Bab 7. Hati Yang Panas

1427 Kata
Rasa marah itu menyeruak dalam diri Ethan. Kemarahan ini tentu tak seharusnya ia rasakan. Ia berusaha mengendalikan perasaannya. Ia harus tenang karena sadar saat ini Nindy bukan siapa-siapa baginya. Atau bahkan memang tidak berati apa pun untuk dirinya? Ethan tidak ingin mengikuti kata hatinya saat ini. Ia menyangkal jika cemburu melihat Nindy sangat dekat dengan pria lain. Dalam hatinya mencoba membandingkan pria itu dengan dirinya. "Setelah putus denganku apa seleranya turun pangkat? Cih, lihatlah tubuhnya sangat kurus," cemooh Ethan spontan begitu saja. Mata tajam itu mencari-cari apa yang bisa ia olok-olok. "Dia masih sangat muda, Tuan." "Damn it! Maksudmu aku tua begitu?" Merasa tak terima Ethan menarik kerah baju Antoni kasar. "Bukan seperti itu, Tuan." Antoni menjawab terbata-bata, menelan ludahnya sambat gugup. "Kau pikir aku tidak dengar? Kau bilang pria itu muda, maksudnya apa?" sergah Ethan semakin murka. "Kau lihat wajahku baik-baik, lebih tampan aku atau si kerempeng itu?" Ethan mengernyit ketika pertanyaan itu muncul. Ia menatap ke arah pria muda yang bersama Nindy tadi. "s**t! Untuk apa juga aku membandingkan diriku dengan dia. Tentu aku jauh di atas segalanya." Ethan mengulas senyum sombong, menghempaskan tubuh Antoni lebih kasar dari sebelumnya. "Tentu, Tuan. Anda yang paling tampan dan berwibawa dibanding pria itu," ujar Antoni memuji. "Aku tahu." Ethan menyahut malas. Kali ini kembali di atas angin karena menyadari dirinya memang masih di atas segalanya dibanding pria itu. "Tapi dia bisa mencium Nindy," kesal Ethan lagi tiba-tiba kembali bad mood. Kini bahkan tak henti menatap ke arah Nindy dan pria muda yang tengah menunggu di halte bus samping Apartemen. "Memangnya Tuan Ethan tidak bisa?" Ethan mengangkat alisnya, merasa ucapan Antoni sangat mengusik hatinya. Mungkin dulu ia masih bebas bisa mencium wanita itu namun sekarang tentu ia tidak bisa melakukan hal itu. Ethan masih punya akal sehat untuk tidak bertindak beringas seperti dulu. Tapi ia kesal sekarang! "Sepertinya aku harus menghentikan ini. Sialan! Nggak bener ini, ayo kita ke kantor saja," ujar Ethan merasa ingin memukul kepalanya sendiri sekarang. Ia yakin jika ini diteruskan perasaan gila yang selama ini tidak dimengerti itu kembali hadir. Perasaan gila dan hasrat kuat ingin memiliki Nindy seutuhnya. Memiliki Nindy untuk dirinya pribadi. Perasaan rumit itu terus menghantui Ethan ketika bersama Nindy. Ethan tak tahu itu perasaan apa yang jelas saat perasaan itu muncul ia bisa berubah menjadi pria bengis yang tak pandang bulu. Mengikuti hasrat gila yang membuat sikapnya diluar nalar manusia. "Tuan yakin akan pulang?" Antoni bertanya memastikan. Melirik Ethan yang sangat galau di kursi belakang itu. Bisa dilihat dari cara duduknya yang tak tenang. "b******k!" Ethan memukul pahanya sendiri karena nyatanya tak bisa mengendalikan perasaan gila itu. "Ikuti wanita itu," titahnya kemudian. "Nindya Putri, beraninya kau mengusik hatiku seperti ini. s**t!" *** "Nanti pulangnya langsung naik ojek aja ya, Dav. Kakak habis ini mau keluar soalnya." Nindy menasehati Davin—adiknya yang saat ini ingin melakukan tes masuk ke salah satu