15 : Perjanjian

1718 Kata
Rencana menjenguk Barga sepertinya gagal, karena setelah cukup lama bergeming, Nabila memutuskan untuk mengejar langkah Raka yang semoga saja belum terlalu jauh. Padahal seharusnya Aksa yang mengejar Raka karena mereka bersaudara, tapi menurut Nabila, itu justru ide yang buruk karena mereka bisa saja bertengkar nantinya. Maka dengan penuh kepercayaan diri, Nabila sempat berkata sebelum pergi. "Aksa tunggu dirumah sakit aja, Nabila bakal bawa Raka kesana." Nabila mengedarkan pandangannya pada parkiran depan yang sudah sepi, tidak ada tanda-tanda Raka disana, berarti Raka tidak membawa mobilnya untuk datang kemari. Gadis ini berlari lagi menuju gerbang depan, melirik ke kanan dan ke kiri lalu tatapannya jatuh pada sosok Raka yang sedang berjalan dikejauhan. Walaupun sudah terlalu jauh tapi Nabila yakin kalau pakaiannya sama dengan pakaian yang dikenakan Raka tadi. Tanpa pikir panjang lagi Nabila segera berlari, namun ketidakfokusannya menyebabkan Nabila harus menabrak bahu seseorang, sepertinya laki-laki setelah melihat sekilas postur tubuhnya. "Maaf, ya, gue buru-buru." Nabila menunduk sopan lalu menatap sebentar laki-laki dihadapannya. Laki-laki itu tersenyum, Nabila tertegun sejenak karna melihat senyumnya, kedua mata laki-laki itu ikut melengkung seiring dengan senyumnya yang terbit. "Nggak apa-apa, gue yang nggak hati-hati sampe nabrak cewek. Lo nggak apa-apa, kan?" Nabila mengangguk singkat, menyadari bahwa laki-laki ini bukan siswa dari sekolahnya, melainkan dari sekolah sebelah yang menjadi pesaing terberat sekolahnya, laki-laki ini dari SMA 2 atau yang biasa mereka sebut sebagai Smanda. Nabila tersentak, seakan mengingat tujuan utamanya berada disini, dia langsung berbalik dan mendengus ketika tidak lagi menemukan sosok Raka. "Gue duluan, ya! Maaf sekali lagi!" Nabila melempar senyum tipis lalu beranjak pergi untuk kembali mengejar Raka. Nabila ingin menyerah saja rasanya, dia sudah berhenti ditempat terakhir dia melihat Raka, tetapi tidak ada tanda-tanda lain dari keberadaan Raka. Nabila jadi menyesal karena menggunakan waktunya untuk berbasa-basi sebentar kepada laki-laki tadi, walaupun Nabila harus mengakui bahwa senyum laki-laki itu terlalu manis untuk sekedar dilewatkan. Nabila jarang menemukan orang yang mempunyai eye smile. Sebuah tepukan pada bahunya membuat Nabila tersentak, dia langsung berbalik dan mendapati Zainuri berdiri dibelakang sambil menatapnya bingung. "Ngapain disini, Nab?" "Lo ngapain disini?" Bukannya menjawab, Nabila justru balik bertanya. Zainuri menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Lo kan tau gue ngekos selama SMA. Nah, kosan gue nggak jauh dari sini." Kedua mata Nabila menyipit, jawaban Zainuri seperti mendatangkan sebuah prasangka baru dikepalanya, apalagi saat melihat gerak-gerik gelisah dari tatapan laki-laki itu yang berkali-kali melihat kearah belakang Nabila. "Raka dimana?" Satu pertanyaan telak yang mampu membuat Zainuri semakin gelisah dihadapannya. "… Raka?" Ada yang tidak beres dari arah pandang Zainuri, maka dengan cepat Nabila menoleh juga, lalu dia melihat Raka yang baru saja keluar dari minimarket disebrang jalan, laki-laki itu juga terkejut ketika melihatnya berdiri berhadapan dengan Zainuri. Seperti tertangkap basah, Raka hanya bisa mengalihkan tatapannya cepat, lalu buru-buru berjalan menjauh dari minimarket tersebut.             "RAKA!" Oh, Nabila tidak bisa untuk tidak teriak. Nabila menyebrang dengan hati-hati lalu segera mengejar langkah Raka yang kelewat lebar, putus asa karena sampai kapanpun larinya tidak akan bisa mengejar Raka, Nabila berteriak lagi. "KALO LO NGGAK MAU BERHENTI, KITA MUSUHAN! GUE NGGAK BAKAL MAU NGOMONG SAMA LO LAGI!" Mengabaikan tatapan para pejalan kaki dan pengendara yang lewat, Nabila justru bersyukur karena Raka sudah berhenti di depan sana. Tidak mau membuang waktu lagi, Nabila segera mendekat lalu mencengkeram erat ujung kaus yang Raka pakai. Raka berbalik, menepis tangan Nabila yang berada diujung kausnya. "Nana jahat!" katanya dengan mata yang berkaca-kaca. "Nana nggak mau ngomong sama Raka lagi! Jahat!" Nabila terdiam, dia menatap Raka dengan tatapan yang sangat sulit untuk dibaca. Kemana Raka yang beberapa menit lalu membuatnya menangis di dalam kelas? Sebuah senyum terbit di bibir Nabila, tiba-tiba hatinya lega mendengar Raka kembali memakai panggilan Nana-Raka untuk berbicara dengannya, tidak lagi dengan lo-gue yang entah mengapa malah terdengar tidak nyaman ditelinga Nabila. "Jangan senyum sih!" Raka berujar kesal. Dahi Nabila mengernyit. "Kenapa?" Raka membuang muka, mencegah Nabila untuk bisa melihat wajahnya yang kontan memerah. "Nanti Raka nggak bisa marah lagi sama Nana." "Yaudah, kalo gitu Nana senyum aja terus, biar Raka nggak akan bisa marah sama Nana." Raka menunduk menyembunyikan sebuah senyum yang tidak bisa dia tahan lagi, padahal malam belum tiba, tapi sekarang Raka merasa seperti ada festival kembang api didalam hatinya. TIN! TIN! Secara refleks Raka menarik Nabila untuk sedikit meminggir. "WOY BAPAK INI GANGGU AJA LOH! HABIBIE AINUN LAGI MELEPAS RINDU NIH!" Jangan lupakan fakta bahwa Raka memang sekonyol itu. Nabila meringis, menyadari kini lebih banyak pasang mata yang memperhatikan mereka akibat ulah Raka barusan. Apalagi melihat kumpulan anak-anak SMP yang sedang memperhatikan Raka seraya menahan jerit tertahan, tiba-tiba Nabila merasa tidak suka. "Ka, pindah aja yuk, diliatin orang." Raka mengangguk, dia menggenggam salah satu tangan Nabila yang bebas, lagi-lagi kembang api kembali meletus di dalam hatinya saat menyadari bahwa Nabila tidak menolak tindakannya. "Kita ngobrol di kosan Zainuri aja." Untuk saat ini saja, kenapa Raka merasa, kata kita mengandung sebuah arti untuk mereka berdua? ### "KOK LO BISA KAYAK GINI SIH?! UDAH GUE BILANG JANGAN BALAPAN! MASIH AJA NGEYEL! UNTUNG CUMA KECELAKAAN, KALO LO MATI GI─ ADUH! SAKIT PAPA!" Raka meringis memegangi telinganya yang masih saja dijewer oleh Daniel, "Le-lepas!─aish, sakit Papa!" "Jangan sok khawatir kalo kemaren aja nggak pulang seharian! Kemana kamu, hah?!" Ruang rawat Barga tiba-tiba saja menjadi ramai karena kedatangan Raka. Setelah memberikan cukup banyak alasan kepada Nabila akhirnya Raka menyerah juga, terlalu sulit untuk menolak permintaan Nabila yang menyuruhnya untuk pulang. Raka juga tidak bisa berdiam diri terlalu lama, bagaimanapun juga semuanya harus selesai baik-baik. "Ini nih kenapa Kakak nggak mau pulang! Abis─" "Kenapa, hah?! Mau diapus nama kamu dari Kartu Keluarga?!" Daniel memotong dengan kesal. "Jangan motong-motong omongan Kakak, bisa nggak sih?!" "Jangan bikin Papa kesel, bisa nggak sih?!" Barga yang sedari tadi hanya bisa berbaring di ranjang rumah sakit langsung berdecak kesal, "diem sih, pusing nih." Laki-laki itu mengangkat sebelah alisnya ketika Raka menatapnya dengan tatapan tanya yang kelewat sinis. Barga tidak tahu apa-apa, karena terakhir kali yang dia ingat hanya menelpon Nabila sebelum kesadarannya hilang, lalu setelah bangun ternyata dia sudah dirumah sakit. "Kenapa lo ngeliat gue kayak gitu?" tanya Barga masih saja datar. Raka bersidekap. "Ada hubungan apa lo sama Nabila? Sampe harus ngabarin dia waktu lo lagi sekarat?" Barga tercekat ditempatnya, dia bingung, kenapa Raka bisa tahu soal itu? "Kalo lo mau tanya kenapa gue tau, karena waktu itu gue lagi─PAPA JANGAN JEWER-JEWER LOH! SAKIT INI!" Raka melotot dan kontan memegangi salah satu telinganya yang lain, tadi kiri, sekarang kanan yang menjadi korban jeweran dari Papanya. "Papa nanya kamu kemana aja?! Kenapa nggak jawab?! Malah bahas Nabila!" "IYA INI MAU DIJELASIN LOH! ADA HUBUNGANNYA SAMA NABILA!" "BERANI KAMU BENTAK-BENTAK PAPA YA?!" Aksa memperhatikan semuanya dari sofa, bersyukur bahwa Mamanya sedang pulang untuk beres-beres dirumah, kalau tidak pasti Mama Sera akan pusing melihat dua laki-laki itu terus saja bertengkar. Tapi disisi lain, Aksa ingin berterimakasih kepada Papanya yang sudah menghadiahi Raka dua jeweran di masing-masing telinganya, karena baik Aksa, Raka dan Barga pun tahu bahwa jeweran Daniel itu tidak pernah main-main, alih-alih telinga Raka yang memerah, tapi sekarang justru warna merah itu menjalar diseluruh wajahnya karena sakit. Setidaknya Aksa tidak perlu mengeluarkan tenaga berharganya hanya untuk menonjok wajah Raka. Awalnya, Aksa hanya berniat mendengarkan saja, karena pertengkaran Raka dan Papanya adalah salah satu momen yang sangat sayang untuk dilewatkan. Tapi setelah mendengar bahwa nama Nabila disebut-sebut, Aksa tidak bisa untuk tidak diam saja, dia beranjak ke pinggir ranjang Barga, duduk disana, seraya mendengarkan dengan teliti penjelasan yang keluar dari mulut Raka. "Papa inget, kan. Raka malem itu izin mau cari makan. Raka bohong, sebenernya Raka mau kerumah Nabila, terus minta tolong dia buat jadi model dari sweater endorse Raka." Baru saja Raka memulai, tapi dia sudah mendapatkan tatapan tak suka dari Aksa. Dengan satu helaan napas panjang Raka kembali melanjutkan, "Nggak usah bahas masalah endorsenya, karena jujur aja, malem itu Raka sebenernya mau nembak Nabila." Kali ini tidak hanya Aksa yang terkejut, tapi juga Barga. "Raka udah hampir aja mau … ya … itu lah pokoknya, Papa pasti tau apa arti itu yang Raka maksud." Wajah Raka yang sudah merah semakin memerah setelah mengingat kejadian dimana dia hampir mencium Nabila. Tapi rasa malu itu tidak berlangsung lama, karena setelahnya wajah Raka terlihat kesal. "Raka nggak jadi ngelakuin itu, karena hp Nabila langsung bunyi, Raka kira Ayahnya yang nelpon taunya Barga." Satu tatapan sinis dilayangkan oleh Raka untuk Barga. "Apalagi setelah liat ekspresi khawatir dari Nabila setelah dapet telpon itu, disusul sama lari dia yang kayak orang kesetanan, Raka langsung tau kalo ada apa-apa sama Barga. Tapi diluar itu semua, jujur aja, Raka nggak bisa nerima kenyataan kalo Nabila lebih perduli sama orang lain─terutama cowok lain─daripada sama Raka." Ada rasa senang dihati Barga ketika mendengar langsung kalau ternyata Nabila seperduli itu terhadapnya, tapi disisi lain dia merasa bersalah karena apa yang pernah diucapkannya waktu itu terbukti benar, mereka bertiga pasti akan bertengkar hanya karena satu gadis yang sama. "Semuanya tambah buruk, saat Raka kepikiran sama keberaniannya Aksa buat nyatain perasaannya sesering itu, sedangkan Raka? Nggak pernah sekalipun Raka berani buat nembak Nabila. Raka jadi playboy, gara-gara nurun Papa sih!" Raka mendelik kesal kearah Daniel, yang langsung disambut tawa oleh laki-laki itu. Daniel menatap Raka dengan sorot geli disusul oleh sebuah pertanyaan tak terduga. "Jadi, Kakak sebenernya marah karena Nabila lebih perduli sama Abang, Kakak ternyata nggak seberani Adek, atau karena Kakak nggak jadi cium Nabila?" "PAPA!" Seluruh wajah Raka memerah lagi, tapi dia buru-buru mengalihkan tatapannya dan menatap serius kedua saudara kembarnya, tidak mau menjawab pertanyaan Daniel. "Sekarang biar semuanya kelar, gue pingin tanya sesuatu sama kalian berdua." Raka menatap Barga dan Aksa bergantian. "Aksa, lo suka Nabila, kan?" Aksa mengangguk tanpa ragu. "Jelas, lo tau apa jawaban gue." Raka beralih pada Barga, namun belum sempat Raka melayangkan pertanyaannya Barga sudah lebih dulu menjawab. "Iya, gue suka sama Bila." Raka sudah menyadari jawaban Barga, tapi setelah mendengar langsung, dirinya tidak bisa untuk tidak terkejut. Fakta bahwa mereka bertiga menyukai gadis yang sama, membuat semangat perjuangan dari diri Raka membara. "Gue punya perjanjian." "Apa?" tanya dua saudaranya. "Kita bertiga tau kalo Nabila nggak mudah buat direbut hatinya, jadi nggak akan mudah buat ngelakuin ini. Gue mau kali ini kita bersaing buat dapetin hatinya, nggak boleh ada yang cemburu diantara kita, nggak boleh ada yang marah kalo seandainya Nabila udah ngambil keputusan, kita harus bersaing secara sehat." Raka menarik smirk untuk mengakhiri ucapannya. "Emang lo yakin Nabila mau sama salah satu diantara kita?" Aksa bertanya. "Adek belum berjuang aja udah nanya begitu, gimana sih! Berjuang dulu baru ngeluh." Sahut Daniel yang dibalas cengiran oleh Aksa. Barga yang sedari tadi hanya diam, kini ikut mengajukan sebuah syarat. "Siapapun yang bakal dipilih sama Nabila nanti, kita harus menerima keputusan dia tanpa berantem-berantem lagi." Raka dan Aksa mengangguk bersamaan, Daniel hanya bisa tersenyum menatap ketiga putranya bergantian, sepertinya dia harus menemui Farhan lagi, lalu memberitahu laki-laki itu, bahwa beberapa tahun lagi, mereka pasti akan menjadi besan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN