“Kamu mau sampai kapan jadi canggung begitu?” tanya Mas Al ketika lagi-lagi aku menghindari tatapannya. Aku memilih untuk kembali fokus menatap ponsel, padahal aku tidak sedang menonton apa pun. Mas Al duduk di sebelahku. Aku tahu, dia sedang menahan senyum. Mungkin juga dia sedang menertawakanku di dalam hati. “Jadi keluar atau enggak? Langit cerah lagi. Lumayan kalau ke Telaga Warna. Tutupnya masih lama.” Aku masih tak menjawab, tetapi aku menoleh. Mas Al kembali mengulum senyum. “Mas! Jangan kaya gitu!” Mas Al malah menarikku ke dekapannya. Aku sendiri masih malu kalau ingat yang tadi. Serius, aku tidak sadar sama sekali kalau aku menduduki ‘pusaka’-nya. Bolehkah aku menyebutnya begitu? Tadi kami saling menggelitiki tanpa ampun, jadi yang ada di otakku hanya bagaimana cara