Universitas negeri kota Jakarta. Tujuan Nindy mengajak adik laki-lakinya itu ke Jakarta selain menjaga Elang saat dirinya bekerja, Davin juga ingin melanjutkan kuliahnya yang sempat tertunda satu tahun karena kendala biaya dan juga Ibunya yang sakit parah waktu itu. Seharusnya Davin masih bisa memiliki masa depan yang bagus jika dirinya dulu tidak bermain-main saat kuliah. Kejadian 7 tahun lalu benar-benar merubah segalanya dalam hidup Nindy. Bukan hanya kuliah yang harus terputus, namun Nindy juga harus kehilangan Ayahnya yang tidak tahan akan hujatan para warga saat dirinya kembali pulang dalam keadaan hamil tanpa suami. Yang lebih menyedihkan bagi Nindy, ibunya menyusul 5 tahun kemudian sehingga Nindy hanya punya adik laki-laki satu-satunya yaitu Davin. "Kuliah yang bener, Dav. Nggak usah mikirin pacaran. Jangan kayak Kakak, udah nggak bener dan bikin malu orang tua. Buat Ayah dan Ibu bangga," tutur Nindy lembut. Sungguh tak mau kejadian yang ia alami akan dialami adiknya juga. "Iya, Kak. Doain tesnya bisa aku jalanin semuanya." Davin mengangguk patuh. "Kakak juga doa seperti itu. Masuk gih, Kakak habis ini mau ketemu temen," ujar Nindy. "Semangat Om!" seru Elang mengangkat tangannya seolah menyemangati Om-nya. "Pasti dong. Tos dulu, Elang!" Davin mengangguk-anggukkan kepalanya seraya mengulurkan tangan pada keponakannya yang menggemaskan itu. Keduanya melakukan tos andalan yang berakhir dengan tawa di bibir keduanya. Nindy melihatnya dengan senyum manis. Mereka melambaikan tangan pada Davin sebelum pergi ke salah satu kafe depan kampus untuk menunggu seseorang. "Ibu, kita mau ketemu Om tinggi yang waktu ya?" Elang bertanya pada Ibunya. "Iya, Om Yudha." "Om itu suka Ibu," celetuk Elang dengan kedua alis menyatu. Terlihat sekali tidak senang. Nindy mengerutkan bibirnya, ia mengelus alis tebal Elang dengan gemas. Anak itu memang duplikat sempurna sang Ayah. Dari wajah, mata, hidung, bibir semuanya mirip Ayahnya. Bahkan sifatnya juga sama persis. Sedangkan Nindy hanya kebagian hikmahnya saja. "Om Yudha kan baik. Dulu pernah main ke rumah waktu masih di Jogja. Elang nggak ingat?" "Ingat. Tapi tetep nggak suka," ujar Elang cemberut. "Om itu culun, nggak suka kalau jadi Ayah Elang. Kurang keren," imbuhnya lagi. Nindy tertawa kecil, ia mencubit pipi Elang gemas. "Memangnya siapa yang bilang Om Yudha Ayahnya Elang? Om Yudha itu teman Ibu," jelas Nindy merasa Elang hanya salah paham saja. "Dia deketin Ibu terus." Elang kembali mencibir, ekspresinya semakin cemberut tak suka sekali jika Ibunya dekat-dekat dengan pria yang bernama Yudha itu. Tak lama kemudian orang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Yudha tersenyum lebar melihat Nindy yang sudah menunggu. "Pagi Nindy, Elang. Udah lama nunggu?" sapa Yudha mengulurkan tangannya berjabat tangan dengan Nindy. "Nggak kok, Pak. Baru aja." Nindy menyambutnya seraya bangkit. "Oh syukurlah, kamu apa kabar, Nin?" Yudha mendekat hendak memeluk Nindy sebagai salam hangat namun Elang buru-buru mendorong kaki Yudha dan berdiri di depan Nindy. "Om nggak boleh peluk-peluk Ibu aku. Elang nggak suka," cetus Elang menatap Yudha sangat tajam. "Elang." Nindy terkejut sendiri, ia tersenyum tak