POV Debby
Aku kesal.. sebenarnya aku sangat kesal, aku kehabisan kesabaranku. Kesabaran dalam menangani Marco tepatnya. Beraninya dia memukul Axel seperti itu? Beraninya dia berpikir kalau aku adalah miliknya. Bahkan Marco hampir mematahkan rahang Axel. Aku sudah membawa Axel pulang, memastikan dia baik-baik saja sebelum aku bergegas ke marco dan siap unuk mebunuh laki-laki bajingann itu. Ada baiknya bajingann itu siap karena aku sudah siap untuk memberinya pelajaran, bahkan kalau bisa un aku akan membunuhnya. Aku segera beranjak dan keluar dari dalam taksi, membayar supir tersebut dan langsung menuju ke apartemen Marco, lalu dengan tanpa hentinya, aku menggedor-gedor pintu itu.
Satu kali.. dua kali.. dan tiga kali sebelum akhirnya ketukan pintuku dijawab. Awalnya aku merasa biasa saja saat aku dengar bukan dia yang menjawab. Namun aku semakin mengernyitkan dahi karena ternyata yang menjawab ketukan pintu itu adalah seorang wanita, mungkin usia nya sekitar 19 tahunan.
“Dimana dia?” tanyaku menyerobot bertanya pada wanita di hadapanku.
“Siapa kamu?” dia mendesis melihatku dari atas hingga ke bawah.
“Siapa aku, itu bukan urusanmu gadis kecil. Sekarang katakan padaku, dimana Marco?” kataku sedikit tegas.
“Dia ada di kamar mandi sedang membersihkan dirinya sendiri” jawab gadis itu tersenyum padaku.
Apakah jalang kecil ini benar-benar tersenyum padaku sekarang?
“Aku tidak tahu apa yang kau senyumi gadis kecil, dia hanya akan memberitahumu untuk pipis sebentar lagi” kataku.
“Tidak, dia tidak akan melakukannya. Kami memiliki koneksi” jawabnya.
Aku tidak bermaksud menganggap ucapannya sebagai lelucon, tapi dengan kata-katanya, aku jadi tertawa terbahak-bahak. Satu-satunya koneksi yang mereka miliki adalah dk-nya yang ada pada dirinya, sungguh malang, gadis yang mudah tertipu.
“Kau benar-benar tidak mengerti. Dia hanya memanfaatkanmu. Itulah yang dia lakukan” kataku sambil menatapnya dengan simpatik.
“Dia tidak memanfaatkanku, kau hanya cemburu saja kan padaku?” jawabnya mendesis.
“Bukankah ini sudah lewat dari jam tidurmu gadis kecil?” kataku menerobos masuk melewatinya.
Aku sedang tidak mood untuk berdebat dengan gadis kecil bodoh seperti dia. Aku berjalan ke kamar mandi, lalu menerobos masuk. Aku bahkan tidak pernah mengumumkan diriku sendiri, sebaliknya aku mendorong pintu kamar mandi hingga terbuka.
“Apa masalahmu?” aku mendesis, membuatnya terperanjat dan malu. Ada baiknya kalau dia jatuh di bokongnya karena itu akan membuat hatiku sedikit lebih baik.
“Apa yang kau lakukan?” ucap Marco bertanya. Seringai licik pun muncul di bibirnya.
Aku harus mengepalkan tanganku di sisi tubuhku untuk menahan diri agar aku tidak meninju wajahnya yang terlihat sombong,bodoh,dan tampan. Aku merasa terganggu sejenak dengan keadaan dirinya yang benar-benar telanjang dalam keadaan tubuh yang basah di hadapanku.
Aku berulang kali mengedipkan mataku dan bertanya-tanya. Apa yang sedang aku lakukan? Aku datang ke sini bukan untuk melakukan hal yang m***m padanya.
“Apa yang sebenarnya kau lakukan? Kau meninju wajah pasangan kencanku dan kau hampir mematahkan rahangnya bodoh!” ucapku menggeram padanya.
Marco berdiri disana sambil menyeringai padaku, yang mana itu semakin membuatku marah.
“Jangan menyeringai padaku, dasar pria brengsekk sialan” kataku mendesis.
“Aku tidak bisa menahannya, kau sangat terlihat seksi ketika sedang marah, dan itu semakin membuat diriku bersemangat” ucap Marco berkata dengan sombong.
Dan benar saja. dia memang sangat bersemangat, miliknya yang keras sungguh sangat sulit untuk dilewatkan.
“Ditambah lagi teman kencanmu memang pantas untuk mendapatkannya, dia pria yang brengsekk!” katanya.
Bajingan? Bagaimana bisa Marco mengatakan kalau Axel b******n? Dia bahkan hanya berbicara pada Axel selama beberapa detik sebelum Marco meninjunya.
“Kau bahkan tidak mengenalnya. Kau tidak punya hak untuk melakukan hal itu padanya, dan kau pun tahu itu” kataku mendesis.
“Ya, aku tahu. Kau milikku Debby.. kau milikku sebelum kau menjadi miliknya” dia menggeram padaku.
Dan lagi dia mengatakannya. Aku tidak pernah benar-benar menjadi miliknya.
“Aku bukan milikmu dan AKU TIDAK AKAN PERNAH MENJADI MILIKMU. Ingatlah Marc, kau sendiri yang mengacaukan semua ini. Apa yang kau harapkan dariku ha! Apa kau berpikir kalau aku akan bersembunyi di tempat tidur dengan tangan yang memegang es krim lalu merajuk dan menangisimu untuk menunggu bujuk rayumu? Jangan mimpi” aku menggeram kembali, melangkah mendekatinya, tidak peduli aku kalau aku akan basah dengan pakaianku yang masih lengkap.
“TIDAK ADA YANG TERJADI ANTARA DIRIKU DENGAN WANITA BERGAUN MERAH ITU!” dia berteriak padaku.
Apakah dia mengatakan hal yang sebenarnya di hadapanku sekarang? Aku sendiri melihat kalau dia bersama dengan wanita itu, bahkan foto-foto itu aku pun melihatnya. Apa dia pikir kalau aku adalah wanita bodoh?
“APA KAU BENAR-BENAR BERPIKIR KALAU AKU AKAN PERCAYA DENGAN ITU SEMUA?” aku kembali berteriak lagi padanya.
Kami hanya berjarak beberapa inci, tidak perlu bagi kami untuk saling berteriak. Tetapi aku saat ini benar-benar sedang marah, dan ketika aku sedang marah, aku hanya akan terus berteriak dan berteriak. Aku jadi sedikit gila dan seperti seorang jalang pada saat aku sedang marah.
“Percaya atau tidak, itu adalah kebenarannya Debby, aku hanya sedang membantu seorang teman saja, tidak lebih” ucapnya sambil menghela nafas, lalu tangannya menggerakkan jari-jarinya ke rambutnya yang basah.
“Benar atau tidak kalau kau masih bercinta dengan jalang kecil di depan sana kan?” aku bertanya sambil mencoba untuk menenangkan diri.
“Kau yang memulainya duluan Debby” jawabnya.
“Aku tidak pernah bercinta dengan Axel, Marco. Malam itu adalah kencan ketiga kita. Bahkan aku sudah memutuskan untuk pergi malam itu, tapi kau dengan bajingannya menghancurkan itu semua dengan pergi bersama dengan jalang sialan itu”
Aku melihat seringai muncul di bibirnya ketika aku mengatakan itu padanya. Apa dia benar-benar ingin merasakan pukulan di mulutnya? Jika benar, maka dia akan mendapatkannya satu.
“Oh s**t!” dia menyeringai. “Bagaimana kalau ku benar bercinta dengannya? Apa kau merasa cemburu sayang?” imbuhnya berkata dengan sangat percaya diri.
Sumpah demi apapun laki-laki ini benar-benar delusi. Jika dia mengira aku cemburu pada seorang gadis ingusan yang dia perbuat karena dia marah padaku.. haha yang benar saja, mana mungkin aku bisa cemburu pada jalang kecil sepertinya. Aku tertawa dengan keras dan itu membuat seringai di wajahnya memudar.
“Cemburu padanya? Coba kau beritahu padaku, atas dasar apa aku cemburu pada jalang kecil yang masih ingusan? Apa kau menemukan sesuatu yang lebih istimewa di tubuh gadis itu sehingga kau dengan percaya diri sekali mengatakan kalau aku cemburu” kataku tersenyum remeh
padanya.
“Apa? Tentu saja karena dia bercinta denganku, untuk apa kau menganggapku?” ucapnya berkata dengan kesal padaku sama seperti yang aku lakukan beberapa saat lalu. Keheningan pun terjadi di antara kami saat kami saling menatap.
“Akui saja kalau kau memang cemburu. Kau datang kesini karena menginginkanku. Kau ingin aku bercinta denganmu. Kau tidak memnginkan pria bjingan itu Debby.. kau hanya menginginkanku” katanya sambil mengedipkan matanya.
Aku sudah cukup dengan ini semua. Aku melangka untuk mengangkat tanganku untuk menamparnya, tetapi saat sebelum tanganku mencapai wajahnya, dia meraih pergelangan tanganku. Aku kemudian mencoba untuk melakukannya dengan tanganku yang satunya, tetapi dia juga bisa meraihnya.
“Biarkan aku pergi!” aku mendesis padanya.
“Tidak!” jawabnya menggeram padaku.
“Lepaskan aku sekarang Marco” aku memekik. Wajah kami tampak beringsut lebih dekat. Langkah selanjutnya membuatku terkejut. Dia menarikku ke kamar mandi, mendorongku ke dinding, menjepit tanganku di atas kepalaku saat air dari shower membasahi tubuhku.
“Akui saja Debby. Kau datang kesini karena kau masih menginginkanku” ucapnya mendengus, menekan dirinya ke arahku.
Nafasku tercekat di tenggorokan, lenguhan pun keluar dari bibirku saat merasakan tubuh telanjangnya menempel padaku. Nafasku semakin berat, aku bisa merasakan diriku menjadi lemah. Marco mengulurkan tangan meraih tengkukku lalu menempelkan bibirnya di bibirku dengan kasar. Aku bahkan tidak pernah merasa ragu-ragu barang sejenak. Aku melingkarkan tanganku di lehernya dan membalas ciumannya dengan cara yang sama. Ciuman itu semakin lama semakin memanas. Rasanya ciuman itu seperti sebuah pelampiasan semua kemarahan yang ada pada kami. Aku meluapkan kemarahanku lewat ciuman itu, begitu juga dengan Marco, dan akupun mulai terangsang. Aku bisa merasakan kerasnya miliknya mengarah ke arahku, membuatku mengerang keras dan menjatuhkan kepalaku ke belakang.
Marco meraih bokongku, mengangkatku dari lantai, menjepit pinggulku ke dinding dengan miliknya, ujung jarinya pun meraih bokongku dengan kasar saat kami sedang berciuman. Aku mencengkram rambutnya dengan jari-jariku, menariknya kuat-kuat sampai dia meringis kesakitan di bibirku. Meskipun aku berbuat begitu, itu sama sekali tidak menghentikanya, ataupun berniat sedikit mendorongnya. Tangannya menyelinap di bawah gaunku yang sekarang basah kuyup karena ulahnya yang mendorongku ke bawah air pancuran. Marco meraih bokongku dengan kasar dan menekankan dirinya ke tubuhku dengan lebih keras.
Aku melepaskan jari-jariku dari rambutnya, lalu turun untuk mengusapkannya ke punggungnya. Lagi-lagi lenguhan pun kembali keluar dari bibirnya, lalu diikuti oleh geraman yang keras. Aku bisa merasakan diriku menjadi basah, dn rasa panas pun menjalar ke kedua kakiku.
“Aku akan bercinta denganmu sampai puas Debby” desisnya di bibirku.
Dengan kata-katanya barusan, aku ingat alasan untuk apa aku sampai datang kemari menemuinya, dan ini bukanlah hal yang seharusnya terjadi. Aku menarik diri darinya, menjatuhkan kakiku dari pinggangnya kembali ke lantai dan mendorongnya menjauh dariku.
“ITU TIDAK AKAN PERNAH TERJADI” teriakku di hadapannya.
“Kenapa? Bukankah itu sebabnya kau ada disini Debby, kau ingin aku bercinta denganmu bukan? Dan kalau memang tidak, kenapa kau mandi bersamaku?” tanyanya dengan sombong dan terengah-engah.
“Kau yang menarikku ke kamar mandi brengsekk!! Aku datang kemari bukan untuk bercinta dengan orang menjijikan sepertimu. Aku kemari untuk memberitahumu kalau kita sudah selesai untuk selamanya. Jauhi aku dan jangan pernah kau mengganggu atau mencampuri urusanku!!” kataku dengan tegas lalu pergi dari hadapannya.
Saat aku keluar dari kamar mandi, dia menarikku. Dia kembali menarikku ke dalam dirinya.
“Bukan itu tujuanmu kemari, sayang” ucapnya dengan nada kesedihan.
“Ya! Itu adalah tujuanku kemari Marc. Aku akan memulai hubunganku dengan Axel karena aku sudah tidak ingin lagi main-main. Aku sudah selesai dengan permainan ini. Aku sudah berusia 28 tahun, aku ingin memulai untuk menjalin hubungan yang serius dan kau tahu kalau kau tidak akan bisa melakukan itu Marco. Semoga hidupmu menyenangkan.”
Aku menarik diri darinya dan berjalan pergi. Marco tidak sama sekali mencoba untuk menghentikanku kali ini. Aku kembali ke ruang tamu menuju pintu depan.
“Apa-apaan ini? Apa kau baru saja bercinta dengan priaku?” jalang kecil itu mencoba menghentikanku.
“Priamu? Hahaha.. oh, sayang, dia bukan priamu , bahkan dia tidak tertarik padamu sedikitpun. Dia tidak hanya terpaku pada satu wanita, apalagi dengan gadis ingusan sepertimu. Dia akan mencoba bercinta denganku di kamar mandi, bahkan setelahnya dia akan mencoba bercinta denganmu di kamar. Kau lihat saja kebenarannya nanti dari priamu. Aku ada sedikit saran untukmu gadis kecil. Jauhi orang-orang seperti Marco, tidak peduli seberapa baik permainannya di ranjang, sungguh dia tidak layak untuk dirimu yang masih sangat polos. Aku hanya khawatir dia akan menghancurkanmu, memanfaatkanmu dan menghancurkan hatimu setelahnya. Bantulah dirimu sendiri sebelum semuanya terlambat. Aku hanya bisa memberimu saran, perkara kau mau menerima saranku atau tidak, itu terserah pada dirimu saja, yang penting aku sudah berusaha mengingatkan dirimu, seperti apa Marco orangnya.” Kataku menghela nafas lalu berjalan keluar dari apartemen Marco.
Saat aku sudah berada di luar, aku menangis. Aku tidak tahu mengapa aku menangis. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku bisa begitu marah padanya. Ya, bagian dari malam itu adalah omong kosong belaka yang terjadi pada kami minggu lalu. Aku tidak bisa terus-terusan seperti ini. Mereka semua menipu, berbohong, dan meniduriku semau mereka.
Aku pergi dan terus berjalan. Tapi entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang berbeda dari Marco. Aku tidak tahu itu apa. Aku sendiri tidak tahu, apakah barusan aku membuat keputusan yang baik atau keputusan yang buruk dalam hidupku?