Bab 5. Tantrum

1504 Kata
Ethan dipapah oleh Antoni seolah dirinya benar-benar terluka dan tak berdaya. Dirinya diarahkan ke ruang IGD agar segera mendapatkan perawatan. Dalam bayangannya Ethan sudah membayangkan akan hal menyenangkan bersama Nindy. Wanita itu akan menyentuh lukanya dan mengobatinya. "Tuan, kenapa ini?" Salah seorang suster yang tampak sudah berumur datang ke ruangan dan bertanya apa yang terjadi membuat Ethan segera menjalankan aktingnya berpura-pura kesakitan. "Suster, tolong Tuan saya. Beliau baru saja mengalami kekerasan. Sepertinya harus diinfus," ujar Antoni cepat. Tentunya sudah sangat direncanakan. "Sebentar, saya cek dulu." Suster itu mendekat namun Ethan segera memberikan pelototan tajam ke arah Antoni. "Tidak!" Ethan bangkit dari posisinya. "Aku tidak mau diperiksa, panggil suster itu!" Ingin menyebut nama Nindy tapi lidah Ethan seperti kelu. "Suster siapa, Tuan?" Suster tua itu kebingungan. Ethan kembali memelototi Antoni meminta pria itu segera menjalankan tugasnya. "Suster Nindy, apakah beliau masuk? Karena Tuan saya hanya bisa disembuhkan oleh beliau," ujar Antoni cepat namun lagi-lagi mendapatkan pelototan tajam. "Ah tidak, maksud saya. Bukankah biasanya yang berjaga malam Suster Nindy? Apakah tidak bisa beliau saja yang menanganinya?" lanjutnya seraya menggaruk alis yang tidak gatal. Dalam hati sudah komat-kamit karena nasibnya setelah ini. "Oh. Suster Nindy malam ini tidak berjaga, Tuan." "Apa?" Kedua pria yang telah berkomplot itu saling pandang dengan tatapan yang mengerikan di mata Ethan. Ia sudah rela babak belur dan sakit semua tapi justru wanita yang menjadi alasan semua itu tidak ada? Percuma dong Ethan babak belur seperti itu. "Tidak berjaga? Bukankah beliau bekerja disini?" Hati Antoni semakin was-was, keringat dingin mulai membasahi wajahnya. "Benar, hanya saja jadwal berjaga Suster Nindy itu hari kamis sampai sabtu, Tuan. Jadi malam ini beliau libur, saya yang menggantikan." "s**t!" Ethan mengumpat penuh kekesalan. Ia yang semula sudah berbaring segera duduk kembali. "Tuan berbaring saja, saya akan mengecek keadaan, Anda." Suster tua itu mendekati Ethan, bermaksud mengeceknya namun Ethan kembali memberikan tatapan tajam. "Jangan menyentuhku !" bentak Ethan begitu kesal. "s**t! Kenapa kau tidak bilang dari tadi kalau dia tidak berjaga? Rumah sakit sialan! Aku akan menuntutnya karena membiarkan aku terluka seperti ini!" serunya dengan wajah yang begitu kesal. "b******k! Jangan bilang usahaku babak belur ini sia-sia. s**t Nindy! Mantra apa yang sebenarnya kau berikan?" Dalam hatinya Ethan pun tak henti mengumpat kasar. "Maafkan saya, Tuan. Tolong jangan seperti itu. Saya akan mencoba merawat, Anda." Suster tua itu tampak panik, bingung juga harus membujuk Ethan yang tiba-tiba ngambek itu. "Aku tidak peduli!" Semakin kesal Ethan melempar bantal yang ada di belakangnya. "Aku akan menuntut rumah sakit ini pokoknya!" Ethan benar-benar ngambek dengan wajah penuh kekesalan. Suaranya yang cukup besar itu membuat beberapa suster dan dokter jaga melihat apa yang sebenarnya terjadi. Menyadari apa yang dilakukan Ethan cukup kaget sendiri, tapi ia semakin kesal. "Malam ini jika wanita itu tidak datang, aku pastikan besok rumah sakit ini akan ditutup pemerintah!" ancam Ethan dengan kesalnya. Mana mungkin ia membiarkan pengorbanannya sia-sia. Malam ini harus Nindy yang mengobatinya. "Saya akan mencoba diskusikan dulu, Tuan." Suster tua itu bergegas pergi terbirit-b***t. Ia sudah tahu Ethan adalah orang berpengaruh sehingga sangat ketakutan. Beberapa suster banyak yang melihat kejadian itu tampak berbisik-bisik. Ada yang heran, ada juga yang menggunjing karena sikap Ethan seperti anak kecil yang ngambek karena keinginannya tidak dituruti. Ethan tidak mempedulikannya, ia memejamkan matanya seraya menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. "Tuan." "Antoni, kau juga harus memastikan kalau wanita itu datang malam ini kalau tidak mau aku menghabisimu," sergah Ethan disertai tatapan membunuh yang kental. "Pastikan juga semua ini terkesan tidak direncanakan, mengerti?" *** Nindy turun dari ojek dengan langkah terburu-buru. Ia masih menggunakan jaket tebal dengan rambut yang diikat asal karena telepon yang sangat mendadak. Harusnya malam ini ia libur tapi dibuat kaget dengan telepon dari ketua Suster yang berjaga jika ada keadaan yang darurat. Segera ia melangkah ke ruangan ganti dan mengganti bajunya. Tak lupa merapikan rambutnya agar tidak menganggu penanganan. Setelahnya barulah ia pergi ke ruangan jaga menemui seniornya. "Kak, gimana? Ada keadaan darurat apa?" tanya Nindy langsung. "Ah akhirnya kau datang juga." Suster senior itu begitu lega rasanya. "Malam ini suami aku mau ulang tahun, Nin. Jadi aku minta tukeran sift, nggak apa-apa 'kan? Mumpung bagus cuacanya, pengen keluar gitu," jelasnya dengan luwes agar Nindy tidak curiga pastinya karena Antoni sudah mewanti-wanti dengan sangat tegas. "Astaga aku pikir keadaan darurat apa." Nindy yang semula sudah sangat tegang akhirnya cukup lega. "Iya nih, maafin ya, Nin. Aku mau buru-buru juga ini. Tadi di IGD ada pasien belum sempat ke pegang, yang lain pada sibuk juga. Tolong tanganin ya, sama Dokter Andra nanti." "Baiklah, aku akan kesana sekarang." Nindy mengangguk pelan. "Nindy, terima kasih banyak. Astaga, aku sangat lega sekarang!" Suster itu cukup heboh karena nasibnya sudah aman. "Apa sih, Kak? Ya udah sana pulang. Kasihan tuh suaminya nunggu ntar," ujar Nindy terkekeh heran. "Ya, ya. Anak kamu sama siapa di rumah? Aman 'kan?" "Aman, adek aku yang jaga." Nindy menyahut seadanya. "Duluan, kak." Ia pun segera beranjak menuju ruang IGD. Nindy termasuk orang baru di sana karena memang baru bekerja 6 bulan. Itu pun harus melewati tahap seleksi yang cukup kuat karena rumah sakit itu adalah rumah sakit terbesar di kota Jakarta. Segala jenis pelayannya termasuk nomor satu dan pastinya gaji yang diterima cukup menjanjikan. Nindy sangat bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan ini karena masih banyak hal yang harus ditanggung, termasuk biaya anaknya yang tidak murah meski baru masuk TK. Jadi sebisa mungkin Nindy bekerja penuh semangat dan memberikan pelayanan terbaik untuk para pasiennya. "Tuan, Nona Nindy datang." Antoni yang sudah mendapatkan kabar tentang Nindy segera memberitahu Ethan. "Benarkah? Dia benar-benar datang?" Ethan menyeringai namun sedetik kemudian ia mendesis karena bibirnya nyeri. "b******n, kau memukulku sangat keras tadi?" sergahnya seolah begitu kesal. "Saya hanya menjalankan perintah, Tuan." Ethan mendengus, ini adalah hal paling gila yang pernah ia lakukan seumur hidup. Melukai diri sendiri hanya demi bertemu Nindy? Nindy masuk ke ruang IGD, ia memasang wajah yang begitu ramah dan siap menyapa. Namun langkahnya terhenti tatkala melihat sosok pria yang duduk di ranjang dengan kondisi babak belur itu. "Ethan." Bibirnya menyebut nama pria itu tanpa suara. Ethan meliriknya, melihat wanita itu dengan senyum puas di hatinya. Namun ia berpura-pura memasang wajah dingin. "Pelayanan rumah sakit ini sangat buruk, membuat pasiennya menunggu dengan luka separah ini. Kau ini niat bekerja atau tidak?" cemooh Ethan dengan wajah dikesal-kesalkan. Nindy menarik napas panjang. Setelah tadi rumah ia menghadapi miniatur Ethan yang super aktif, sekarang Nindy harus menghadapi Ayahnya yang multirewel. Ia harus sabar meski saat ini rasanya ingin menghantam kepala pria itu. "Maaf membuat Tuan menunggu lama. Sebentar, saya akan melakukan pengecekan dulu, ya. Tolong Tuan berbaring saja," ujar Nindy sangat ramah sekali, namun matanya terlihat sangat muak. Ethan semakin senang tapi sebisa mungkin ia memasang wajah datar. Ia melirik Nindy yang kini mengambil alat pengukur tekanan darah dan juga stetoskop di nakas lalu mendekati Ethan yang sudah berbaring itu. "Maaf ya, Tuan." Nindy dengan luwes meraih tangan Ethan dan memasangkan alat pengukur tekanan darah. Ia juga menyentuh d**a pria itu dan mengecek dengan stetoskop. Ethan yang diperlakukan seperti itu sontak langsung terdiam. Baru dipegang saja rasanya seluruh tubuhnya sudah sembuh. Tatapan tajam itu tak bisa berpaling dari wajah Nindy yang sangat menggoda. "Ethan, Sayang. Kenapa bisa terluka seperti ini? Pasti sakit sekali." Ethan melihat Nindy mengelus pipinya dengan wajah yang begitu khawatir namun sedetik kemudian ia meringis saat merasakan nyeri di tubuhnya. "Bagaimana Tuan bisa terluka seperti ini?" tanya Nindy dengan dahi berkerut. Ethan tersentak, baru sadar jika apa yang dirasakannya tadi hanyalah ilusi. Ia berdehem untuk mengusai dirinya. "Aku baru saja dipukuli, lihatlah seluruh badanku sakit semua. Bagaimana ini, apa kau bisa membuatnya sembuh?" jelas Ethan cepat. "Saya bukan tabib yang bisa menyembuhkan luka dalam semalam. Saya akan mengobatinya dulu supaya tidak infeksi." Nindy melepaksan alat ukur tekanan darah yang ada di lengan Ethan. "Tekanan darah, Anda tinggi. Kurangi minum kopi sebelum sarapan dan jangan suka tidur terlalu larut," ujar Nindy menasehati. Ethan menggoyangkan rahangnya, ia tahu ucapan itu sudah biasa dikatakan oleh dokter atau suster saat menangani pasiennya. Namun, Ethan merasa sangat senang karena Nindy yang mengatakannya. "Aku kesulitan tidur selama ini," ujar Ethan jujur. Selama 7 tahun terakhir ia memang sangat susah tidur malam. Bukan, lebih tepatnya setelah malam perpisahan mereka Ethan menjadi susah untuk tidur. "Menurutmu, kenapa aku bisa seperti itu?" Nindy melirik Ethan sekilas, ia menyiapkan kapas dan antibiotik untuk mengobati luka pria itu. "Mungkin karena terlalu banyak pikiran," sahut Nindy pelan. "Saya akan mengobati luka, Anda. Apakah hanya disini saja yang terluka? Bisa tunjukan dimana saja lukanya?" Ethan menyipitkan matanya mendengar pertanyaan itu. Ia tersenyum nakal, tanpa diduga ia melepaskan kancing kemejanya lalu melepas kemeja itu hingga tubuh atasnya terekspos. Nindy terkejut pastinya, tubuh kekar nan bersih tanpa cela itu membuatnya langsung gugup. Ia berusaha mengabaikannya dengan fokus pada apa yang akan dilakukan, namun mana mungkin ia bisa mengabaikannya sedangkan dulu ia pernah melihat tubuh pria ini dalam keadaan yang sama. Atau lebih parah? "Tidak perlu membuka baju, Anda. Sepertinya juga tidak ada luka di dalam," kata Nindy pelan, ia semakin bingung harus melakukan apa sekarang. Ethan tersenyum penuh makna. "Benarkah? Bukan kau ingin menyentuhnya?" Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN