34 : Sedikit Kisah Tentang Masa Lalu

1079 Kata
            Nabila masih ingat hari dimana Barga pada akhirnya memutuskan untuk berhenti balapan. Sebelumnya Barga sudah pernah bercerita bahwa dulu tujuannya gabung bersama club motor adalah karena murni dia memang menyukainya, untuk beberapa uang yang dia dapatkan dari hasil taruhan anggap saja sebagai bonus karena Barga tidak pernah benar-benar menginginkannya. Balapan itu sudah menjadi hobi nomor satu untuk Barga, karena banyak sekali kisah yang terjadi selama dia ikut balapan. Bertemu dengan Jeno, jatuh dan kecelakaan yang tidak bisa terhitung oleh jari, dimarahi oleh orang tuanya karena sudah dilarang tapi tetap saja membangkang, dan yang terakhir adalah bertemu Nabila.             Barga benar-benar terlalu menyukai hobinya yang satu ini sampai-sampai sulit baginya untuk berhenti.             Waktu itu setelah kelulusan Barga memang memiliki minat untuk mengambil kuliah penerbangan karena dia tertarik untuk menjadi pilot. Sang Papa mengizinkan hanya saja dengan syarat bahwa anak pertamanya itu harus menghentikan hobi balapannya yang terlalu membahayakan.             Barga menolak, tentu saja. Tidak bisa semudah itu untuk melepas hobinya.             Hari di mana dia bertengkar dengan sang papa membawa Barga untuk menemui Nabila, si pemberi solusi yang paling dia dengarkan. Sedikit pencerahan yang Nabila berikan hari itu mampu membuat Barga sedikit merubah pola pikirnya dan mau memikirkan kembali tawaran Papanya itu.             Nabila waktu itu berkata, “Ini bukan soal kamu yang berhenti. Anggap aja kamu masih melakukan hobi yang sama namun dengan objek yang berbeda. Kalau sebelumnya itu motor maka sekarang adalah pesawat, dan bedanya juga kalo dulu kamu menjalani hobi kamu di darat pada jalanan aspal maka sekarang kamu bisa mengudara di angkasa. Menurutku nggak ada bedanya karena pada akhirnya kamu akan sama-sama mengendarai, tapi kali ini tanggung jawabnya lebih besar karena hobi kamu yang baru bukan hanya membawa satu nyawa kamu sendiri tapi juga nyawa orang banyak yang nantinya akan menjadi penumpang kamu, Barga.”             “Aku tau mengudara itu salah satu mimpi kamu juga karena kamu udah pernah cerita sama aku sebelumnya. Coba kamu tanya sama hati kamu sendiri, sebenernya kamu beneran berniat nggak buat masuk kuliah penerbangan? Kalo kamu mau ambil ini atas dasar penasaran semata mending nggak usah karena aku takut kamu akan berhenti ditengah jalan, kan sayang jadinya. Tapi kalo kamu beneran mau dan janji bakalan selesain kuliah ini sampai akhir aku akan dukung penuh keinginan kamu yang satu ini asal dengan satu syarat kamu berhenti balapan.”             “Lagian aku rasa balapan cukup jadi kenangan dan kesenangan kamu di masa muda aja, nggak, sih? Sekarang bukan waktunya kamu untuk main-main lagi melainkan serius. Kamu sendiri tau balapan itu bukan sebuah pekerjaan tetap yang bisa kamu jadiin pondasi hidup kamu, kamu butuh sebuah pekerjaan buat diri kamu di masa depan dan buat keluarga kamu nanti… katanya kamu mau seriusin aku?”             Barga tertawa saat itu, sedikit tidak menyangka bahwa Nabila akan membawa topik itu untuk meyakinkannya. Tapi setelah mendengar semua yang gadis itu katakan Barga jadi semakin yakin bahwa inginnya adalah mengudara, menjadi seorang pilot yang bisa berkelana di angkasa.             Dan sekarang mimpinya benar-benar terwujud. *             Pukul sepuluh malam Barga menelpon Nabila lantaran dia tidak bisa tidur, sebelumnya laki-laki itu juga sudah bertanya apakah dia boleh menelpon dan tentu saja Nabila tidak menolak.             “Kamu belum mau tidur ‘kan?” tanya Barga dari seberang telepon.             Nabila menggeleng seraya bergumam, menjawab tidak atas pertanyaan barusan.             “Kamu tau nggak, aku tadi tiba-tiba keinget waktu kamu nasehatin aku ketika aku bingung buat ambil keputusan untuk berhenti balapan apa enggak.”             “Kenapa kamu bisa sampe kepikiran itu?”             “Aku nggak tau, randomly? Terus aku masih inget banget kata-kata kamu waktu itu. Aku yang harus sukses dan punya pekerjaan tetap buat masa depan dan keluarga aku nanti, kamu juga nanya kan kalo katanya aku mau seriusin kamu?”             Nabila terkekeh diujung telepon, kenapa Barga malah mengingat itu sih kan dirinya jadi malu sendiri.             “Beneran random banget, tapi untung aja waktu itu kamu mau dengerin aku dan berakhir pulang langsung ngomong sama Papa kalo kamu siap berhenti balapan dan beneran mau masuk kuliah penerbangan. Tapi kamu harus tau kalo saat itu aku beneran kagum banget sama kamu karena dari dulu tuh kamu selalu bisa buat ambil keputusan disaat-saat genting kayak gitu, kayak kamu tuh paham apa yang memang harus dan nggak harus kamu lakukan, Barga.”             “Wait, kamu kenapa jadi muji-muji aku gini sih?”             “Aku nggak muji itu kenyataan.”             Kali ini gantian Barga yang tertawa. “Kamu inget nggak hari di mana kamu bilang sama aku kalo kamu mau kuliah di Malang?”             “Inget, yang waktu itu kamu sampe diemin aku seharian karena kesel kenapa aku milih buat pergi jauh-jauh?”             “Iya, itu. Tapi sejujurnya dilu aku beneran kaget dan… takut? Kamu tau aku paling nggak bisa biarin kamu sendirian karena… maaf… masa lalu kamu enggak begitu bagus. Aku selalu menghindari kegiatan atau hal apapun yang bisa buat kamu sendirian. Aku selalu berusaha buat anter-jemput kamu setiap hari, minta Lalisa atau Zinde nemenin kamu ketika kamu sendirian di rumah. Aku beneran setakut itu makanya aku kaget waktu kamu serius mau ambil kuliah di Malang.”             “Tapi pada akhirnya aku berhasil kan ngeyakinin kamu kalo aku memang udah beneran sembuh. Aku juga udah enggak mau inget-inget luka lama yang bikin sedih karena aku tau sekarang aku punya banyak sumber kebahagiaan termasuk kamu. Aku nggak tau deh apa aku bisa sembuh atau enggak kalo dulu enggak ada kamu.”             “Jangan gitu ah, kamu pasti bakal sembuh, karena support system kamu kan bukan cuma aku aja tapi masih ada banyak orang-orang yang sayang sama kamu. Of course, aku orang nomor satu yang paling sayang sama kamu.”             “Enggak, yang paling sayang sama aku tuh Ayah sama Ibu.”             “Kamu nggak tau aja kalo rasa sayang aku udah setara sama Ayah dan Ibu kamu.”             “Tetep aja mereka yang paling besar.”             “Iya, iya, terserah Bila aja.”             Nabila tertawa mendengar suara Barga yang kelewat pasrah untuk menjawabnya. Sudah bisa ditebak bahwa laki-laki itu sudah mulai lelah menghadapi Nabila dan suaranya juga sudah terdengar serak yang menandakan bahwa dia sudah mengantuk.             Hal paling mudah untuk membuat Barga tertidur adalah menemaninya bicara sampai laki-laki itu lelah sendiri.             Nabila jadi heran, apa karena dulu Barga irit bicara jadi sekarang setelah dirinya jadi banyak bicara dia jadi cepat kelelahan?             Aneh juga, tapi lucu rasanya.             “Aku ngantuk, tidur duluan ya, sayang.”             “Kebiasaan, yaudah gih tidur aku juga mau tidur.”             “Good Night, Nabila.”             “Good Night, Barga.”             Indah sekali rasanya malam mereka berdua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN