63 : Bagaskara Bersaudara

1579 Kata
            “PUKUL! IYA TERUS PUKUL JANGAN KASIH AMPUN! YA TENDANG BENER Y—WOY ANJIR JANGAN LICIK LO!”             “GUE NGGAK LICIK YA! BERISIK LO!”             “LO JUGA BERISIK ANJIR!”             “ITU LO TERIAK-TERIAK!”             “ABANG!”             Raka dan Aksa yang sedari tadi sibuk berselisih karena keduanya sedang bermain pees saat ini langsung berteriak marah kepada sang tersangka yang baru saja melemparkan bantal ke arah mereka berdua tanpa dosa, orang tersebut adalah Barga. Laki-laki itu malah memandang keduanya dengan wajah tanpa rasa bersalah, Barga mengangkat sebelah alisnya dan menatap kedua adiknya tanpa takut.             “Apa?” tanyanya dengan nada enteng, seolah-olah kejadian lemparan bantal itu tak pernah terjadi.             Aksa langsung mendengus kesal namun mengabaikan tingkah saudara pertamanya itu yang amat menyebalkan, Aksa tak sadar saja bahwa selama dia melihat Barga dengan tatapan menyebalkan, Raka yang sekarang sedang duduk disebelahnya justru menggunakan kesempatan tersebut untuk melanjutkan permainan mereka dan membiarkan Aksa tak sadar bahwa sebentar lagi dia akan kalah.             “GUE MENANG!!!!”             Teriakan kemenangan Raka langsung menggema ke seluruh penjuru rumah, sampai membuat Sera berlari dari dapur karena mengira ada sesuatu yang gawat, bahkan Daniel yang juga sedang bekerja di kamarnya lantas keluar karena mendengar suara menggelegar dari anak keduanya itu. Namun kedatangan kedua orangtuanya tidak diladeni karena Raka baru saja mendapat pukulan keras tepat dibahunya dan pukulan itu berasal dari Aksa.             “KOK LO MAIN CURANG SIH?! NGGAK GENTLEMAN BANGET LO JADI COWOK MALAH MAIN WAKTU GUE NGGAK SIAP!”             “YA SUKA-SUKA GUE DONG, YANG PENTING GUE MENANG DAN LO KALAH WLE!”             “KAKAK s****n!”             “ADEK k*****t! MALAH NGATAIN KAKAKNYA s****n!”             “YA KAKAK DULUAN YANG MULAI!”             Barga yang melihat pertengkaran keduanya hanya bisa menghela napas lelah sebelum akhirnya kedua tangannya kembali mengambil dua bantal sofa yang berada tak jauh dari tempatnya duduk saat ini, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini, Barga tetap memfokuskan pandangannya kepada dua saudaranya di depan sana, mengambil ancang-ancang dan setelahnya melemparkan kedua bantal itu dengan amat keras.             “ABANG JAHAT!”             “KENAPA LEMPAR-LEMPAR BANTAL MULU SIH BANG?!”             Barga menatap jengah kedua saudaranya. “Lo berdua itu sadar nggak sih kalo berisik banget? Liat ini jam berapa, mau tetangga pada dateng terus lemparin lo berdua pake benda yang lebih berat karena suara lo berdua?”             Mereka salah memang, tapi tetap saja tak mau disalahkan.             “Ya namanya juga lagi main, aneh sih, kayak lo lagi nonton bola juga hebohnya kayak apa kalo jagoan lo menang.”             “Dikasih tau yang bener sama Abangnya malah ngejawab!”             Daniel menjawab dari lantai dua, dia sedari tadi belum kembali ke kamarnya dan malah memperhatikan interaksi ketiga anaknya di malam ini yang tumben sekali sedang berada di satu ruang yang sama. Sedangkan Sera sudah kembali ke dapur sedari tadi karena ada yang sedang dikerjakan olehnya.             Daniel akhirnya memilih turun dari lantai dua dan duduk pada sofa di samping Barga. “Kalian berdua tuh kalo udah main pees tau deh ributnya udah kayak satu kampung, teriak sana teriak sini mana pake urat semua ngomongnya, nggak cape apa? Udah besar kalian itu, masa mau dinasehatin terus kayak gini sih, kapan dewasanya?”             Raka dan Aksa sama-sama menunduk, namun Barga sangat yakin bahwa keduanya juga mendengarkan kalimat sang Papa dengan tak minat, nanti semua kalimatnya akan masuk ke telinga kanan dan kembali keluar di telinga kiri.             Memang anak-anak kurang ajar.             “Yaudah lanjutin mainnya, tapi jangan terlalu berisik,” kata Daniel akhirnya, memilih membiarkan daripada menyuruh mereka berdua untuk berhenti. Daniel tersenyum melihat Raka dan Aksa yang langsung menurut dan melanjutkan kembali permainan mereka dari awal. Kemudian Daniel beralih pada Barga yang saat ini sedang sibuk dengan game di ponselnya.             “Bang, nggak ikutan main?” tanya Daniel.             “Enggak lah, Pa. Males mereka berisik banget.”             “Kalo udah sadar berisik tapi kenapa masih duduk di sini?”             Barga langsung mendelik kesal ke arah Papanya.             Daniel itu tau sebenarnya kata berisik hanya dijadikan sebagai alasan oleh Barga untuk tak terlalu kentara kalau sebenarnya dia senang duduk di tempatnya saat ini. Sebelum Daniel turun ke ruang keluarga bahkan dia sempat melihat bahwa Barga bahkan tidak menyentuh handphonenya sama sekali, dia malah menonton pertandingan yang terjadi antara Raka dan Aksa lalu tak segan-segan melempari keduanya dengan bantal sofa jika dilihat terlalu keterlaluan.             Barga itu sebenarnya sedang menjadi pengamat yang menyukai suasana saat ini. Jika diingat-ingat mereka bahkan sudah jarang sekali berkumpul di ruang tamu lantaran semuanya sibuk dengan urusan mereka masing-masing, Daniel tau bahwa ketiga anaknya ini sudah dewasa dan sekarang sudah memiliki tanggung jawab masing-masing terhadap pekerjaan dan pacar mereka masing-masing sehingga waktu berkumpul diantara keluarga mereka sekarang bisa terhitung jari selama satu bulan, tapi melihat mereka bertiga disini sekarang rasanya Daniel seperti kembali mengenang masa lalu.             “Papa,” Barga memanggilnya, namun fokusnya masih pada games di ponselnya. “Makasih, ya, Pa.”             Ungkapan itu terlalu tiba-tiba hingga membuat Daniel langsung mengangkat kedua alisnya pertanda dia tengah bingung dan berpikir keras akan alasan Barga berterima kasih padanya.             “Makasih buat apa, Bang?”             Tanpa mengelak Barga langsung menjawab, “Karena Papa udah ajakin aku ngobrol waktu itu dan kasih aku beberapa solusi. Makasih, Pa.” Fokusnya masih sama, dia bahkan tidak melirik Daniel sedikitpun, tapi ungkapan itu Barga utarakan dengan sepenuh hatinya.             Daniel mengerti, ini pasti tentang Nabila.             “Udah selesai masalahnya sama Nabila?”             Barga langsung mengangguk.             “Abang enggak cemburu lagi?”             “Kan udah Abang bilang, Abang tuh nggak cemburu tapi cuma takut. Tapi tenang aja semuanya udah beres dan Nabila bilang sendiri kalo dia cuma sayang sama Abang jadi Abang enggak perlu takut apapun.”             Barga yang pada dasarnya memang pemalu jika harus membicarakan masalah hati seperti ini kepada orangtuanya memilih untuk menghindari kontak mata sebisa mungkin, berpura-pura menyibukkan dirinya dengan kegiatan lain padahal fokus bicaranya hanya pada sang lawan bicara.             “Papa juga kan udah kasih tau waktu itu, kamunya aja yang tetep nggak percaya kalo belum dengar langsung dari Nabilanya.”             Barga langsung tersenyum kecil, setelah menyadari kebodohannya sendiri.             Daniel kira percakapannya dengan Barga akan terhenti sampai di sana, lalu Daniel kembali memperhatikan Aksa dan Raka yang masih bermain namun kali ini pertengkarannya tidak dilakukan dengan teriakan seperti tadi, suara mereka lebih halus namun pukulan tangan antara keduanya yang justru semakin lebih keras. Daniel tak bisa melerai karena tiap kali keduanya terlibat dalam permainan seperti itu pasti keduanya juga langsung bertengkar tiada henti sampai keduanya sama-sama lelah, berbeda dengan Barga yang lebih suka menjadi pengamat namun juga tetap menonton keduanya.             Tapi ketika Daniel sedang fokus pada permainan ditelevisi, Barga justru kembali memanggilnya, namun kali ini dia tidak lagi fokus pada games di ponselnya melainkan menatap Daniel secara terang-terangan.             “Papa.”             “Iya, kenapa?” Daniel langsung menaruh seluruh perhatiannya pada Barga.             “Masalah Raka gimana? Udah selesai?”             Raka yang mendengar bahwa namanya disebut-sebut langsung menoleh ke belakang namun dia tak bertanya lebih lanjut dan malah kembali bermain bersama Aksa, Raka tak masalah jika Barga ingin tau dan biarkan saja Papanya yang menceritakan seluruh kejadiannya.             “Besok Papa sama Raka harus ketemu Ayahnya Zinde lagi.”             “Loh lagi? Yang tadi belum selesai?”             Barga ini walaupun kelihatan tidak perduli tapi sebenarnya dia khawatir, dia benar-benar khawatir dengan Raka setelah tau masalahnya dari Aksa. Barga tidak pernah menyangka bahwa masalah Raka bisa seberat ini, walaupun awalnya Barga juga sedikit sulit menerima kehadiran Zinde mengingat bahwa ada banyak sekali luka yang ditorehkan Zinde di hati Nabila.             Namun karena Nabilanya saja sudah memaafkan maka mau tak mau Barga juga harus melakukan hal yang sama.             Daniel pada akhirnya mulai bercerita dari awal kedatangannya dengan Raka sampai pada akhirnya dia menyerahkan bukti bahwa Lucas memang bukanlah orang yang baik, karena kebetulan pada saat itu Ayah Zinde memiliki sebuah rapat penting yang tidak bisa ditinggalkan maka percakapan mereka tertunda dan Daniel harus datang bersama Raka besok untuk melanjutkan pembicaraan mereka, namun Daniel bilang bahwa dia merasa masih punya harapan akan hal ini dan Raka sendiri juga yang harus membuktikan bahwa dia tidak akan main-main dengan Zinde.             “Aku kerja keras selama ini juga salah satu alasannya karena biar bisa setara sama Zinde dan bisa bersanding sama dia kok, jadi Papa tenang aja aku bakalan kerja keras banget buat wujudin itu.” Raka langsung bicara ketika Daniel baru saja selesai bercerita.             Barga yang mendengar itu lantas melemparkan kembali satu bantal pada kepala adik kesayangannya itu. Namun tetap fokus pada Daniel.             “Terus buat besok itu gimana?” tanyanya lagi masih penasaran.             “Mungkin Ayahnya Zinde minta pembuktian seserius apa Raka sama Zinde, karena kamu tau sendiri semua Ayah pasti mau yang terbaik buat anaknya apalagi Zinde itu kan perempuan, kayak gimana Farhan waktu itu nolak kamu deket sama Nabila setelah tau kalo kamu suka balapan.”             Benar juga, jika diingat ternyata Barga pernah memiliki kisah yang hampir sama dengan permasalahan Raka saat ini, namun masalahnya tidak sebesar masalah Raka sekarang karena dulu Barga masih belum terlalu dewasa.             Nabila pernah menceritakan segalanya waktu itu dan sejujurnya Barga sempat kaget karena ternyata Ayah Nabila tidak sesuka itu padanya hanya karena dia suka balapan, padahal baik buruknya seseorang tidak bisa langsung dinilai dari hobi mereka bukan?             Namun tak apa karena sekarang Barga sudah mendapatkan restu penuh dari kedua orangtuanya untuk mendekati Nabila, bahkan dengan Barga yang sudah sering pergi ke sana dan sudah mengenal Ayah Farhan dengan sangat baik merasa bahwa hanya ada satu langkah lagi yang harus dia lalui bersama Nabila.             Satu langkah terakhir yang jujur saja sudah sempat Barga pikirkan di dalam kepalanya.             Langkah menuju pernikahan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN