Sudah seminggu waktu berlalu.
Banyak sekali perubahan yang terjadi, dimulai dari berat badan Raka yang semakin bertambah, tinggi badan Aksa yang semakin naik, pertemanan Barga dan Jeno yang sudah kembali, tapi yang terpenting dari itu semua adalah.
Nabila sudah lebih baik.
Walaupun Barga tidak bisa bilang bahwa gadis itu benar-benar baik-baik saja, tapi setidaknya sudah lebih baik dari yang pertama kali Barga lihat. Selama satu minggu kebelakang, Nabila rajin mengikuti terapi penyembuhan mental yang ditangani oleh dokter Jennie dan selama seminggu pula dokter Jennie lah yang membantu penyembuhan Nabila secara langsung.
Walaupun hanya sementara. Terapi mental itu dilakukan agar Nabila dapat mengurangi sedikit rasa takutnya kepada laki-laki, Barga sempat mendengar bahwa tidak semua laki-laki bisa dengan mudah dekat lagi dengan Nabila, hanya ada beberapa orang yang saja yang bisa kembali bersikap normal dengan Nabila, dan orang-orang itu adalah mereka yang bisa dibilang dekat dengan Nabila.
"Barga, beli bunga lagi?"
Barga sedikit tersentak mendengar Nilam menyapanya─anak gadis dari pemilik toko bunga di perempatan rumah Barga. Nilam tersenyum manis ke arahnya, ini sudah ke tujuh kalinya Barga rutin mengunjungi tokonya, hanya untuk satu alasan yang sama.
Membeli bunga lily untuk Nabila.
Barga mengangguk, "sama ya, kayak biasa."
Nilam bergerak cepat, merangkai bunga pesanan Barga dengan indah. Barga adalah satu-satunya yang paling dekat dengan Nilam daripada dua Raden yang lain, karena Raka dan Aksa lebih menyebalkan, dan Nilam tidak suka orang yang menyebalkan.
"Gimana kabarnya? Dia udah lebih baik?" Nilam bertanya disela kegiatannya merangkai bunga.
"Hari ini percobaan buat hasil terapinya, dan gue udah telat."
Hari ini memang hari percobaan dari ketujuh hari masa penyembuhan mental Nabila, Om Farhan, Dokter Sonda, Papa, Raka, Aksa bahkan Barga akan hadir diruangan Nabila untuk melihat bagaimana reaksi dari gadis itu. Barga terlalu sibuk berpikir semalaman sehingga telat untuk bangun, dan berakhir terlambat, pasti semua orang sudah berkumpul disana.
Tapi Barga juga tidak ingin buru-buru, dia harus tetap membeli bunga baru untuk mengganti bunga lily yang kemarin. Jika memang penyembuhan itu berhasil, Barga masih punya waktu yang panjang untuk menemui gadis itu.
"Nih," Nilam menyerahkan rangkaian bunga lily kepada Barga, dan Barga segera menyerahkan uangnya untuk membayar.
"Makasih ya, Lam." Barga baru ingin pergi dari toko sebelum suara Nilam kembali memanggilnya, Barga kembali menoleh dan mendapati Nilam kembali menyunggingkan senyum manis kearahnya.
"Semoga Nabila baik-baik aja, ya." Nilam berujar tulus.
Barga mengangguk pelan dan membalas senyum Nilam, "Semoga."
###
Barga melangkah masuk ke rumah sakit dengan santai, setelah mendapat pesan singkat dari Raka yang mengatakan bahwa Nabila menerima kehadiran mereka semua, itu cukup membuat Barga merasa bahagia. Semua bebannya seolah terangkat bersamaan dengan pulihnya sebagian mental Nabila.
Beberapa kalimat yang sempat Dokter Sonda ucapkan beberapa hari lalu, kembali terngiang di kepalanya.
"Trauma psikologis yang dialami oleh Nabila bisa saja sembuh. Penyembuhan itu bisa didapatkan lewat terapi dan yang terpenting adalah dukungan. Dukungan yang diperlukan, paling penting pasti berasal dari keluarga dan teman-teman terdekat Nabila. Karena adanya dukungan tersebut Nabila jadi dapat mencoba kembali membangun kepercayaan untuk meredakan trauma psikologi yang dialaminya."
"Trauma psikologis memang memerlukan dukungan bukan bertujuan untuk menyembuhkan mental secara total. Karena trauma psikologis sulit disembuhkan untuk jangka panjang. Belum lagi trauma tersebut telah ikut merubah sistem kerja otak dan fungsinya."
"Namun dukungan tersebut bertujuan untuk merubah masa depan Nabila agar menjadi lebih baik dalam menata hidup barunya. Dan diharapkan dia tidak perlu merasa sedih akan trauma psikologi yang dialaminya dahulu."
Rangkaian bunga lily ditangannya dia genggam semakin erat, perasaannya semakin campur aduk ketika dirinya sudah berdiri tepat didepan pintu ruangan gadis itu. Barga tidak langsung melangkah masuk, dia justru membatu didepan pintu ruangan karena manik matanya menangkap suatu peristiwa didalam sana.
Nabila yang sedang tertawa.
Ada perasaan hangat yang menjalar di hati Barga ketika melihat bagaimana wajah yang kemarin sempat basah oleh air mata, kini berbinar senang disertai dengan senyum lebar dan tawa yang melegakan.
Tanpa sadar Barga juga ikut tersenyum.
Barga baru ingin membuka pintu, namun lagi-lagi terhenti oleh celotehan keras milik Raka didalam sana. Manik mata Barga tidak pernah lepas memandangi Nabila yang tadi tertawa, kini terlihat sangat serius memperhatikan Raka, seperti sedang menyimak apa yang sedang diucapkan oleh saudara kembarnya itu.
Tapi ada sesuatu yang berbeda.
Dari jarak sejauh ini, Barga jelas-jelas bisa melihat ada gurat lain yang terpancar dari kedua mata gadis itu, seperti ... keputusasaan?
Tapi kenapa?
Barga mengurungkan niatnya untuk masuk keruangan tersebut, laki-laki itu hanya terdiam ditempatnya masih dengan tatapan lurus menatap Nabila. Kenapa? Kenapa Barga merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres disini?
Sampai ketika Barga melihat dengan jelas bagaimana Nabila menghela napas dengan begitu beratnya, Barga langsung berbalik pergi meninggalkan rumah sakit dengan sebuah tanda tanya besar dikepalanya.
Apa hanya Barga yang menyadari semua kepura-puraan itu?
###
"Barga?"
Farisha bertemu dengan anak sulung keluarga Bagaskara itu pada pukul delapan malam. Dia baru saja keluar dari ruangan Nabila karena putrinya itu sudah tertidur, dan berniat ingin pergi sebentar untuk mencari makan.
Barga yang merasa terpanggil pun segera menoleh, senyum tipis tersungging dibibirnya. "Tante mau cari makan?" tanyanya ramah.
Mengabaikan pertanyaan Barga tadi, Farisha justru balik bertanya, "kamu ngapain diluar malem-malem? Tadi pagi juga kamu kok nggak dateng? Padahal Nabila udah bisa ketawa loh karena candaannya Raka."
Tertawa ya?
"Tadi pagi Barga ada urusan mendadak, maaf ya Tante. Tapi sekarang, Nabila sendirian diruangannya?"
Farisha mengangguk singkat, iris matanya menangkap bucket bunga lily yang setiap pagi selalu Barga bawa. Menyadari bahwa Ibu Nabila melihat bunga itu, Barga langsung berkilah lagi.
"Barga lupa mau anter kerumah sakitnya, jadi udah agak layu."
"Nggak apa-apa." Farisha menyentuh lengan laki-laki itu, "kamu mau temuin Nabila? Dia udah tidur sih, tapi pasti kamu mau tengokin dia."
Ada ragu yang menyapa Barga, dia ingin sekali bertemu dengan gadis itu, tapi hatinya seolah menolak sesuatu. Melihat bagaimana binar harap keluar dari wanita paruh baya didepannya, Barga tidak bisa menolak lagi.
"Yaudah, aku ke ruangan Nabila, ya?"
Farisha menghela napas lega, "temenin dia sebentar ya, Tante mau cari makan." Wanita itu sempat menepuk pundak Barga sekilas, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Barga yang terlalu larut dalam keterdiamannya.
Barga beranjak, mengikuti akal sehatnya yang sangat ingin bertemu Nabila, juga mengikuti hati nuraninya yang selalu berkata bahwa ada yang tidak beres dengan gadis itu.
Jam besuk sudah tutup, namun karena pegawai rumah sakit sudah mengetahui bahwa Barga adalah anak dari Daniel─pemegang saham terbesar untuk rumah sakit ini, maka mereka memperbolehkan laki-laki itu untuk masuk ke koridor.
Sepi yang diam terasa mencekam, ruangan Nabila ada diujung lantai koridor ini, dan Barga berjalan cemas menghampiri ruangan itu.
Tepat ketika dia sampai didepan pintu, untuk kedua kalinya Barga membatu.
Kali ini bukan karna sirat mata keputusasaan yang Nabila simpan, namun karena adanya suara tangis tertahan yang terdengar sangat kecil. Genggaman tangan Barga pada knop pintu menguat, ketika matanya menangkap siluet Nabila yang sedang duduk ditepi ranjang, membelakanginya, dan yang paling penting bahu gadis itu bergetar.
Jadi ini hasil kepura-puraannya tadi pagi?
Tubuh Nabila menegang bersamaan dengan bunyi suara pintu yang terbuka, gadis itu menoleh cepat, dan begitu melihat Barga, bahunya langsung melemas pertanda lega.
Barga meringis ditempatnya, ketakutan Nabila tadi tertangkap jelas oleh matanya.
"Kenapa lo kesini sekarang?" Pertanyaan penyambut, Nabila mengatakannya dengan lirih.
"Gue ... gue udah bilang, jam percobaannya tadi pagi... kenapa lo kesini sekarang?"
Getar dalam suara Nabila membuat Barga mengcengkram kuat bunga ditangannya. "Lo nggak perlu pura-pura buat kuat, Bil. Kalo emang lo belum bisa, seharusnya lo nggak perlu─"
"Lo itu nggak tau apa-apa, Barga!"
Barga tertegun, sorot itu lagi, keputusasaan itu lagi, Barga menemukannya dalam mata Nabila. Walaupun lampu dalam ruangan ini sudah dimatikan, tapi lewat cahaya bulan yang terpantul dari jendela Barga bisa menangkap semua itu dengan jelas.
"Lo nggak tau ... lo nggak tau gimana rasanya jadi gue ...."
Tolong Nabila berhenti.
"Masa depan gue hancur, Jin ... hiks gue ... gue nggak bisa terima ... gue ...."
Berhenti Nabila.
"Gimana kalo gue ... bunuh di─"
"DIEM!"
"LO YANG HARUS DIEM! LO NGGAK TAU APA-APA ... HIKS ... GIMANA MASA DEPAN GUE ... GIMANA?!" Nabila menatap Barga nyalang, padahal dia sudah berusaha terlihat kuat tadi pagi, dan malam ini dia tidak bisa lagi menahan semuanya.
Bayang-bayang kejadian malam itu terus membekas dikepalanya, apalagi setelah mengetahui bahwa mahkotanya benar-benar terenggut secara paksa, sebagai wanita, Nabila tentu tidak bisa menerima itu semua.
Nabila menatap pisau yang ada diatas nakas, pisau itu berada diantara banyaknya buah pemberian dari Tante Sera tadi pagi. Barga yang mengerti arah pandang Nabila langsung mengumpat kesal.
Siapa yang meletakkan pisau disana?!
"Bil, jangan— gue mohon ... jang─ NABILA!"
Dengan sigap Barga mencengkram pisau yang hampir saja menusuk perut gadis itu, bunga lily yang dibawanya sampai terjatuh dilantai dan kini terdapat bercak-bercak mera hasil tetesan darah dari telapak tangan Barga.
Mengabaikan luka pada telapak tangannya karena telah menggenggam erat bagian pisau yang tajam, dengan salah satu tangannya yang lain Barga mencoba melepaskan pisau itu dari genggaman Nabila, s**l sekali karena Nabila terlalu kuat menggenggamnya sehingga Barga sedikit sulit mengambil alih.
Pisau itu terjatuh.
Dengan sigap Barga segera mendekap tubuh Nabila kelewat erat, berusaha menghalangi tindakan-tindakan yang ingin Nabila lakukan. Sedangkan Nabila? Gadis itu terus saja meronta dalam pelukan Barga, jeritan tangisnya meredam didada Barga, terdengar lebih menyayat daripada luka lebar di telapak tangan kirinya.
"Gue bukan perempuan sempurna lagi. Ga, gue udah kotor."
"Lo nggak perlu deket sama gue lagi ... gue ...."
"Barga, jauhin gue ... gue nggak mau lo deket sama perempuan kotor kayak gue ...."
Dalam peluknya Barga diam-diam menangis, mendengar sendiri bagaimana Nabila menyebut dirinya sendiri sebagai perempuan kotor membuat amarah Barga memuncak, apa dia harus mendatangi kantor polisi sekarang juga untuk membunuh semua pria yang merusak Nabila?
"Jauhin gue ... jauhin gue ...."
Nabila terus saja mengucapkan kalimat itu, hingga sampai kesadarannya menghilang di dalam pelukan Barga. Laki-laki itu dengan cepat menekan tombol bantuan untuk memanggil dokter, Barga tidak panik karena dia tau Nabila hanya pingsan.
Daripada panik, Barga justru lebih memikirkan tentang kalimat yang Nabila ucapkan tadi.
Jauhin gue.
Barga tidak pernah melihat sisi lain dari Nabila, selain keceriaan dan binar mata bahagia yang selalu gadis itu tunjukkan. Tapi kali ini Barga melihatnya, Barga melihat semuanya.
Marah, sedih, putus asa, semua seolah tercampur dalam binar mata Nabila. Tidak ada lagi pancaran cahaya dari sorot matanya, melainkan mendung yang begitu gelap. Kalimat yang diucapkan gadis itu penuh syarat akan permohonan, maka sekali lagi Barga bertanya pada hatinya.
Apa Barga harus benar-benar menjauhi Nabila?