enak pada Yudha. "Pak maaf, anak saya—" "Nggak apa-apa, Nin. Namanya juga anak kecil, ayo duduk." Yudha tersenyum santai meski hatinya cukup jengkel. Nindy semakin tak enak, ia akhirnya mengajak Elang duduk namun anak itu meminta duduk di pangkuannya. Benar-benar tidak memberikan celah untuk Yudha mendekati Ibunya. "Elang udah janji sama Ibu nggak boleh nakal," bisik Nindy memperingati putranya. Elang tak menggubrisnya, ia tetap duduk di pangkuan Ibunya seraya terus menatap Yudha sangat tajam. Yudha yang ditatap seperti itu salah tingkah sendiri. Elang ini kenapa aura intimidasinya itu sangat kental meski usianya baru 6 tahun lebih. Sorot mata hitam itu seperti menguliti Yudha habis-habisan. "Aku seneng kamu nyempetin waktu buat ketemu. Udah hampir setahun kamu disini loh kita baru ketemu lagi," ujar Yudha membuka obrolan basa-basi. "Iya, Pak. Saya kalau Senin sampai Rabu sift pagi dan selebihnya sift malam. Kalau udah di rumah ya pasti sibuk. Emang nggak pernah keluar saya," sahut Nindy seadanya. "Oh ya, aku bawa ini. Buat Elang." Setelahnya Yudha mengangsurkan sebuah paper bag yang cukup besar pada Elang. "Pak Yudha kok repot-repot." Nindy semakin tak enak. "Nggak apa-apa, buat Elang. Ambil, Nak," tutur Yudha. Elang yang tadinya memasang wajah ogah-ogahan akhirnya menerima hadiah yang diberikan Yudha. Ia mengintip isinya sekilas hingga kedua matanya berbinar cerah. "Wah!" Elang berseru riang begitu melihat isinya. "Console game! Wah, aku memang mau ini dari dulu." Elang tak segan mengeluarkan isinya dari dalam paper bag dengan penuh semangat. "Elang suka?" Yudha tersenyum lebar, ia yakin Elang akan menyukainya. Memang anak kecil mana yang tidak suka game? Elang mengangguk-anggukkan kepalanya cepat. "Hadiahnya suka, tapi tetep nggak suka sama Om," celetuk Elang. Nindy meringis sungkan. "Pak Yudha, maaf, Pak. Apakah ini tidak terlalu berlebihan? Maafkan anak saya," kata Nindy semakin tak enak saja. "Nggak apa-apa, Nin. Namanya juga anak-anak." Yudha tersenyum santai, benar-benar harus ekstra sabar jika menanggapi anak super menyebalkan seperti Elang ini. Sementara itu Ethan yang berada di dalam mobil sudah seperti terbakar saja. Ia merasa sekelilingnya gerah sekali melihat Nindy bertemu pria lain lagi. Selain itu banyak sekali tanda tanya besar dibenak Ethan, tentang siapa anak yang bersama Nindy. Ia yakin anak itu bukan anak salah satu pasien seperti yang pernah Nindy katakan. "Apa mungkin itu anak Nindy?" Ethan bergumam lirih. "Dan si culun itu suaminya?" "b******k! Antoni, aku harus turun. Sialan, apa yang mereka obrolkan? Kau lihat, Nindy salah tingkah di depan si culun itu. s**t! Aku mau turun sekarang!" Ethan mengumpat-umpat penuh emosi. Rasanya ia ingin membakar tempat itu saja biar semua orang tahu hawa panas yang mengelilingi hatinya. "Yakin mau turun, Tuan? Bagaimana kalau—" "Aku tidak peduli, aku harus turun sekarang." Ethan sudah tak memikirkan logikanya sekarang. Ia membenarkan dasinya lalu segera turun dari mobil. Dalam waktu belum genap 2 jam saja ia sudah dibuat kelimpungan dengan dua pria yang mendekati Nindy. Satu belum diurus, sekarang hadir lagi. "Menyebalkan!" Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN