Akhirnya, hari sakral yang ditunggu pun tiba. Mas Al kembali menjabat tangan Ayah di depan penghulu sekaligus para saksi. Saksi kali ini jauh lebih banyak daripada akad sebelumnya. Itu sudah pasti, karena hampir semua keluarga besarku dan Mas Al datang untuk menyaksikan. Air mata yang menitik tak bisa kuhindari ketika para saksi mengatakan SAH dengan begitu mantap. Aku yang menyaksikan akad lewat layar dengan ditemani Bu Nur dan Bu Santi—mereka suka mengomeliku habis-habisan— merasa terharu luar biasa. Ada dua hal yang membuat tangisku sulit berhenti sampai hampir kena marah penata rias. Pertama, aku sangat bahagia karena aku jadi menikah —secara lebih sempurna— dengan laki-laki yang teramat kucintai. Kedua, itu karena Ibu tidak ada di sini. Andaipun beliau ‘hadir’, aku tetap tidak bis