EDO Hana terdiam saat gue bilang rencana gue untuk menuntaskan lima tahun karir pertama gue di Singapura. Gue menunggu suara dia menyapa kembali, namun tetap saja tak ada. Gue paham, dia pasti gelisah soal hubungan jarak jauh kami yang memang nyatanya tak berhasil. Terlalu menyiksa, dan terlalu banyak kesalahpahaman. Hana hanya tersenyum menatap gue. “Jadi? Hana mau jadi cewek Edo lagi?” “Edo udah ketemu Mama?” Ia justru mengalihkan pembicaraan. Artinya, dia ga siap nerima gue kembali, tapi ga juga mau kehilangan gue. “Belum. Baru Papa aja.” “Yuk, ketemu Mama dulu. Ada Bang Irgi dan Kak April juga.” “Hmm.” Sepanjang jalan kembali ke gedung resepsinya Ivan, Hana menceritakan beberapa hal yang gue lewati tahun kemarin. Tentang dia yang sudah lulus dan diwisuda tanpa gue, tentan