31 : Cerita di Pagi Hari

1404 Kata
            “Pagi.”             Nabila yang baru saja keluar dari kamarnya melihat kedua orangtuanya sudah duduk bersama di dapur dan hal itu mengundang senyum Nabila kian lebar kala menyapa keduanya. “Ayah kerja?”             Farhan memperhatikan Putrinya yang baru saja menarik kursi sebrang untuk bergabung bersama mereka di meja makan. “Kamu baru bangun?” tanyanya, tidak biasa melihat anak gadisnya bangun terlalu siang.             “Enggak, aku udah bangun dari subuh tadi terus sempet joging juga, coba tanya tuh sama Ibu. Tapi waktu pulang aku langsung masuk kamar lagi.”             Farhan mengangguk, dia percaya. “Iya, Ayah kerja ini sebentar lagi berangkat.” Dan jawabannya langsung diangguki oleh Nabila.             “Bil, sarapan?”             “Nanti aja aku belum lapar.”             “Ayah udah lama nggak makan bareng kamu, selama kamu kuliah di Malang kan jarang banget pulangnya. Sekarang makan aja sini bareng Ayah sama Ibu, kamu juga udah di sini baru juga 4 hari kan ya? Belum ada waktu kita sempet makan bareng.”             Nabila terkekeh, sebagai anak tunggal pastilah dia mengerti tentang perasaan kedua orangtuanya. Mungkin mereka sebenarnya rindu tapi enggan untuk mengatakannya secara langsung, maka dari itu sarapan bersama menjadi jalan untuk ketiganya menghabiskan waktu bersama.             Selama sarapan, Nabila lah yang paling banyak bersuara. Gadis itu menceritakan apapun dengan penuh semangat. Tentang masa-masa kuliahnya dulu yang menyenangkan dan kedua orangtuanya akan berperan sebagai pendengar yang baik yang kadangkala menanggapi beberapa hal dengan pertanyaan, namun semuanya dapat Nabila jawab dengan baik.             “Selama aku di Malang, Lalisa sama Zinde sering ke sini, bu?” tanya gadis itu penasaran sebab, waktu itu kedua sahabatnya pernah berjanji akan sering menengoki orangtuanya ketika Nabila jauh dari mereka.             “Sering. Lalisa sering ke sini dan kadang bawain kopi buat Ayahmu, kalau Zinde kadang dia ke sini dan bawain Ibu baju baru hasil rancangan dia. Kedua temanmu itu baik sekali.”             Nabila mengangguk dengan bersemangat, sedikit tak percaya bahwa keduanya ternyata sering berkunjung dan menepati janji mereka waktu itu. Setidaknya Nabila jadi sedikit banyak bersyukur karena masih banyak orang-orang baik yang berada di sekitarnya.             “Nggak cuma dua temanmu itu aja, Barga juga sering ke sini,” si Ayah ikut menimpali dan Nabila cukup terkejut dibuatnya.             Barga tidak pernah menceritakan apapun kepadanya tentang kunjungan ke rumah, apakah memang sesering itu?             “Kalo dia lagi nggak punya jam terbang kadang main ke sini. Malah kadang juga kalo jam kerjanya udah habis dan dia pulang terlalu malam sering pulang ke sini dan tidur di kamarmu. Karena jarak bandara dari rumahnya kan terlalu jauh, itu Ibumu yang nawarin buat datang ke sini, dan akhirnya dia datang cukup sering,” jelas sang Ayah.             Farisha yang mendengarnya lantas menjawab. “Kasian pacarmu itu kalau harus nyetir mobil malam-malam pulang ke rumahnya, kan jauh dia pasti cape abis nerbangin pesawat. Jadi nggak apa-apa toh Ibu suruh menginap di sini.”             Nabila hanya bisa tersenyum sembari mendengarkan keduanya. Walaupun sejujurnya dia cukup tak menyangka akan fakta itu— mengingat bahwa Barga memang tidak pernah menceritakan apapun, tapi Nabila benar-benar bersyukur. Tentang Barga dan kedua orangtuanya yang dekat, tentang perhatian yang orangtuanya berikan untuk laki-laki itu.             “Ibu, Ayah, makaasih ya udah seperhatian itu sama Barga. Selama aku di sana aku nggak pernah tau dia secape apa karena dia nggak pernah tunjukin wajah letih setiap telponan sama aku, tapi kalo ternyata capenya dia bisa diobati sama Ibu sama Ayah aku mau makasih banget. Makasih karena kalian udah terima dan percaya sama Barga sepenuhnya, apalagi Ayah yang awalnya takut banget kalo Barga sampe sakitin aku. Makasih banget.” Nabila tersenyum lebar menatap kedua orangtuanya.             “Kamu belum tau aja sekarang aku sama Ayah kan udah deket banget. Iya ‘kan, Ayah?”             Nabila menoleh dan terkejut ketika mendapati Barga sudah bergabung bersama mereka di meja makan. Setelah melemparkan perkataan untuk Ayahnya yang langsung dibalas anggukan oleh beliau.             “Kamu… dari tadi di sini?”             Barga terkekeh melihat gadisnya yang terkejut. “Enggak, aku baru aja datang. Tapi nggak sengaja curi dengar tadi kamu bilang makasih sama orangtua kamu, makasih ya udah diwakilin, aku selalu pingin bilang makasih sama Ibu dan Ayahmu, tapi Ibumu selalu bilang kalo aku udah dianggap sebagai anak sendiri jadi enggak perlu terimakasih terimakasih segala.”             “Ih, Ibu. Ibu beneran bilang gitu ke Barga?” Nabila bertanya dengan nada tak percaya pada Ibunya.             “Iya, toh nanti juga Barga bakalan jadi anak Ibu juga. Iya, kan Barga?”             Nabila masih bisa melihat dari ekor matanya kalau Barga langsung mengangguk menyetujui. Pada akhirnya Barga ikut bergabung untuk sarapan di meja makan dengan Nabila yang masih bingung tentang apa tujuan laki-laki itu kemari, karena dia sama sekali tidak memberi kabar kalau ingin berkunjung.             Barulah Nabila bisa bertanya ketika Ayahnya sudah pergi ke kamar untuk bersiap-siap bekerja, dan Ibunya juga sudah menghilang entah kemana. Meninggalkan Nabila dan Barga yang masih betah duduk di kursi makan sambil memakan beberapa camilan.             “Kamu ngapain deh ke sini pagi-pagi, Ga?”             “Kamu nggak suka aku datang?”             “Bukan gitu. Memangnya hari ini kamu nggak ada jadwal terbang?”             “Ada. Tapi nanti malam jam delapan, jadi kita nggak bisa makan malam bareng, enggak apa-apa kan ya?”             Nabila mengangguk mengerti lalu mulai membuka toples kue kering untuk mereka makan.             “Hari ini kamu istirahat aja di rumah, sayang. Kamu kan cape banget, bisa gunain hari ini buat istirahat full di rumah.” Barga bersuara lagi dengan tangannya yang sudah menggapai satu kue kering untuk dia makan.             “Kamu nyuruh aku istirahat tapi malah main ke sini. Gimana aku mau istirahat?”             “Memangnya aku ada bilang kalo ke sini karena mau main sama kamu?”             Nabila langsung cemberut, tidak mengerti apakah laki-laki itu sedang bercanda atau memang serius dengan ucapannya.             “Aku mau ke perusahaan, udah lama enggak nengokin Raka sama Aksa. Walaupun satu rumah juga tapi aku jarang ketemu mereka karena aku lebih sering ada jadwal terbang malam selalu pulang pagi dan kalau sampai rumah langsung tidur, sedangkan dua adikku itu berangkat pagi dan pulang malam ketika aku udah berangkat. Sekalian mau lihat perusahaan Papa juga sih sebenernya. Jadi, ke sini sekalian mau bareng sama Ayahmu karena semalem aku udah bilang lewat telpon kalo mau mampir dulu.”             Kadang Nabila suka heran, mengapa Barga bisa jadi lebih banyak bicara seperti ini dibandingkan dulu? Perubahannya benar-benar jauh drastis. Tidak ada Barga yang irit bicara dan tidak ada lagi Barga yang dingin seperti kutub es. Dia sekarang menjadi pribadi yang lebih hangat dan suka berbicara, apalagi jika dengan Nabila.             “Kamu kan bisa langsung ke sana, kenapa mampir dulu ke sini?”             “Ya kan aku mau lihat kamu dulu, anggap aja aku lagi mengisi ulang energi biar semangat hari ini.”             “Barga apaan sih, kamu cheesy banget.”             “Nggak apa-apa, yang penting kamu sayang sama aku.”             Nabila langsung tertawa dibuatnya.             “Ibu bilang kamu sering pulang ke sini juga kalo ada jadwal terbang malam?” tanya Nabila mengingat percakapannya dengan kedua orangtuanya tadi.             “Iya, Ibumu nawarin. Kalo aku pulangnya terlalu malam dan udah cape banget buat nyetir sampe rumah, aku bakal ke sini karena jaraknya lebih dekat sama bandara. Tapi selain itu juga karena aku mau nengokin orangtua kamu, kamu kan jauh jadi aku harus siap siaga pantau mereka terus.”             Nabila tersenyum mendengar jawabannya. “Barga, makasih banyak, ya.”             “Iya, sama-sama. Tapi jangan bilang makasih lagi, karena secara nggak langsung itu memang udah jadi tugasku karena aku pacar kamu.” Barga menjawab seraya mengusap puncak kepala Nabila.             “Tiba-tiba aku mau ikut ke perusahaan. Udah lama juga enggak liat Raka sama Aksa, boleh?” Gadis itu bertanya tiba-tiba, pemikiran itu baru saja sampai di kepalanya.             “Boleh aja, tapi kamu nggak jadi istirahat?”             “Aku bisa datang agak siang aja nanti, biar sekarang istirahat dulu. Kamu cuma sebentar di sana atau lama? Nanti waktu aku dateng kamunya enggak ada.”             “Lama kok, ada yang mau aku bahas juga sama mereka, jadinya aku bakal lama di sana.”             Nabila mangut-mangut paham. “Okay, kalo gitu nanti siang aku susulin ke sana.”             “Enggak mau aku jemput aja?”             “Enggak usah, aku bisa naik taksi online, Barga. Aku nggak apa-apa kok.”             “Oke, kalo gitu nanti kamu hati-hati. Aku berangkat ya, Ayah kamu udah siap.”             Nabila bangkit berdiri, mencium punggung tangan sang Ayah dan melemparkan senyum pada Barga yang juga akan berangkat bersama Ayahnya.             “Hati-hati,” pesan Nabila sebelum keduanya benar-benar menghilang di balik pintu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN