POV Debby
Adel dan Edward meringkuk di salah satu kursi, seolah menjadi pasangan yang manis, sungguh terlihat cukup memuakkan. Marco dan aku berada di sofa, di ujung yang berlawanan. Kami tidak banyak bicara setelah apa yang terjadi di kamar mandi. Mungkin dia memiliki pemikiran yang sama padaku, bahwa ada hal yang tampaknya berubah di antara kami, perlahan-lahan tapi pasti.
“Marco, apa kau punya pasangan kencan di acara amal bola di akhir pekan depan?” tanya Edward.
"Belum. Aku bahkan tidak ingin melakukan hal bodoh itu karena aku tahu orang-orang akan melihat aku seperti yang selalu mereka lakukan.. penghakiman mutlak di mata mereka, tetapi aku harus melakukannya untuk membuat orang tuaku bahagia dan tidak menjauh dariku” jawab marco terdengar kesal.
Aku tetap memperhatikan film sambil mendengarkan apa yang mereka berdua katakan. Lalu apa yang akan terjadi dengan kesepakatan aku dan Marco? Seharusnya aku tahu kalau kesepakatan itu tidak akan mungkin bertahan lebih lama, karena jujur saja Marco buka tipe orang yang berkencan tanpa melakukan hubungan badan. Aku memutar mataku. Yah, aku rasa sementara itu terasa menyenangkan.
“Ya, kau harus membuat mereka bahagia” ucap Edward tertawa.
“Oh.. kenapa kau tidak mengajak Debby saja? Dia dan aku bisa menemani satu sama lain saat kau pergi untuk melakukan apa pun yang kau lakukan di acara itu” Kata Adel penuh dengan semangat.
Aku memalingkan wajahku menghadap Adel dan memelototinya. Aku tidak percaya dia akan melakukan hal itu padaku. Aku bergerak tidak nyaman di sofa, tidak tahu harus kemana aku membuat diriku kembali merasa nyaman.
Mengapa Adel berpikir kalau Marco akan membawaku ke acara itu bersamanya? Aku yakin kalau Marco sudah memiliki wanita yang akan dia ajak ke acara amal itu, wanita yang memiliki gaya hidup yang sama dengan dia. Kini aku merasa semua mata tertuju padaku, memaksaku untuk berbalik dan menghadap ke arah mereka. Mataku jatuh pada Marco yang sedang menatapku dengan seringai di bibirnya.
“Itu ide yang bagus. Debby maukah kau menjadi pasangan kencanku untuk acara amal minggu depan?” Ucap Marco bertanya dengan tersenyum.
“Um... oke... aku rasa itu kedengarannya tidaklah buruk” Jawabku dengan gugup sambil mengacak-acak rambutku saat dia menatapku.
“Kalau begitu, itu sudah ditentukan. Apakah kau punya gaun?” tanya-nya lagi sambil tersenyum.
“Aku punya banyak gaun, hanya saja aku tidak punya gaun yang cocok untuk dipakai ke acara mewah. Mungkin kau harus mencari pasangan lain yang lebih cocok” jawabku sambil mengindikkan bahu.
“Jangan mengkhawatirkan masalah gaun. Aku akan membelikannya untukmu” ucapnya tanpa menghilangkan sedikitpun senyum di wajahnya.
“Apa?! Tidak.. tidak.. itu tidak boleh terjadi. Kau tidak perlu membelikanku gaun atau hal yang lain apa pun itu. Aku akan membeli sendiri gaun yang akan aku pakai” kataku terdengar seperti tersinggung dengan apa yang baru saja dia katakan padaku.
Aku terbiasa mandiri dan sangat keras kepala, aku tidak akan membiarkan siapa pun membelikanku apa pun itu. Aku sangat yakin sekali kalau aku tidak akan membiarkan seorang pria yang hanya bercinta denganku membelikanku sesuatu.
“Tidak.. tidak.. aku akan tetap memberikanmu gaun untuk kau enakan ke acara amal besok. Anggap saja itu adalah caraku berterima kasih.” Ucapnya berkata dengan sangat manis dan aku kembali menggelengkan kepalaku lagi dan lagi, hal itu membuat mereka semua menertawakanku.
“Berhentilah keras kepala Debby.. kau tinggal pilih saja. Kau ikut denganku dan memilih gaun mana yang akan kau kenakan atau aku yang akan memilihkan gaun untukmu. Kau tinggal pilih, jadi berhentilah bersikap keras kepala” ucapnya yang sepertinya mulai kesal dengan sikap keras kepalaku.
“Ok, Fine!” jawabku mendengus kesal sambil melipat tangan didepan dadaa dan bertingkah seperti anak kecil yang tengah merajuk.
“Ok, terima kasih” ucapnya berkata dengan sombong. Jelas sekali dia senang dengan dirinya karena berhasil menang berdebat denganku.
Aku memutar malas mataku ke arahnya, memutar kepalaku sebelum aku berpaling darinya dan mengabaikannya.
“Ok, kita semua bisa pergi berbelanja besok sebelum kau berangkat bekerja Debby” kata Adel sambil bertepuk tangan sangat bersemangat.
“Ya, aku rasa begitu” ucapku sambil mengindikkan bahu.
“Oh.. berhentilah seolah kau tidak bersemangat untuk hadir di pesta itu, Debby. Aku sangat tahu kalau kau sangat menyukai gaun, pesta, apalagi berbelanja” jawab Adel dengan terkikik.
“Ya, terserah!” kataku sambil menjulurkan lidah padanya.
Senyum pun perlahan-lahan terbit di bibirku.
Semua orang kembali mengalihkan perhatian mereka ke film yang sedari tadi di putar. Aku melihat Marco bergerak dari sudut mataku, mendekatiku sampai berada di sampingku, lalu kakinya menyentuh kakiku. Aku menoleh padanya, lalu mengangkat alisku.
“Ada yang bisa aku bantu?” tanyaku sambil terkikik.
“Ya. Aku ingin ciuman” jawabnya menyeringai.
“Tidak! Itu tidak boleh terjadi.. tidak di depan Adel dan Edward” ucapku sambil tertawa.
“Sepertinya mereka tidak akan peduli. Ayolah Debby, aku tahu kau juga mau” ucapnya dengan seringai menggoda.
Aku menggelengkan kepalaku, berpaling darinya dan dia malah meraih telingaku lalu berbisik.
“Ada apa? Apa ada yang salah? Apakah karena kau tahu jika kau memberikanku ciuman, aku akan membuatmu ingin melakukan semua hal yang nakal itu padaku? Mmm.. aku jadi tidak sabar untuk pergi berbelanja untuk membeli gan besok. Mungkin aku bisa membantumu keluar masuk untuk mencoba gaun itu, menyelinap dari mereka lalu dengan cepat menyelipkan tanganku di seluruh tubuhmu di ruang ganti” ucapnya mengerang di telingaku.
Aku meremas pahaku, aku bisa merasakan hawa panas merambat naik di kakiku. Aku merasakan nafas hangatnya menggelitik leherku sebelum bibirnya menyentuh kulitku. Memberikan sensasi ciuman seperti kepakan sayap kupu-kupu di tubuhku. Aku memejamkan mata dan mengerang pelan. Marco terkekeh melihat ekspresiku, lalu menarik diri dariku, meninggalku tergantung dengan hasrat, sungguh bajingann sekali. Lihat saja, aku akan mendapatkan dia kembali untuk itu.
-
-
“Bisakah ceritakan lebih banyak tentang acara amal bola ini padaku?” ucapku bertanya pada Marco saat aku menanggalkan pakaian untuk mengenakan piyama tidurku.
“Apa yang ingin kau ketahui?” ucapnya berbalik bertanya padaku.
Acara menonton film pada malam hari pun berjalan dengan lancar. Marco akhirnya meninggalkan aku sendiri, itu mungkin akan sedikit lebih lama, sedangkan Adel dan Edward, mereka sudah sama-sama terangsang oleh film yang mereka tonton lalu pergi menghilang ke kamar.
“Apakah ada acara tertentu yang harus aku ketahui untuk aku bersikap? Seperti aturan mungkin? Atau hal yang lainnya” kataku bertanya saat dia sudah kembali.
“Tidak ada. Kau hanya perlu menjadi dirimu sendiri. Aku tidak ingin kau bertingkah seperti orang lain demi untuk menyenangkan hati mereka semua. Mengenai aturan. Ini adalah acara amal Debby, bukan kamp pelatihan” jawabnya sambil tertawa.”Kau akan baik-baik saja, percayalah. Mungkin kau akan menjadi BELLE OF THE BALL” imbuhnya sambil tertawa padaku lalu mengedipkan matanya.
“Bisakah kau menjadi pria yang manis lagi?” kataku sambil tertawa dan menggelengkan kepalaku.
“Diam” ucapnya berkata sedikit kesal.
“Hei!!” kataku sambil cemberut dan merasa sedikit terganggu meskipun dia asi setengah telanjang di depanku.
Aku menggoyangkan tubuhku untuk menghentikannya. Aku ingin menyelesaikan percakapanku dengannya setidaknya sebelum aku menaikinya. Aku memunggunginya di saat aku melepaskan celana dalamku sambil menarik baju tidurku ke atas kepalaku.
“Agak terlambat untuk merasa malu di sekitarku sekarang bukan?” ucapnya tertawa.
Aku menoleh ke arahnya menyeringai.
“Aku ingin kita segera menyelesaikan percakapan kita yang sebenarnya untuk sekali ini sebelum kita saling merobek pakaian Marco” jawabku terkekeh.
“Fine!” dia mendengus seperti anak kecil, membuatku tertawa lebih keras lagi.
Marco duduk di tempat tidurku saat aku duduk di meja riasku untuk membersihkan sisa make up ku meskipun hanya make up yang ringan. Aku ingin menjaga wajahku agar terhindar dari noda. Aku bisa melihatnya dari cermin bahwa dia tenga mengawasiku dengan cermat saat dia bersandar di tempat tidur dengan hanya mengenakan celana boxernya. Dia sangat mengganggu. Aku memejamkan mata, melepas riasanku, mengikat rambutku menjadi bentuk kuncir kuda yang terlihat berantakan. Setelah aku selesai, aku membuka mataku dan melihat dirinya yang masih menatapku. Sungguh dia terlihat berbeda dengan tampilan seperti ini. Dia membasahi bibir bawahnya dengan lidahnya saat dia menatapku.
“Ada apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanyaku dengan terkikik.
“Kenapa tadi kau memakai riasan Debby?” ucapnya balik bertanya.
Itu pertanyaan yang aneh menurutku
“Tentu saja karena aku membutuhkannya” jawabku sambil terkikik.
“Kau benar-benar tidak cocok memakai riasan. kau cocok lebih terlihat cantik secara alami” katanya. Nada lembut yang dia ucapkan membuat wajahku memerah karenanya.
Aku sering kali disebut seksi, mempesona dan lain-lain. Tapi aku tidak pernah mendengar ada yang mengatakan kalau aku cantik secara alami. Aku memberinya senyum malu-malu, dan itu sukse membuatnya tertawa. Dia perlahan berdiri dari tempat tidur lalu berjalan mendekat ke arah belakangku, matanya tidak meninggalkan mataku sedikitpun. Aku menggerakkan bokongku dan kembali menatapnya. Perlahan aku berdiri dan berbalik menghadapnya. Dia meraih pinggulku, menggenggamnya dengan lembut di tangannya dn menarikku lebih dekat padanya. Dia mengulurkan tangan menggerakkan ibu jarinya di pipiku. Aku menghela nafas dan bergerak ke dalam sentuhannya.
“Kau sangat cantik” ucapnya berbisik di telingaku.
Aku bisa merasakan kalau wajahku memerah lagi karena ucapannya dan menggelengkan kepalaku sebagai tanda kalau aku tidak setuju. Ya, aku harus percaya diri, kenapa harus tidak. Tetapi pada akhirnya aku hanyalah seorang wanita biasa, semua orang pasti punya penilaian dan pendapat menurut mereka masing-masing, begitu juga dengan masalah, semua orang pasti memiliki masalahnya sendiri dan tau bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah mereka.
Dia tidak lagi mengucapkan sepatah kata pun, bahkan sebaliknya, dia mengulurkan tangannya lalu menempelkan bibirnya di bibirku. Ciuman itu terasa sangat berbeda. Jika biasanya dia memagut bibirku dengan kasar dan menuntut, kali ini dia melakukannya dengan sangat pelan dan sangat lembut. Dia membimbingku dengan perlahan menuju ke tempat tidur kami, membaringkanku lalu tubuhnya menghimpit tubuhku dari atas tubuhku.
“Aku akan membutuhkan waktu untuk berubah menjadi yang lebih baik lagi untukmu” ucapnya berbisik pelan. “Tidak apa-apa kan?” imbuhnya bertanya dan yang hanya bisa aku lakukan adalah menganggukkan kepalaku.
Segala sesuatu tentang malam ini sangat berbeda.