30. Love? Part 2

1563 Kata
POV Debby Aku sedang duduk di sofa bergelung selimut dengan semangkuk es krim yang menemaniku dalam kegelapan. Aku hanya ditemani suara teriakan dan cahaya dari film murahan yang aku tonton. Beberapa minggu terakhir ini, aku merasa tinggal di bumi tapi seolah-olah aku sedang tinggal di neraka. Aku sudah memutuskan kalau aku akan menjauhi makhluk Tuhan yang disebut laki-laki. Aku akan melajang selama semasa hidupku karena tidak ada di antara mereka yang layak untuk dijadikan pasangan, mereka semua kebanyakan omong kosong. Tidak ada di antara mereka yang layak untukku, aku merasa sakit dan terluka dengan ini semua. Mereka semua berbohong, mereka seua Bajingann yang suka berbuat curang. Mereka mengatakan kalau aku telah menjadi sosok yang sangat membenci sosok pria beberapa minggu terakhir, sungguh ini adalah pernyataan yang meremehkan. Aku tersesat dalam mengasihani diri sendiri, duduk termenung meratapi nasibku sendiri. Aku pun punya hak atas omong kosong yang mereka lontarkan baru-baru ini. Aku tidak akan berbohong meskipun kenyataannya aku merasa kehilangan Marco, kehilangan wajahnya terkadang sombong dan aku tahu tidak seharusnya aku merasa begitu. Aku dan Marco tidaka akan pernah bisa bersama dan aku pun tahu itu. Aku dan dia hanya akan menjadi racun bagi satu sama lain kalau aku dan dia bersama. Itulah alasan mengapa aku masih menolak untuk berbicara dengannya selama lebih dari sebulan karena aku rasa itu semua tidak ada gunanya.aku sudah selesai dengan semua permainan, sekss bebas dan bermain-main,, aku merasa kalau aku mulai tua untuk semua omong kosong ini. Aku juga berkata pada diriku sendiri kalau aku ingin menikah dengan seseorang yang benar-benar tulus mencintaiku, aku juga ingin mempunyai seorang bayi kelak dalam hidupku pada saat aku berusia 30 tahun, untuk sekarang aku masih berusia 29 tahun dan itu pun minggu depan tepat genapnya usiaku, jadi aku belum bisa memilikinya karena aku juga memang belum menikah. Aku yakin kalau aku tidak akan mungkin memiliki seorang bayi dari seorang Marco Henry William, tapi jan hentikan rasa rinduku padanya. Aku menghela nafas, menggerakkan jari-jariku ke rambut gelapku yang berantakan, lalu bersandar di sofa. Aku memejamkan mata menarik nafas dalam-dalam, mencoba melakukan apa saja agar bisa membantuku untuk berhenti memikirkan beberapa kejadian minggu terakhir ini. Sejenak aku terkesiap karena suara ketukan pintu yang terdengar keras dan sangat bersemangat di depan pintu. Siapa yang mengetuk pintu? Adel pergi untuk bermalam bersama dengan Edward. Aku mengerang, mencoba memutuskan apakah aku harus repot-repot untuk menjawabnya. Sebelum sempat aku memutuskan, aku mendengar orang itu mengetuk pintu lagi dengan lebih keras, dari suara ketukan pintunya terdengar sangat panik. “Astaga! Aku datang. Apa kau mncoba untuk mengahncurkan pintu sialann itu dengan mengetuknya seperti itu?” seru, menarik bokongg dari sofa, lalu secara perlahan menuju ke pintu, aku berjalan dengan tidak terburu-buru.  Aku membuka pintu tanpa berpikir dua kali ketika seharusnya aku melihat melalui lubang intip, tapi aku tidak melakukannya karena aku terlalu kesal pada seseorang yang mengganggu acaraku dalam meratapi diri sendiri. Aku membuka pintu dan berdiri di sebelah pintu yang terbuka. Sial! Dia adalah orang terakhir yang aku harapkan akan muncul di depan pintu. Ya, dia adalah Marco. “Tidak.” Kataku akan membanting pintu dan ada sebuah kaki yang menghentikanku dari ingin melakukan itu. “Debby, bisakah kita bicara?” kata Marco memohon dengan sedih. “Tidak!” aku berteriak mencoba untuk menutup pintu dengan paksa, tetapi Marco tidak menyerah sedikitpun. Dia tidak sedikitpun menggeser kakinya dan aku tidak pernah benar-benar ingin bertanggung jawab pada kakinya jika sampai patah. “Aku mohon sayang, ini penting.” Lagi-lagi Marco memohon. Siapa yang dia panggil sayang? Dia tidak berhak memanggil aku seperti itu. “Jangan berani-beraninya kau memanggilku dengan panggilan sayang Marco! Kau tidak punya hak atas itu.  Apa-apaan ini? Mau apa kau datang kemari?” tanyaku dengan sinis. “Kita perlu bicara, Please?” katanya terus-terusan memohon. Dia tampak sangat sedih dan hancur, sama seperti yang aku rasakan. “Baik! Kau punya waktu dua menit, lalu aku akan menendangmu keluar dari sini” kataku sambil membuka pintu dan membiarkannya masuk.  Dia sempat tertawa kecil dan tawanya itu segera berhenti saat aku memelototinya. Aku berjalan masuk menuju ke ruang tamu kembali. Aku duduk di sofa dan membungkus diriku kembali dengan selimutku, Marco pun segera mengikutiku, di berdiri di hadapanku dengan gugup. “Katakan, apa yang ingin kau bicarakan?” desisku menatap sinis ke arahnya. “Debby, aku sangat merindukanmu.” Ucapnya berkata dengan lirih, hampir terdengar seperti bisikan. “Tidak, kau tidak merindukanku sebagaimana mestinya orang merindu. Kau hanya rindu bercinta denganku. Mulut dan hatimu berkata lain.” Kataku dengan kesal. “Apa? Bukan seperti itu Debby. Aku merindukanmu, benar-benar merindukanmu, aku merindukan kebersamaan kita. Toong jangan menyerah padaku, jangan menyerah untuk kita” katanya dengan nada sedih. Kita? Tidak pernah ada kita. Aku pun berdiri dari sofa. “Kita? Tidak pernah ada Kita, Marco. Kita hanya sekedar bercinta, bermain-main, berkelahi dan selalu bertengkar satu sama lain. Itu kah Kita yang kau maksud? Itu lebih ke bukan pada Kita yang kacau” kataku mendesis. Marco melangkah ke arahku, mengulurkan tangan, lalu meletakkan tangannya di pipiku. Dia menatap lurus ke mataku, ada keseriusan dari matanya, ada kelembutan di dalamnya, sungguh tatapan yang tidak pernah aku kenal di dalamnya. “Debby, itu semua lebih dari sekedar itu, dan kau pun tahu itu. Karena jika memang tidak lebih dari itu, maka kita tidak akan merasakan sakit sebanyak ini. Jika tidak ada yang lebih dari itu, maka hatiku tidak akan hancur seperti sekarang, aku pasti tidak akan merindukanmu seperti dulu.  Semua itu menjadi lebih dari semua itu dalam hitungan minggu dan kita berdua tau itu. Debby, aku minta maaf karena telah menyakitimu, aku tidak pernah bersungguh-sungguh padamu. Kau lebih berarti bagiku dari yang kau ketahui. Aku mohon Debby, beri kesempatan untuk kita?” katanya sambil mengusap pipiku. Aku menghela nafas, memejamkan mata, dan bergerak ke dalam sentuhannya. Hatinya hancur? Mengapa? Bukankah untuk merasakan patah hati dia harus mencintai seseorang dulu? Dan kenyataannya adalah kalau dia tidak pernah  mencintai siapapun, tidak dengan cara seperti itu. “Itu semua bohong! Semua yang kau katakan pasti ada sangkut pautnya dengan Sekss. Kau tidak akan merasa cukup untuk sekedar patah hati” kataku dengan nada bergetar, merasakan air mata mulai menumpuk di mataku. Aku melihat rasa sakit yang luar biasa menembus matanya saat aku mengatakan kata-kata itu kepadanya. Marco melangkah mendekat, meletakkan tangannya di pinggulku, meraih tubuhku ke tubuhnya lalu menatapku. “Debby, aku