"Ibu, tolong bukain. Mau nyoba mainnya." Elang meminta dengan tak sabar untuk segera membuka console game hadiah dari Yudha.
"Itu harus dihubungkan ke telivisi. Nanti sampai rumah ya kita nyoba sama Om Davin," jelas Nindy.
"Hem baiklah." Elang menurut saja.
"Davin kuliah disini, Nin? Kenapa nggak di Universitas kamu dulu?" tanya Yudha.
"Saya nyari yang bayarnya lebih murah, Pak. Disini juga dekat dengan Apartemen saya, nggak perlu naik bus jauh-jauh," sahut Nindy seadanya.
Yudha mengangguk paham. Sifat Nindy yang satu inilah yang membuatnya suka sejak dulu. Nindy orang yang ramah dan tidak malu dengan hidupnya yang sederhana. Wanita itu sangat manis sifatnya membuat siapa pun pasti akan betah jika bersamanya. Sayang wanita semanis ini harus hancur masa depannya dulu disaat sedang mekar-mekarnya.
"Elang, habis ini mau jalan-jalan nggak sama Om? Pergi ke ...." Yudha menyebut nama salah satu mall yang terkenal di kota Jakarta. "Beli mainan," ajaknya penuh semangat.
"Nggak mau." Elang menggeleng cepat-cepat. "Mau pulang aja," lanjutnya kembali menggelayuti lengen Ibunya.
"Atau mau ke—"
"Permisi, Tuan, Nona maaf. Apakah kalian sudah selesai?" Salah seorang pelayan tiba-tiba menghampiri meja tempat mereka duduk membuat ucapan Yudha sontak terhenti.
"Kenapa memangnya?" Yudha mengernyit bingung.
"Kebetulan tempat ini akan digunakan rapat. Jadi harus dikosongkan dalam waktu 15 menit. Maafkan saya karena sudah lancang, mungkin bisa segera pergi jika sudah selesai," ujar Pelayan itu tampak sangat sungkan sebenarnya. Namun, lebih banyak takutnya.
Yudha mengernyit semakin heran, ia menatap Nindy yang sama herannya karena mereka saja hanya duduk di teras samping kafe. Pastinya tidak akan menganggu aktivitas di dalam.
Tak perlu waktu lama untuk menjawab keheranan itu. Pasalnya beberapa menit setelahnya Ethan masuk dengan gaya yang sangat arogan. Satu tangannya masuk ke dalam saku dengan dagu yang terangkat.
Nindy mencibir kesal. Ia yakin sekali ini semua hanya akal-akalan Ethan saja. Pria itu kini melangkah ke arah mereka membuat Nindy tanpa sadar memeluk Elang sangat erat.
"Kalian punya telinga 'kan? Tempat ini akan dipakai rapat. Pergi sekarang," ujar Ethan dingin, pun tatapan matanya sangat mengintimidasi sosok Yudha yang duduk di hadapan Nindy. "Jangan jadi orang yang tidak tahu aturan yang tidak ingin mendengar arahan," imbuhnya, kali ini melirik Nindy dengan mata tajam itu.
Nindy hanya diam, justru membalas tatapan tajam itu dengan lebih sengit.
"Baiklah. Ayo kita pergi saja, Pak Yudha. Katanya mau ajak Elang ke mall, atau renang aja kali ya? Biar nggak kepanasan," kata Nindy santai saja. Disuruh pergi ya pergi.
Yudha menarik sudut bibirnya, ia suka dengan gaya Nindy yang sangat tenang itu. "Boleh, terserah anak tampan kita mau kemana," sahutnya dengan sengaja karena ia yakin Ethan ini belum tahu tentang siapa Elang yang sebenarnya. Terbukti pria itu bersikap biasa saja.
Ethan mengepalkan tangannya penuh emosi. Matanya menyipit tak suka membuat ia ingin menghantam Yudha saat ini. Akan tetapi Ethan masih punya akal sehat untuk tidak melakukannya.
Nindy terlihat kaget akan ucapan Yudha, namun ia paham apa maksudnya. Ia mengelus punggung Elang.
"Elang, ayo turun dulu. Katanya mau ke mall, ini hadiahnya bawa. Nanti dimainin di rumah," tutur Nindy.
"Siapa yang mau ke mall? Pengen pulang, Bu. Capek, nggak suka." Elang merengek dengan wajah cemberut. Mood anak itu memang suka berubah sewaktu-waktu.
Tatapan Ethan sontak teralihkan pada sosok Elang. Anak itu terlihat sangat datar wajahnya, tidak tengil saat pertemuan mereka pertama kali. Ethan menatapnya lekat-lekat, selalu saja merasa jika anak itu seperti dirinya.
"Ya udah kalau nggak mau, langsung pulang saja, Nindy. Saya antar," ujar Yudha.
"Iya, Pak." Nindy mengangguk cepat. "Elang turun dulu, ya. Ayo jalan."
Elang menggeleng cepat, sepertinya anak itu sudah mengantuk atau memang sengaja bersikap malas agar tidak diajak pergi kemana pun.
Nindy menghela napas panjang, ia mau tak mau bangkit dengan menggendong Elang. Tubuhnya yang kecil tiba-tiba kehilangan keseimbangan karena Elang terlalu berat, secara tak sengaja ia hampir oleng namun Ethan menahan tubuhnya dengan memeluk pinggang Nindy dan juga Elang bersamaan.
"Akh!" Nindy berteriak kecil. Sudah membayangkan akan jatuh bersama anaknya.
"Berhati-hatilah!" seru Ethan cukup kasar. Namun, tatapan matanya terus terpaku pada wajah Elang yang sangat dekat sekali dengannya. Mata hitam itu memantulkan wajah dirinya, dan bangsatnya Ethan merasakan gejolak yang tidak bisa disebut itu apa.
"Tubuhmu sangat kecil kenapa malah menggendongnya? Berikan saja anak ini pada Ayahnya!" seru Ethan cukup geram dengan Yudha ini. Apa tidak melihat Nindy saja tampak kesusahan saat menggendong Elang yang punya badan sudah cukup besar.
Nindy yang dibentak seperti itu tanpa sadar ingin menangis. Ditambah Ethan menyebut orang lain sebagai Ayahnya Elang. Padahal pria itu sendiri Ayah dari anak yang digendongnya.
"Apa kau tidak mengenalinya, sedikit saja?" batin Nindy.
"Elang sama saya aja, Nin. Sini." Yudha mengulurkan tangannya meminta Elang namun anak itu tentu menolak.
"Sama Ibu aja, ayo pulang Ibu," rengek Elang lagi.
"Iya, iya, kita pulang." Nindy mengangguk mengerti. Segera menjauhkan dirinya dari Ethan secepat mungkin. "Ayo, Pak. Sepertinya Elang mengantuk," ucapnya pada Yudha seraya beranjak meninggalkan meja itu.
Ethan hanya memandang kepergian itu dalam diam. Hatinya sudah cukup senang bisa mengacaukan acara Nindy dengan pria yang dianggapnya culun. Namun, tatapan mata Elang dan wajahnya yang sangat mirip dengannya itu sangat mengusik hatinya.
"Anak itu sangat mirip denganku, tapi tidak mungkin dia anakku bukan?" Ethan mengingat dengan seksama. Dulu saat bersama Nindy ia meminta wanita itu mengkonsumsi pil kontrasepsi setelah mereka bercinta. Sangat tidak mungkin jika Nindy punya anak darinya.
"Tidak, anak itu pasti bukan anakku." Kepala Ethan menggeleng, menolak jika memang Elang adalah anaknya. Namun, wajah Elang serta tatapan matanya itu ... kenapa sangat mengusik?
"Aku harus memastikannya sendiri."
***
Ethan menghisap rokoknya dalam-dalam seraya memandang rumah sakit tempat Nindy bekerja. Entah apa yang sebenarnya ada di otaknya ini. Ia benar-benar tidak bisa mengeluarkan Nindy dalam otaknya barang sedetik pun. Kali ini Ethan ingin memastikan sesuatu yang sejak kemarin selalu mengganggunya.
Pukul 10 malam saat orang-orang seharusnya sudah beristirahat Ethan justru turun dari mobilnya. Di tangannya memegang sebuah pisau kecil yang membuatnya ingin tertawa.
Dengan hitungan detik lengan Ethan mengucurkan darah karena pisau yang ada di tangannya. Ethan menekannya tak terlalu dalam, namun cukup untuk membuatnya terluka.
"Hanya kau yang bisa membuatku sangat gila seperti ini, Nindya Putri." Ethan membuang pisau itu lalu masuk ke dalam.
Bersambung~