25 : Senyumnya Kembali

1157 Kata
Hari ini Nabila diperbolehkan pulang. Setelah memaksa karena dia merasa lebih baik di rumah dari pada di rumah sakit, akhirnya dengan bantuan Daniel pula Nabila sudah diperbolehkan untuk pulang. Gadis itu sedang dibantu oleh Mamanya untuk turun dari ranjang ketika Barga tiba-tiba masuk ke ruangan, dengan perban di telapak tangan kirinya. Laki-laki itu tersenyum lebar hingga gingsulnya terlihat─senyum yang jarang sekali diperlihatkan kepada orang-orang selama ini. Raka sampai merinding melihatnya, merasa bahwa Abangnya itu baru saja dirasuki oleh hantu rumah sakit. "Mobilnya udah siap," ujar Barga selagi mendekat ke arah dua saudaranya. "Tangan lo─" "Nggak apa-apa, gue baik-baik aja. Selagi bukan lo yang terluka, gue pasti baik-baik aja." Aksa berdecak kesal, "kapan gue ngegasnya kalo diduluin lo terus." Semua orang di ruangan itu langsung terkekeh kecil, setelah kejadian kemarin malam, Barga mendapatkan luka pada telapak tangan kirinya, untung saja lukanya tidak serius. Tapi Barga bersyukur, karena kejadian itu, Nabila jadi bisa berubah, benar-benar lebih baik tanpa kepura-puraan lagi. Entah karena merasa bersalah pada Barga, atau karena apa, tapi Nabila sudah berjanji untuk kembali. Soal permintaan Nabila kemarin, tentu Barga akan mengabulkannya. Menjauh ‘kan? Barga tentu tidak pernah lupa dengan ucapannya. Semua permintaan Nabila akan Barga kabulkan dengan hal yang sebaliknya, maka setelah permintaan itu keluar dari bibir manis Nabila, gadis itu harus mempersiapkan diri. Karena Barga akan lebih mendekat padanya. "Ayo." Farhan memimpin jalan, dia belum bisa menyentuh Nabila karena trauma putrinya itu masih ada, setidaknya Nabila sudah bisa menerima kehadirannya, dan itu sudah lebih dari cukup untuk Farhan. "Ka, lo udah urusin masalah di kelas ‘kan?" Aksa bertanya pelan, karena mereka bertiga ada dibelakang Nabila sekarang, mereka tidak ingin Nabila mendengarnya. Raka mengacungkan ibu jarinya, "beres sama gua mah, tempat duduk udah diatur, tutup mulut udah diatur, dan mereka semua udah pasti setuju sama ucapan gue." "Lo ketemu Lalisa kemaren?" Dahi Raka berkerut samar, menoleh pada Barga yang baru saja memberikan pertanyaan. "Iya, ya, gue baru sadar kalo selama di rumah sakit, Lalisa nggak pernah sekalipun jengukin Nabila." "Dia pergi keluar kota." Aksa nyeletuk tiba-tiba. Raka refleks menoleh padanya, "Kok lo bisa tau?!" "Kalian ini apa sih, bisik-bisik terus dari tadi?" Nabila menoleh kebelakang untuk melihat ketiganya yang sekarang sedang cengengesan karena diperhatikan. "Enggak, udah sana madep depan, ini urusan cowok tau," kata Raka tegas. Melihat Nabila sudah kembali berbalik, Barga langsung memberikan pertanyaan lagi pada adik bungsunya itu. "Ada apaan ini? Kenapa gue punya firasat baik, ya." "Sialan." Aksa mengumpat, merasa kesal karena Barga sudah mengetahui niatnya. "Iya, gue lagi deket sama Lalisa." Baru saja Raka ingin memekik, Aksa buru-buru menyela lagi. "Tapi bukan berarti gue berhenti dari perjanjian, ya!" "Yah, nggak bisa gitu dong! Maruk amat lo mau dua orang sekaligus!" Pletak! Raka memberenggut kesal karena Barga menggeplak asal kepalanya, "Tolong anda berkaca dulu sebelum bicara, masih mending dia dua. Lah lo dulu apa? Dua setiap seminggu sekali." Oke, Raka lupa kalo dulu sempat menjadi playboy. "Mending lo berdua cepet cari gandengan." Barga berucap tiba-tiba, "karena gue udah yakin kalo Bila bakal pilih gue, iya kan, Bil?" Nabila langsung menoleh begitu namanya dipanggil, "Apa?" tanyanya pada Barga. Barga tersenyum manis, "udah iyain aja, ngangguk buruan." Tanpa sadar Nabila langsung mengangguk. "CURANG k*****t!" "APAAN SIH BANG! NGGAK! ITU NGGAK ADIL!" Tanpa mereka sadari, Daniel dan Sera yang sedari tadi berjalan paling belakang mendengar semua percakapan dan gerak-gerik mereka. Hingga tanpa sadar keduanya tersenyum, dan Sera yang masih berada dalam rangkulan Daniel langsung berkata dengan harunya. "Mama bangga punya anak kayak kalian." ### "Gue baru sadar, kalo ternyata lo memang secantik itu." "Hah?" Nabila mengerjap bingung lalu menoleh pada Barga, laki-laki itu langsung menyerahkan ponselnya pada Nabila tanpa berniat mendekat. "Kok lo foto gue nggak bilang-bilang sih!" Barga terkekeh melihat Nabila sudah mengangkat ponselnya, berancang-ancang ingin memukulnya namun hanya sebatas niat. "Kalo gue bilang-bilang, lo nggak bakal mau di foto." Dengan wajah kesal Nabila mengembalikan ponsel itu, Barga menerimanya dan kembali memperhatikan hasil bidikan indahnya. Bukan bidikannya yang indah, tapi Nabilanya. Nabilanya. "Barga." Barga tidak menjawab, tapi dia langsung menoleh pada gadis itu. Bagaimana rambutnya terikat, bagaimana gurat wajahnya terbentuk dengan sempurnya, bagaimana mata bulatnya menatap Barga dengan berbagai macam binar. Barga ingin bertanya pada semesta, kenapa Nabila bisa tercipta dengan sebegitu indahnya? Mereka berdua sedang berada di taman dekat rumah Nabila, setelah sampai mengantar Nabila meminta izin untuk mengajak pergi laki-laki ini. Walaupun sempat terjadi protes antara dua saudaranya yang lain, akhirnya mereka tetap bisa pergi berdua, karena Nabila harus mengucapkan sesuatu pada laki-laki itu. "Kenapa lo selalu ngorbanin diri lo buat gue?" Pertanyaan pembuka membuat Barga menghela napas, masih dengan memandang gadis itu, dia menjawab, "karena gue sayang lo." Tidak bisa dipungkiri bahwa wajah Nabila sudah memerah sekarang, akhirnya Nabila membuang muka, lebih memilih untuk melihat hal-hal lain dan tetap melanjutkan pembicaraannya. "Gue tau itu, tapi ... lo jelas nggak perlu terluka buat tolongin gue." Nabila membantah lagi. "Mama selalu ajarin kita bertiga buat selalu jagain orang yang kita sayang. Sama kayak gue ngejagain keluarga gue, gue juga pingin ngejagain lo dengan cara yang sama. Lo bukan sekedar teman buat gue, Bil. Lo tentu tau itu, dan gue nggak perlu jelasin lebih panjang tentang kenapa gue sayang sama lo." Barga menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "karena gue selalu sayang lo pake cara gue sendiri." "Jadi, lo nggak perlu takut lagi. Lo nggak perlu terlalu larut sama masalah ini, gue tau lo kuat. Lo nggak kotor, lo justru perempuan paling suci yangt pernah gue temuin. Siapapun lo di masa lalu, sampai masa yang akan datang gue nggak perduli. Karena gimana pun juga, gue bakal tetep sayang sama lo." "Sekalipun gue bukan perempuan sempurna lagi?" "Nabila...." Barga menggeram kesal mendengar pertanyaan itu, entah sudah keberapa kalinya Nabila membahas itu. "Gue bener ‘kan?" Ada lirih dari nada suaranya, "mungkin ini basi, tapi orang sebaik lo tentu nggak pantes buat gue dapetin." Barga tersentak kaget, orang sebaik lo nggak pantes buat gue dapetin, apa artinya gadis itu juga menyukainya? "Bil, apa perlu gue nikahin lo sekarang?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Barga, tanpa bisa disaring terlebih dulu. "Apasih, Ga." Nabila menunduk, menyembunyikan wajahnya yang sudah merah padam. "Gue mulai dari hal yang paling sederhana," Barga menggenggam telapak tangan Nabila secara tiba-tiba. "Jangan takut," Barga berucap lagi, ketika merasakan bahwa tubuh gadis itu menegang akibat perlakuannya, Nabila sampai menoleh padanya dengan sorot mata yang tidak terbaca. "Lo tau kalo gue nggak bakal nyakitin lo." Genggaman itu mengerat, bersamaan dengan air mata Nabila yang perlahan jatuh. Dia masih takut. Tapi dia tau kalau didepannya ini adalah Barga. "Gue bakal hapus semua rasa sakit itu, lo nggak perlu takut sama gue." Nabila mengangguk ragu. Barga belum berani melakukan hal lebih selain menggenggam tangan Nabila, padahal dia menahan dirinya kuat-kuat agar tidak memeluk Nabila saat itu juga. Nabila butuh proses, dan Barga sadar akan hal itu. "Jangan pernah jauh dari gue." Nabila mengangguk. "Di depan lo, di depan semesta. Atas nama Tuhan, gue cuma mau bilang kalo gue sayang sama lo." Sebuah senyum tipis terbit di bibir tipis Nabila, bahunya bergetar hebat bersamaan dengan genggaman tangan mereka yang semakin menguat. Nabila tidak bisa menjelaskannya, hanya saja semua beban dan rasa sakit yang memenuhi kepalanya akhir-akhir ini, perlahan terangkat hingga membuatnya menangis dengan perasaan yang luar biasa lega. Nabila balik menggenggam tangan Barga, membuat jari-jari mereka tertaut sempurna, senyum itu tidak pernah luntur hingga maghrib menjelang dan mereka sampai dirumah. Hanya satu yang Barga syukuri hari ini. Nabila kembali tersenyum, dan itu karenanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN