UKS.
Ketika sampai, Nabila tidak menemukan siapapun di dalam UKS. Tidak dengan suster, ataupun dengan siswa yang biasa membolos mata pelajaran dengan izin pura-pura sakit. Mengingat itu Nabila justru terpikir Raka, laki-laki itu juga kerap kali berpura-pura sakit jika sedang malas belajar. Dan biasanya, jika tidak bisa dinasihati, Nabila lebih menyuruh Raka tidur di UKS daripada Raka bolos dengan anak-anak nakal yang sering nongkrong di kantin.
Kedatangannya diUKS juga mengingatkannya dengan peristiwa beberapa hari lalu, saat dimana dirinya pingsan dan Raka yang membawanya ke UKS. Nabila pingsan karena tidak sempat sarapan waktu itu. Karena sudah terbiasa sarapan pagi, sehingga jika dia lupa akan berpengaruh kepada kesehatannya, apalagi Nabila punya magh.
‘Jangan sakit lagi, ya.’
Nabila tersenyum tipis mengingat kalimat itu.
‘Kalo kangen bilang aja! Pasti nanti langsung Jihoon samperin!’
Ah, kalimat itu, kalimat yang dikatakan Raka sewaktu Nabila baru pulang dari Semarang. Nabila jadi penasaran, jika dia melakukan itu, apa Raka akan benar-benar menghampirinya?
Dengan kesadaran penuh, Nabila merogoh saku celana olahraganya, mengambil ponsel lalu mengetikkan sebuah pesan kepada laki-laki itu. Selagi pesan tersebut sedang diproses untuk terkirim Nabila juga berharap, semoga saja pesan ini bisa memicu kehadiran Raka untuk menemuinya.
"Permisi."
Nabila langsung mengalihkan perhatiannya dari ponsel ke daun pintu lalu menemukan Aksa berdiri disana.
"Nabil? Sakit?"
Nabila menggeleng pelan seraya memasukkan kembali ponselnya di dalam saku. "Enggak sakit kok, cuma mau istirahat aja."
Kedua mata Aksa menyipit, "Bohong. Muka Nabil pucet gitu, nggak mungkin nggak sakit." Kemudian langkahnya menuntun masuk menuju rak obat-obatan.
"Aksa juga sakit?"
Aksa menoleh sebentar. "Enggak, ini buat Pak Jaeni, dia minta ambilin obat, apa ya tadi namanya, buat obat mules pokoknya." Aksa meletakkan telunjuknya kedagu, untuk mengingat lagi nama obat yang disebutkan oleh guru keseniannya itu.
Nabila terkekeh kecil, mengingat Pak Jaeni adalah salah satu guru dengan kelakuan absurd disekolahnya. "Pak Jaeni diare," gadis itu mendekat dan membuka salah satu rak yang menyediakan obat diare disana, mengambilnya satu lalu menyerahkannya kepada Aksa.
"Makasih Nabil," kata Aksa sambil tersenyum.
Nabila mengangguk, lalu seakan teringat sesuatu, gadis itu langsung tersentak. "Raka dimana?" tanyanya cepat.
Raka yang sudah mengira bahwa Nabila akan bertanya mengenai keberadaan saudaranya itu hanya bisa menghela napas panjang.
"Gue nggak tau, dia nggak pulang."
Nabila tersentak, dia kaget bukan main, dia kira walaupun Raka marah, laki-laki itu tetap ada dirumah. Nabila tidak pernah terpikir jika Raka bisa seperti itu, tapi nyatanya Raka benar-benar bisa.
"T-terus … Barga?"
Nabila tidak bisa membahas Raka lebih lanjut, melihat bagaimana ekspresi Aksa ketika membahasnya, sepertinya laki-laki itu marah kepada Raka. Jadi Nabila lebih memilih untuk mengalihkan topik lain, walaupun sebenarnya dia penasaran.
"Baik kok." Sekarang Aksa tersenyum tipis. "Tadi subuh dia udah sadar, walaupun masih susah buat ngomong, tapi secara keseluruhan dia udah baik-baik aja, tinggal masa pemulihan."
"Enggak ada luka yang fatal, kan?"
"Enggak tenang aja, Nabil mau jenguk? Kalo mau, nanti pulang sekolah sekalian bareng Aksa aja." Sekalian modus, lanjut Aksa dalam hati.
"Boleh." Nabila beranjak untuk duduk dipinggir ranjang UKS.
"Yaudah pulang sekolah tunggu aja dikelas, nanti Aksa yang susulin."
Nabila mengangguk singkat.
"Nabil belum sarapan, ya?"
"Eh?"
Aksa terkekeh, "mukanya pucet banget sih," katanya sambil memperhatikan.
"Iyasih, belum sarapan," jawab Nabila jujur.
"Oke, kalo gitu." Laki-laki itu memasukkan bungkusan obat yang tadi diberikan oleh Nabila ke dalam saku celananya, lalu mulai melangkah menuju pintu. "Nabil tunggu sini, Aksa beliin sarapan dulu ya."
Nabila tidak sempat menolak, karena Aksa sudah lebih dulu hilang di balik pintu.
###
"Nabila?" Seorang siswi mengintip dari depan pintu kelas, mencari sosok Nabila yang ternyata sedang berbicara dengan Lalisa.
"Iya?" Nabila langsung berdiri dan menghampiri siswi itu di pintu kelas.
"Kata Raden tunggu sebentar, jangan kemana-mana dulu, Raden mau rapat bentar."
Dahi Nabila mengkerut, "Raden?"
Raden yang mana? Bukannya ada tiga Empat Raden disekolah ini? Tiga Raden bersaudara dan satu Raden anak satu angkatannya yang ikut ekskul karate.
Siswi itu menepuk keningnya pelan, menyadari kebodohannya. "Maksud gue Aksa, dia mau rapat bentar, jadi lo disuruh tunggu. Bentar doang kok nggak lama."
"Oke, oke." Nabila mengangguk, dan siswi itu segera pamit untuk kembali keruang OSIS.
"Raden dan segala perintahnya." Lalisa tiba-tiba nyeletuk disamping Nabila.
Nabila sontak tertawa mendengarnya, Aksa memang seperti itu. Dikhususkan untuk anggota OSIS, mereka akan memanggil Aksa dengan sebutan Raden. Karena nama Raden terdengar bagus buat jabatan dia sebagai ketua. Kalo denger cerita dari anak-anak OSIS sih gitu, Aksa memang ketua yang suka memerintah, tapi dibalik itu semua, dia benar-benar bertanggung jawab terhadap posisinya.
"Gila hormat banget." Lalisa nyeletuk lagi, membuat Nabila langsung menegurnya pelan.
"Dia nggak gila hormat," Nabila membela, dia memang tau kalau faktanya seperti itu. "Lo kan tau dia anak terakhir."
"Iya, iya. Becanda gue." Lalisa tertawa kecil. "Gue balik duluan ya? Abang gue udah didepan nih."
"Sekalian deh yuk keluar, gue juga mau ke toilet."
Sekolah suda dipulangkan sejak lima menit yang lalu, dan yang tersisa dikelas memang mereka berdua. Nabila yang menunggu Aksa, dan Lalisa yang menunggu jemputan. Tapi sekarang Nabila harus sendirian karena nyatanya Lalisa sudah dijemput.
Nabila refleks menghela napas ketika keluar dari bilik toilet. Sampai jam sekolah usai pun Raka tidak juga datang. Nabila jadi khawatir jika terjadi sesuatu dengan laki-laki itu, apalagi pesannya tidak dibalas sama sekali, padahal Raka tidak pernah mengabaikannya seperti ini.
Dengan berat hati, Nabila kembali melangkah menuju kelasnya, akan sangat tidak enak jika tiba-tiba Aksa sudah menunggunya disana. Tapi alih-alih menemukan Aksa, Nabila justru dikejutkan dengan seseorang yang kini duduk dikursinya.
Raka.
Dia datang.
"Ra … ka?"
Nabila mati-matian menahan laju airmatanya agar tidak keluar. Dilihat dari bagaimana penampilan Raka, terutama pada lingkar hitam dibawah matanya, jelas sekali kalau laki-laki itu tidak tidur seharian.
Raka tersenyum tipis, senyumnya tulus. "Katanya lo kangen gue?"
Nabila mengangguk cepat, "lo kemana? kenapa lo nggak pulang kerumah? lo marah sama gue?" tanyanya lirih.
"Gue nggak marah sama lo." Raka bangkit, berjalan menghampiri Nabila yang masih berdiri didaun pintu. Ketika sampai dihadapan gadis itu, Raka langsung menepuk-nepuk pelan puncak kepala gadis itu.
"Gue marah sama diri gue sendiri, yang nggak bisa ngendaliin rasa cemburu saat tau kalo lo lebih perduli orang lain dibanding gue."
Tatapan Raka menyendu, dia sudah memikirkan ini semalaman. Awalnya dia merasa biasa saja bersaing bersama Aksa, dan rela-rela saja jika Barga benar-benar menyukai Nabila. Tapi setelah melihat semuanya dengan emosinya yang sedang tidak baik, Raka merasa dia langsung kalah sebelum memulai. Aksa selalu bilang kalau dia tertinggal jauh dari Raka, tapi nyatanya? Raka lah yang tertinggal, apalagi setelah melihat tangis Nabila ketika Barga kecelakaan. Satu pertanyaan muncul dibenaknya.
Apa Nabila juga akan menangis jika dia yang seperti itu?
Raka tidak pernah bisa menjadi seperti Aksa yang dengan berani langsung mengungkapkan, ataupun menjadi Barga yang diam-diam sudah dekat dengan gadis itu. Alih-alih membuat Nabila senang, Raka justru merasa malu karena sudah memacari hampir sebagian siswi disekolah ini.
Dengan egonya, Raka hanya ingin Nabila memperhatiakannya. Tapi dia juga cukup sadar bahwa selama ini dia playboy cap badak yang terlalu bermimpi mendapatkan hati seorang Nabila Farisha Kusnandi.
"Nabil, ayo keru─"
Langkah serta ucapan Aksa langsung terhenti ketika melihat Raka. Mereka berdua saling tatap sejenak, Aksa ingin mengambil langkah mendekat dan langsung menonjok wajah Kakak kembarnya itu, tapi terurung ketika Raka tiba-tiba berbicara, lalu disusul langkah perginya yang menyisakkan isakan tangis dari Nabila.
"Soal perasaan, apa boleh gue egois kali ini?"