POV Marco
Aku masih ada disini dengan semua orang. Debby membuat alasan untuk pulang sejak satu jam yang lalu. Dia mengirimiku pesan, memberitahuku kalau dia akan menungguku. Freya masih disini, meskipun jelas bagi semua orang kalau dia tidak ingin berada disini. Aku bahkan tidak tahu mengapa aku membawanya, karena menurutku dia adalah wanita jalang yang gila. Aku pikir aku hanya membawanya untuk membuat Debby cemburu, dan meskipun dia tidak mengakuinya, tetapi itu cukup berhasil. Tapi itu tidak sepadan dengannya, tidak sebanyak dia yang membuatku merasa kesal karena aku melihatnya main mata pada orang lain. ya, meskipun itu pada sepupu-ku, tapi tetap saja aku tidak suka.
Aku memikirkan tentang dia yang membuat kesepakatan padaku untuk saling bercinta, dan kita tidak diizinkan untuk bercinta dengan orang lain, tetapi dia selalu menggoda dan mencoba melanggarnya. aku yakin kalau aku mendengar mereka mengatur sebuah kencan.
"Bisakah kita pergi dari sini? kita sudah berjam-jam disini.. aku merasa bosan" ucap Freya mengeluh di sebelahku.
Aku memutar mataku, berbalik padanya. Habis sudah kesabaranku padanya.
"Kau bisa pergi sendiri dan membawa semua yang sudah aku berikan. Kau membuat kepalaku pusing. Pergi saja dan jangan repot-repot untuk kembali lagi karena kau tidak lebih dari seorang wanita jalang yang gila. Membuat kepalaku semakin pusing saja. kau hanya tau mengeluh, lalu sibuk dengan ponselmu untuk mengambil fotomu sendiri, lalu kau pergi untuk menerima telepon dari orang yang tidak tahu itu siapa. aku sudah selesai dan tidak lagi mempunyai urusan denganmu. sekarang pergilah!" ucapku mendesis marah dan terang-terangan mengusirnya.
Mendengarku berkata dengan nada agak sedikit meninggi, Freya tersentak, lalu bangun berdiri.
"Kau memang pria Brengsekk Marco. semoga kau berhasil menemukan seseorang wanita yang bisa bercinta denganmu seperti yang aku lakukan ketika bercinta denganmu Marco" uapnya menggeram marah.
"Sayang sekali. tetapi aku sudah menemukan siapa wanita yang akan aku ajak bercinta malam ini. Bahkan permainannya sangatlah lebih baik darimu" kataku dengan angkuh.
Dia mendengus seperti anak kecil, lalu menyentakkan kakinya berjalan pergi dari sini. aku tertawa dan menggelengkan kepalaku melihat kelakuannya yang kekanak-kanakan.
"Aku pergi dulu dari sini, Edward. Nikmati saja sisa-sisa malammu" aku tersenyum, lalu mengucapkan selamat tinggal pada semua orang sebelum aku pergi dari tempat ini.
Aku meraih ponselku dan mengirim pesan ke Debby.
Marco: Singkirkan semua penghalang yang ada di tubuhmu. Aku sedang dalam perjalanan. Sampai jumpa lagi penggoda kecilku.
Debby: Aku sungguh sudah tidak sabar, sayang. Pintuku terbuka. Kau bisa langsung masuk saja. aku akan ada di kamar menunggumu :)
Aku mengeluarkan erangan serak saat aku merasakan juniorku bergerak hidup. s**t! wanita itu bahkan tidak perlu sampai menyentuh tubuhku. hanya membaca pesan teks darinya saja sudah bisa membuatku siap untuk bertempur. Aku memanggil taksi, lalu bergegas menuju ke apartemen Debby. Aku sudah siap untuknya. Aku bahkan sudah siap untuknya sejak hari dia meninggalkan rumahku. Aku mampir ke rumahku untuk mengambil beberapa sampanye untuk kami.
Tak butuh waktu lama, aku sudah tiba di luar blok apartemennya, lalu aku memberikan beberapa lembar uang pada supir taksi itu. Aku sampai di depan pintu apartemen Debby, saat aku ingin mengetuk pintu itu, tiba-tiba saja aku ingat ucapannya yang memintaku untuk langsung masuk. Tanpa menunggu lagi, aku langsung masuk ke dalam lalu melepas sepatu dan jaketku di pintu depan sebelum mencoba mengingat dimana kamar tidurnya.
Setelah beberapa saat aku mencari kamarnya, akhirnya aku menemukannya lalu aku langsung saja masuk ke dalam. Pada akhirnya aku bertemu dengannya dalam keadaan meringkuk di tempat tidur, tertidur dengan lelap. Aku terkekeh pada diriku sendiri lalu meletakkan botol sampanye itu sebelum berjalan ke tempat tidur lalu naik ke atasnya. Aku berbaring di sampingnya, meletakkan tanganku di pinggulnya, memberikan ciuman lembut di bahunya. Dia mengerang, lalu berbalik menghadapku. Aku dengan susah payah menelan saliva ku saat aku melihat dia memakai lingerie yang sangat seksi.
“Hai” sapanya berbisik, suaranya terdengar seperti orang lelah.
“Hai” aku menyapanya kembali, membuat dirinya tertawa.
Aku mengulurkan tanganku, membiarkan ujung jariku menelusuri perut dan pinggulnya yang telanjang. Dia mengerang karena sentuhan jari-jariku, lalu memejamkan matanya sebagai tanda dia meresapi setiap sentuhanku.
Aku mendekat ke arahnya, meraih wajahnya diantara kedua tanganku sebelum aku meraih bibirnya ke bibirku dengan lembut. Dia tidak pernah merasa ragu-ragu barang sejenak, lalu kembali menciumku. Aku merasa tubuhku melemah di bawah sentuhan bibirnya. Itu hanya berlangsung beberapa saat sebelum dia menarik diri.
“Mengingat tentang kesepakatan yang kita buat tadi? Apa kau masih mau?” ucapnya bertanya.
“Ya” jawabu tanpa ragu sambil menganggukkan kepalaku.
“Apa kau yakin? Aku tahu betapa kau sangat suka bercinta di luaran sana Marco. Jika kau tidak bisa melakukan ini, segera beritahu aku sekarang. Aku tidak mau tidur dengan seorang pria yang tidur dengan banyak gadis di luaran sana, setiap malam” katanya memastikan pilihanku.
“Debby, aku bersungguh-sungguh. Percayalah denganku sekarang, aku akan baik-baik saja. Karena jujur saja sekarang, setiap wanita yang pernah aku bawa bersamaku sejak kami bertemu, aku selalu membandingkan dia pada dirimu. Tidak ada satupun dari mereka yang bisa memperlakukan aku seperti yang kau bisa” ucapku menyeringai lalu mengedipkan mata padanya.
“Yah, pastikan kau ingat dengan ucapanmu” katanya menyeringai dengan percaya diri.
“Bagaimana kalau kau memastikan aku mengingatnya?” kataku sambil menyeringai.
Dia terkikik, menggelengkan kepalanya sebelum mendorongku ke bawah, lalu naik di atasku, mengangkangiku. Bibirnya jatuh tepat di bibirku, menciumku dengan kasar, tangannya mendarat di bagian bawah perutku. Perutku segera menemukan jalannya ke lantai. Bibir Debby jatuh di leherku, mencium tubuhku. Aku menyukai rasa hangat bibirnya yang lembut di kulitku. Aku bisa merasakan merinding muncul dimana-mana karena tersentuh bibirnya.. aku mengerang dengan keras, bibirnya bergerak lebih jauh ke bawah tubuhku. Jari-jarinya jatuh pada pada kancing celana jeansku lalu membukanya.
Tangannya segera menarik semua pakaianku dari tubuhku, membukanya sekaligus dengan celana boxerku, sungguh dia benar-benar membuatku telanjang bulat di bawahnya sekarang. Aku menatapnya, menjilati bibirku dengan cara dia menatapku. Dia menyeringai sebelum aku merasakan lidahnya yang hangat berjalan di atas celah ujung juniorku.
“Fuckk!” kataku mendengus.
Debby segera memulai perlahan-lahan membawa milikku ke mulutnya, lidahnya berkeliaran seperti yang dia lakukan sekarang. Aku meraih ke bawah, mencengkram rambutnya di antara jari-jariku, membimbingnya naik turun dengan kecepatan yang aku inginkan.
Aku menggeliat di bawahnya saat dia memasukkan lebih dalam milikku ke mulutnya. Wanita itu tahu bagaimana menggunakan mulut dan tangannya itu. Tidak butuh waktu lama untuk dia menghabisiku. Klimakss yang kuat sungguh seperti merobek tubuhku. Dia menarik milikku keluar dari mulutnya, lalu berjalan kembali. Menekan tubuhnya ke tubuhku, dan menciumku saat dia menggulung pinggulnya ke tubuhku.
Debby melepaskan celana dalam yang dia kenakan di tubuhnya, duduk diatas perutku telanjang bulat, memberikanku pemandangan yang luar biasa dari tubuhnya yang seksi. Aku membiarkan tanganku mengembara di setiap inci tubuhnya, setiap inci lekuk tubuhnya. Tidak pernah membutuhkan waktu lama untuk membangunkan milikku, aku siap untuknya. Dia melingkarkan tangannya di sekitar juniorku, mengangkat pinggulnya sebelum membimbing dirinya ke atasku.
“Ya!” ucapnya mengerang. Kepalanya jatuh ke belakang saat milikku mengisi miliknya.
-
-
Debby dan aku sedang berbaring di tempat tidurnya setelah dua jam bercinta, aku dan dia merasa lemah dan terengah-engah. Dia bergerak meringkuk di sisiku, kepalanya bersandar di dadaku. Aku mematung sesaat sebelum melingkarkan tanganku di tubuhnya. Dia mencium dadaku dengan lembut sebelum matanya menatapku dan memberikanku senyuman indah di wajahnya.
“Untuk apa kau tersenyum?” tanyaku sambil tertawa.
“Kau menyukaiku? Kau lebih menyukaiku hanya sekedar seks” jawabnya menyeringai.
“Apa? Aku tidak” kataku merasa panik. Mengapa dia berpikir begitu?
“Ya, kau tahu itu, jadi berhentilah membohongi dirimu sendiri” katanya dengan terkikik.
“Kau sangat memikirkan dirimu sendiri, bukan?” aku tertawa.
“Oh, ayolah Marco. Kau tahu aku benar” ucapnya menyeringai lagi. “Tidak apa-apa, kau tidak perlu memberitahu, karena aku sudah tahu” imbuhnya.
Rasanya aku ingin memprotes sebelum dia bisa meraih bibirku dan membuat semuanya terlupakan.
“Kau akan tinggal atau pergi?” dia bertanya seolah bertingkah seperti apa yang baru saja dia katakan padaku tidak pernah terjadi.
“Aku akan tinggal, itupun jika kau tidak merasa keberatan?” ucapku bertanya.
“Ya, tidak apa-apa. Mungkin kita harus mencoba untuk mengenal satu sama lain. Akan lebih baik jika kita menghabiskan waktu bersama” ucapnya tersenyum padaku.
“Um.. baiklah” jawabku sambil menggaruk bagian leherku yang tidak gatal.
Mengenal satu sama lain? Aku tidak mengenal wanita manapun yang aku sukai, tetapi dengan Debby, aku mendapati diriku menginginkannya. Apakah apa yang diucapkannya benar? Apakah aku menyukainya lebi dari sekedar sekss? Tentu saja tidak? Itu tidak bisa terjadi.