Bab 6. Balas Dendam?

1255 Kata
Nindy menyipitkan matanya mendengar perkataan Ethan dibalut nada penuh godaan itu. Tadinya ia masih sangat gugup, namun ia ingat b******n satu ini akan semakin senang mempermainkannya jika ia bertingkah seperti itu. Lagipula kenapa ia harus gugup? Bukankah yang sangat bersalah dalam hubungan mereka Ethan? "Tubuhmu ...." Nindy meletakkan kapas yang dipegang lalu mengelus tangan Ethan yang terlihat otot-ototnya itu. "Masih sangat menarik seperti yang aku ingat," kata Nindy terus mengelus tangan itu hingga berhenti pada bahunya. "Kau mengakuinya, Nindy?" Ethan mengulas senyum sinis dengan wajah yang begitu culas. Nindy mengerutkan bibirnya, melirik Ethan yang terang-terangan menatap ke arahnya itu. "Aku juga baru sadar jika perutmu sangat menggoda." Perlahan elusan itu turun ke d**a lalu berakhir di perut. "Sayangnya ... semua hal menggoda ini bukan milikku lagi," ucap Nindy lirih, tatapan sendu itu ia tunjukkan pada Ethan. Ethan mendadak diam saat melihat tatapan mata Nindy. Wanita itu tak lagi menunduk seperti saat pertama bertemu dengannya. Nindy berani menatap matanya dengan sangat gamblang. Tatapan sendu itu entah kenapa membuat Ethan merasa resah. "Boleh aku pegang?" tanya Nindy. "Hem." Ethan memejamkan matanya, menahan napas agar perut sixpack-nya semakin terlihat. Ethan merasakan tangan halus Nindy perlahan mengusap perutnya yang keras itu. Tidak terlalu ditekan, namun sesuatu dalam dirinya sudah mulai bereaksi. Ethan berusaha mengendalikannya, tapi bangsatnya sentuhan Nindy yang paling bisa membuat tubuhnya ini menginginkan lebih. Nindy melirik Ethan yang memejamkan mata, ia menarik sudut bibir. Perlahan mengelus perut itu lalu tiba-tiba saja mencubitnya sangat kuat. "Aduh!" Ethan memekik kaget hingga kedua matanya terbuka lebar. "Nin sakit!" Ethan ingin mengumpat kata-kata kasar namun masih menahannya. "Benarkah? Bukannya Tuan yang minta aku menyentuhnya?" Nindy tersenyum puas, ia mengambil kapas yang sudah diolesi antibiotik. "Pengen aku obati 'kan? Sini, biar cepet sembuh." Dengan cekatan Nindy menarik lengan Ethan lalu menekan-nekan kapas itu pada sudut bibirnya yang robek. "Rasakan! Rasakan ini, dasar b******n gila. Kau pasti sengaja seperti ini kan," batin Nindy puas sekali melihat Ethan kesakitan selesai itu. "Aw, pelan-pelan dong. Perih! Arghhhhhhhh aku akan memberikan bintang satu pada pelayan rumah sakit ini!" Ethan memaki-maki seraya mendorong tangan Nindy agar menjauh. Lukanya sudah sakit bertambah sakit sekarang. "Ah jangan seperti itu, Tuan. Maafkan saya," ucap Nindy dengan wajah menyesal dibuat-buat. "Saya akan mencoba mengobatinya pelan-pelan, ya?" bujuk Nindy merayu-rayu dengan mengelus pipi Ethan. Ethan mendesis sebal, ia tahu Nindy sengaja melakukan hal itu untuk membalas dirinya. Kini wanita itu ingin menyentuh lukanya kembali, namun segera ia menghentikannya. "Kenapa, Tuan?" Nindy bertanya lembut, menatap mata Ethan cukup tajam. "Kau ingin membalasku?" Mata Ethan menyipit. "Membalas?" Nindy mengangkat alisnya, ia kemudian tersenyum tipis seraya memerangkap tubuh Ethan yang berbaring di ranjang dengan kedua tangan. "Jika aku sudah menemukan caranya, pasti akan aku lakukan sejak dulu." Ethan terkekeh kecil, menarik tangan Nindy hingga tubuh wanita itu jatuh ke pelukannya. "Jika tebakanku tidak salah, kau memang tidak ingin membalasku," bisik Ethan pelan, ia memejamkan matanya menghirup aroma tubuh Nindy yang selalu membuat ia gila. "Atau kau memang tidak pernah bisa membalasnya karena perasaan itu?" imbuhnya seraya menggigit telinga Nindy pelan. Nindy melepaskan dirinya dengan cepat. Wajahnya tampak datar sekali. Ethan ini memang selalu percaya diri seolah tidak bisa dikalahkan. Sikap arogansi dan dominan itu seperti sudah menjadi ciri khasnya yang menyebalkan. "Tenang saja, jika aku sudah menemukan caranya pasti akan aku lakukan. Kau cukup pegangan yang kuat, agar tidak jatuh dan sakit!" ucap Nindy menepuk pelan d**a Ethan lalu menegakkan tubuhnya. "Saya rasa Anda sudah cukup sehat, Tuan Ethan. Silahkan obati luka Anda sendiri, jangan menjadi pria lemah yang gemar merepotkan orang lain," kata Nindy seraya melempar kapas yang dipegang pada Ethan lalu beranjak begitu saja. "Hei, tugasmu belum selesai!" Ethan membesarkan matanya kaget dan juga kesal. "Aku benar-benar akan memberikanmu rate bintang satu karena pelayananmu sangat buruk! Kau belum mengobati lukaku!" seru Ethan penuh ancaman berharap Nindy akan kembali. Namun, wanita itu bahkan tidak menoleh lagi. Membiarkan Ethan berbaring dengan luka yang masih perih dimana-mana. "s**t! Beraninya dia bersikap itu padaku. Arghhhhhhhh!" Ethan melempar semua barang yang ada di nakas karena sangat emosi. Inilah yang dinamakan niat untung malah buntung. Ethan bukan hanya tidak mendapatkan perawatan dari Nindy seperti keinginannya, ia justru dibuat merasakan sakit sepanjang malam karena luka itu mulai menunjukkan efek yang menyakitkan. "Sialan!" *** Ethan bukannya semakin mundur setelah tahu Nindy kembali dalam hidupnya. Justru rasanya ia ingin gila sekarang. Sudah berulang kali menyangkal dan menolak segala hal yang berkaitan dengan wanita itu. Namun brengseknya hatinya seolah selalu mencari tentang wanita itu. Cara yang dilakukan pertama gagal menarik simpati wanita itu dan Ethan ingin mencari cara yang lebih gila lagi. Mengirim mata-mata itu memantau aktivitas wanita itu setelah ia berhasil melacak tempat tinggalnya. "s**t! Sebenarnya apa yang terjadi denganku ini?" Sebelumnya Ethan jelas tak pernah seperti ini. Hidupnya 7 tahun ini berjalan lurus-lurus saja tanpa ada yang mengusik hatinya. Atau lebih tepatnya Ethan mengamankan hatinya sendiri agar tidak memikirkan hal yang tak seharusnya. Tapi Nindy tiba-tiba kembali sehingga membuat otak dan hatinya seperti diobrak-abrik oleh wanita yang satu itu. Akhirnya setelah berperang pikirkan dan hatinya sendiri, Ethan tidak bisa untuk berpura-pura untuk tidak peduli lagi dengan wanita itu. Ia nekat mendatangi tempat tinggal Nindy tanpa sepengatahuan siapa pun, kecuali Antoni tentunya. "Ethan." Langkah Ethan yang tadinya sangat mantap untuk keluar rumah seketika terhenti begitu mendengar suara lembut Julia. Wanita itu mendekat ke arahnya. "Bagaimana? Apa kau sudah menandatangani surat perceraiannya?" Ethan bertanya dingin. Julia mengulum bibirnya, ekspresi wajahnya seketika berubah ketika Ethan menanyakan hal itu. "Bukankah kita perlu membicarakannya dengan orang tua kita?" "Cukup tandatangani saja surat itu, sisanya akan aku urus," tukas Ethan semakin pedas. "Aku harap tidak ada drama lagi, Julia. Sudah cukup drama yang kita mainkan selama 5 tahun ini. Waktunya kita untuk berhenti," tegasnya lebih penuh penekanan sebelum beranjak pergi. Julia menggigit bibirnya menahan tangis. Ia tidak akan menangis histeris hanya diperlakukan Ethan sedingin itu. Sudah 5 tahun ia selalu mendapatkan perlakuan yang sama. Bahkan sejak awal menikah Ethan sudah mengatakan jika tidak akan bisa mencintainya. Sebenarnya Julia juga tidak heran karena dalam keluarga mereka sudah biasa seperti itu. Menikah dengan anak seseorang yang punya kedudukan tinggi agar kekuasan itu tetap akan jatuh di tangan mereka. Namun, apakah Julia tidak boleh berharap pada pria yang bahkan sangat sah untuk dimiliki? "Bagaimana caranya aku bisa mendapatkan hatimu, Ethan? Apa kau tidak bisa memberikan celah sedikit untuk aku masuk?" *** Ethan menunggu dengan tenang di dalam mobil seraya menikmati rokoknya. Percayalah ia tidak akan segabut itu selama 7 tahun ini karena ia akan bekerja dari pagi buta sampai malam hari. Sekarang justru dengan gilanya ia menunggu seorang wanita yang bahkan tidak tahu akan keluar dari tempat itu atau tidak. "Tuan, itu Nona Nindy!" Antoni berseru heboh saat melihat sosok wanita yang keluar dengan pakaian casual dan topi. Ethan menegakkan tubuhnya, melihat Nindy yang keluar dari lobi Apartemen. Namun, dahi Ethan mendadak berkerut saat melihat Nindy yang keluar tidak sendiri. Wanita itu keluar dengan anak laki-laki kecil yang Ethan pernah temui di rumah sakit. "Anak itu, kenapa bersama Nindy?" batin Ethan penuh tanya. Seingatnya anak itu adalah anak dari pasien di rumah sakit. Namun, ada hal yang lebih mengejutkan dari itu. Dibelakang Nindy ada seorang pria muda yang mengikuti. Kini pria itu terlihat mengobrol dan keduanya saling tersenyum. Yang lebih mengesalkan Nindy mengulurkan tangannya mengusap rambut pria itu seolah sangat menyayanginya dan si pria membalas dengan mencium tangan Nindy. Wajah Ethan sontak berubah saat melihat hal itu. Hatinya panas sekali hingga kedua tangannya mengepal erat. Ia memegang rambutnya, Nindy bahkan tidak pernah seperti itu padanya saat mereka berhubungan dulu. "s**t! Siapa pria itu? Berani sekali dia mencium tangan Nindy-ku?" Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN