Sesuai dengan apa yang sudah dibicarakan dengan Barga pagi tadi, akhirnya pukul dua belas siang Nabila sudah tiba di perusahaan keluarga Bagaskara dengan membawa satu kotak makan dengan ukuran cukup besar di tangannya.
Nabila sudah meminta tolong pada Barga untuk menahan kedua adiknya makan siang sebab, Nabila sudah membawakan mereka makan siang dari rumah. Ketika Farisha mengetahui bahwa putrinya ingin mengunjungi dua anak laki-laki itu, dia langsung membuatkan makan siang untuk keduanya. Dan sempat ada percakapan lucu yang terjadi.
“Raka sama Aksa udah jarang banget— bahkan udah nggak pernah lagi main ke rumah. Bil, kamu ajakin gih mereka main ke sini.”
Nabila tertawa mendengar perkataan Ibunya. “Ibu, Raka sama Aksa itu kerja, mereka sibuk banget apalagi Raka yang sekarang ngegantiin posisi Ayahnya. Lagian kalaupun mereka punya waktu pasti mereka milih buat nyamperin pacar mereka, Ibu enggak lupa kan kalo dua temen aku Lalisa sama Zinde itu pacar mereka? Jadi, Ibu jangan heran lagi kalo yang sering Ibu lihat ke sini cuma Barga, karena kan Barga pacarku.” Nabila menjawab sambil tertawa kecil.
“Kalau begitu ajak mereka berempat main ke sini, sudah lama kan teman-temanmu tidak mampir?”
“Iya, iya, oke. Nanti Bila coba bicarain sama mereka ya, Bu.”
Mengingatnya membuat Nabila tertawa kecil. Sekarang dia sedang menunggu Barga di lobi yang katanya mau menjemputnya, padahal Nabila sudah bilang bahwa dia bisa langsung naik ke atas tanpa perlu repot-repot dijemput, tapi Barga justru bersikeras untuk menjemputnya di lobi.
Baiklah, Nabila hanya bisa mengalah.
“Bil, lama nggak?”
Pertanyaan itu datang beserta satu usapan lembut di kepalanya, Nabila mendongak dan menemukan senyum Barga yang sudah terpatri untuknya. Gadis itu menggeleng singkat untuk menjawab karena dia memang baru saja sampai.
“Kamu ada bilang ke mereka kalo aku datang nggak?”
Satu gelengan dari Barga. “Aku bilang udah pesen makan dan makan di kantor aja, mereka iya iya aja tanpa taruh curiga sedikitpun.”
“Sebenernya bilang juga nggak apa-apa sih, aku juga nggak berniat bikin kejutan gini.”
Sekarang Barga malah tertawa. “Yaudah, mending kita naik aja daripada debat di sini.”
*
Kedatangan Nabila disambut hangat oleh Raka, laki-laki itu cukup kaget karena Nabila datang ke kantornya, walaupun kemarin dia meminta tolong ke gadis itu untuk menemani Zinde dan sudah bertemu sebelumnya tapi tetap saja Raka tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
“Oh, jadi lo nyuruh gue makan di kantor karena Nana mau bawa makanan ke sini?”
Barga mengangguk singkat namun dengan ekspresi yang cukup kecut. “Iya, tapi kenapa lo masih manggil Bila pake sebutan Nana? Kenapa nggak Nabila aja gitu sih, gue risih banget dengernya.”
“Na, lihat geh. Cowok lo sekarang jadi banyak ngomong, kaget nggak?”
Tawa cukup kencang Nabila langsung menggema setelah mendengar pertanyaan Raka. Alih-alih menjawab pertanyaan Barga, laki-laki itu malah mengejeknya dengan wajah yang super menyebalkan dan tentu saja Barga langsung kesal dan menjitak kepala adik kembarnya itu.
Tapi keadaan makin ramai ketika tiba-tiba pintu ruangan Raka terbuka dengan begitu lebarnya dan menampakkan sosok Aksa di sana dengan mata berbinar.
“NABIL?!” Serunya heboh.
Nabila tak bisa mengelak ketika Aksa menariknya ke dalam pelukan dengan gerakan cepat, tapi Nabila juga langsung membalas pelukan itu karena bagaimana pun juga dia rindu dengan laki-laki ini.
Mereka tidak tau saja kalau Barga memperhatikan keduanya dengan wajah yang sudah sangat kesal.
“Kapan pulang?! Kok gue nggak tau?!”
“Udah satu minggu. Lalisa aja tau kalo gue udah pulang masa lo nggak tau?”
Aksa cemberut. “Lisa nggak ada bilang ke gue.”
Raka menyahut, “Ya gimana mau tau, orang lo aja nggak pernah nanya. Lo kalo ketemu Lalisa pasti langsung jadi bucin yang enggak ingat apapun lagi.”
“Berisik!” jawab Aksa kesal. “Mending lo intropeksi diri buat nggak terlalu sibuk karena Zinde sering cerita ke Lalisa kalo lo sering batalin janji kan!”
“Udah, udah.” Barga menengahi dengan cepat sebelum keadaan jadi semakin ramai.
Nabila yang sedari tadi memperhatikan hanya bisa tertawa. Ternyata masih sama pikirnya, tidak ada yang benar-benar berubah diantara mereka selain fisiknya yang terlihat dewasa. Raka masih menjadi si tengah yang menyebalkan dan suka membuat kesal kedua saudaranya, sedangkan Aksa masih menjadi si bungsu dengan segala sifat childish-nya. Tapi justru karena itu Nabila jadi lega, karena melihat ketiganya bisa akur seperti ini.
“Kenapa diem?” Barga mendekat dan menyadarkan Nabila dari lamunannya.
“Mereka nggak berubah,” ujar Nabila.
“Iya, mereka nggak berubah. Aku juga kan enggak berubah.”
Nabila terkekeh. “Kamu berubah,” katanya sebelum melanjutkan, “bener kata Raka. Kamu jadi banyak ngomong.”
*
“Setelah ini lo mau ambil langkah apa jadinya? Astaga, gue bener-bener nggak nyangka lo beneran jadi dokter, Na! Padahal dulu gue pikir lo bakal jadi dosen atau apapun yang mengarah ke pelajaran karena kan lo pinter.” Raka mengawali percakapan mereka siang itu, makan siang sudah selesai dan sekarang adalah waktunya untuk berbincang.
“Gue nggak punya bakat buat ngajar,” jawab Nabila penuh kejujuran.
Dirinya pernah punya pengalaman mengajar ketika Sekolah Menengah Atas dan murid yang dirinya ajarkan adalah tiga laki-laki yang sekarang berada di dekatnya. Papa Daniel yang tadinya meminta tolong Nabila untuk menjadi tutor ketiga anaknya malah berhenti karena perilaku ketiga anaknya sendiri.
Jika diingat-ingat lagi ada banyak sekali kisah dari masa lalu Nabila yang berhubungan dengan tiga bersaudara ini, apalagi masa remajanya, sepertinya sebagian besar memang mereka bertigalah yang mengisinya.
“Bang, katanya Papa mau nawarin Nabila buat kerja di Rumah Sakitnya Dokter Sonda?” tanya Aksa pada Barga.
Barga mengangguk membenarkan lalu menatap Nabila yang duduk di sampingnya. “Iya, masih dipikirin sama Bila, dia nggak mau buru-buru ambil katanya.”
“Loh, kenapa? Sayang kalo digantungin gitu.”
“Duh, Aksa, lo jangan curhat colongan gitu dong, gue jadi keinget tentang lo yang digantungin sama Nana waktu SMA,” Raka menjawab santai sambil tertawa, sifat menyebalkannya memang tidak hilang-hilang.
“Sialan.”
Sepertinya hari ini Nabila jadi banyak tertawa karena tiga bersaudara ini. “Gue nggak mau buru-buru karena butuh istirahat. Kuliah dokter itu berat banget dan karena baru lulus juga gue mau ambil waktu buat istirahat dulu sebelum akhirnya harus sibuk lagi.”
Barga bedeham lalu melanjutkan. “Gue juga udah bilang Papa soal ini dan dia setuju sama keputusan Nabila, Rumah Sakit Dokter Sonda akan selalu terbuka kalau memang nantinya Bila udah siap buat kerja di sana.”
Raka dan Aksa mengangguk paham, selama ini juga Nabila sudah tinggal jauh dari orangtuanya, jadi waktu untuk istirahat itu bisa dia gunakan untuk bersama-sama dengan orang-orang disekitarnya.
“Ngomong-ngomong Ibu kangen sama kalian, katanya kapan bisa main ke rumah? Jangan lupa ajak Zinde sama Lalisa juga, dan Barga cari jadwal terbang malam kamu yang kosong karena kamu juga harus ikut makan malam dirumah aku.”
Siang itu mereka habiskan dengan pembahasan kapan waktu yang tepat untuk mereka berkumpul bersama karena sudah lama sekali rasanya tidak berkumpul dalam satu tempat dan waktu yang sama.