merindukanmu seperti orang gila dan aku tahu kau juga merindukanku. Aku tidak pernah tahu kalau aku akan merasa sakit sebanyak ini, Debby. Apa kau tidak melihatnya?” bisiknya. Aku merasa nafasku tercekat di tenggorokan, jantungku mulai berdetak lebih cepat dengan cara dia menatapku, dengan hal-hal yang dia katakan padaku. “Lihat apa Marco? Kau dan aku tidak akan pernah bersama. Kau dan aku akan menjadi racun secara bersama, itu tidak akan pernah bertahan, yang ada kita akan berakhir saling menyakiti lagi,lagi, dan lagi. Jika itu terulang, aku tidak akan bisa mengatasinya. Jangan lagi Marc” kataku dengan air mata yang meluncur di pipiku. Aku mulai melemah di bawah sentuhannya, di bawah tatapannya. Dia meletakkan dahinya di dahiku, lalu mengambil nafas dalam-dalam. “Kau dan aku akan baik-baik saja bersama-sama Debby. Aku sudah selesai bermain-main, aku sudah selesai dengan urusan bercinta ke semua wanita, aku sudah selesai dengan menjadi seorang b******n yang menggunakan wanita, aku sudah selesai dengan semua itu, Debby. Aku tidak menginginkan semua itu, aku hanya menginginkanmu. Debby, kau telah mencuri hatiku tanpa aku sadari. Please baby, aku tidak ingin kehilanganmu.” Bisiknya. Apa yang coba dia katakan padaku? Aku ingin percaya padanya, aku benar-benar percaya, tetapi aku tidak berpikir kalau seseorang dapat berubah sebanyak ini hanya dalam waktu sebulan, itu tidak mungkin. Aku memejamkan mata, menggelengkan kepalaku dan menarik diri darinya tapi dia tidak pernah melepaskanku. Dia malah menarikku dengan kuat ke dadanya, memelukku dengan erat di tubuhnya. “Aku ingin percaya Marco, aku benar-benar ingin percaya. Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa? Seseorang tidak akan bisa berubah secepat itu.” Kataku. “Ya, tentu saja bisa.” Ucapnya berbisik, lalu membelai rambutku. “Apa yang bisa membuat seseorang berubah secepat itu?” aku menghembuskan nafas pelan-pelan. “Cinta.” Ucapnya berbisik. Tunggu dulu? Apakah dia baru saja mengatakan cinta? Tidak mungkin, pasti itu tidak benar. “APA?” tanyaku kaget. “Aku bilang, cinta bisa merubah orang sepat itu. Debby, aku tidak pernah menyadarinya sampai haya satu jam yang lalu. Aku tidak mengerti bagaimana aku bisa sangat merindukanmu. Aku jatuh cinta padamu, Debby.” Katanya berbisik. Pasti aku sedang bermimpi kan? Seorang Marco Henry William memberitahuku kalau dia mencintaiku? Aku menatapnya, memahaminya, dan menyadari bahwa apa yang baru saja dia katakan bersungguh-sungguh kepadaku. Aku tidak pernah menjawab, tapi sebaliknya aku mengulurkan tangan, menempelkan bibirku ke bibirnya, dia tidak pernah ragu-agu barang sejenak untuk membalas ciumanku. Aku melingkarkan tanganku erat-erat di lehernya, menekan diriku ke tubuhnya. Dia mengangkatku dari lantai dan aku melingkarkan kakiku erat-erat di pinggulnya. Aku tidak melepaskan ciuman itu sekalipun dia membawaku ke kamarku. Aku menarik diri dari bibirnya hanya untuk sesaat. “Aku pun mencintaimu.” Kataku sambil menarik nafasku yang terengah-engah. “Kau tahu?” dia bertanya dan aku mengangguk sebagai jawaban. Senyum terbesar pun terbit di wajahnya. Aku terkikik, lalu berbisik di telinganya “Marco, bercintalah denganku.” Bisikku di telinganya, seluruh tubuhnya pun menggigil. “Aku sudah merencanakannya sayang.” Katanya sambil mengerang, meletakkan aku di tempat tidurku. Ini gila. Ini tampak sedikit tidak nyata, dan aku berharap untuk setengah menjadi mimpi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN