Bab 10. OM Mau Nikah dengan Mamaku?

1070 Kata
Sepanjang rapat sore ini, Bella memilih untuk diam. Padahal Fitri mengeluarkan bahasan yang sangat penting. Sejak perusahaan mereka diakuisisi oleh Alan, penjualan tas, dompet dan sepatu semakin meningkat. Pria itu memang selalu bisa membuat perusahaan yang dia kendalikan menjadi berkembang pesat. Semua itu adalah hasil didikan sang nenek yang telah mempercayakan semua perusahaan di bawah Mahardika grup mereka menghasilkan untung yang banyak. Sejak terakhir bicara tadi, mata Alan tidak lepas dari Bella. Apa pun yang dilakukan perempuan dia tahu semuanya. Saat Bella memutar balpoin, Bella yang menarik napas panjang hingga Bella yang merapikan rambutnya. Bella menyadari hal ini, tetapi tetap berusaha seolah-olah Alan tidak memperhatikannya. Sore itu, Fitri meminta semua desainer merancang produk terbaru sebanyak mungkin karena permintaan yang meningkat dan mereka harus terus bekerja hingga akhir pekan ini. Yang Bella dengar hanya bagian ini saja, harus membuat desain sebanyak-banyaknya. Hal lain yang disampaikan Fitri tidak lagi dia dengarkan. Perempuan itu sudah membatalkan rencana pengunduran dirinya karena ditolak oleh Alan. Mau tidak mau dia masih harus bekerja di perusahaan itu dan harus terus menghadapi pandangan sinis yang selalu tertuju padanya karena sikap Alan yang terlihat sekali sangat membela Bella. Padahal dia sudah menampar pacar dari Alan, tetapi dia tidak bersalah di mata pria itu. Selesai rapat, semua kembali ke ruangannya, termasuk Bella. Dia memilih untuk keluar lebih dulu dan tidak mempedulikan pandangan dari desainer lainnya. Saat tiba di ruangannya, Bella kembali fokus pada desain yang sedang dia gambar di buku sketsa sampai waktunya dia pulang menjemput Hadi. Saat yang paling membahagiakan untuk Bella adalah bertemu lagi dengan anaknya setelah bekerja seharian. Wajah anak itu dihujani oleh ciuman di semua bagian oleh mamanya. “Kamu capek enggak sih, Nak, MAma tinggal di sini?” tanya Bella saat mereka berjalan pulang ke apartemen. “Enggak, Ma, karena di sana banyak yang bisa aku kerjakan selain bermain.” “Pasti kamu sibuk dengan lego yang ada di sana, kan?” tebak BElla yang tahu kebiasaan anaknya. “Iya, aku juga terus berlatih supaya bisa bermain rubiq dalam waktu lebih cepat.” Hadi di usianya yang sekarang memang terlihat lebih cerdas dari anak seusianya. Dia lebih tertarik bermain lego dan rubiq daripada bermain mobil-mobilan. “Malam ini kita makan apa, Ma?” “Kamu mau makan apa, Sayang?” “Aku mau sup. Mama mau kan masakin sup buat aku?” “Sup? Ok, kalau gitu kita belanja dulu di supermarket yang ada di dekat apartemen.” Bella mengajak Hadi ke supermarket membeli bahan makanan untuk dimasak malam itu. Kemudian, mereka pulang ke rumah. Dia biarkan Alan bermain sendiri di kamarnya. Sementara itu, Bella masih sibuk memasak. Mereka makan bersama malam itu. Terkadang Bella menyuapi Hadi, tetapi tidak jarang juga anak itu makan sendiri tanpa dibantu. “Tidur, yuk!” ajak Bella selesai makan malam dan Hadi masih bermain di kamarnya. “Ayo, Ma.” Hadi merapikan mainannya lalu mengajak Bella ke tempat tidur yang sama. Anak itu tertidur dalam pelukan Bella dan mereka sudah terbiasa berdua seperti itu. Pada akhir pekan Bella mengirim pesan pada Fitri. Bella Mbak, kalau aku ngajak anak ke kantor boleh enggak? Aku janji dia enggak akan merepotkan. Fitri Boleh, Bella. Kantor juga sepi kalau hari libur, kan? Bella Ok, makasih ya, Mbak. Nanti aku akan minta anakku menunggu di ruangan kerjaku. Bella tersenyum lega. Langkah kakinya terasa ringan karena bisa membawa Hadi ke kantor. Dia membantu anak itu bersiap. “Senang enggak Mama ajak ke kantor?” “Senang banget, berarti aku bisa lihat apa yang Mama kerjakan di kantor.” Keduanya pergi ke kantor dengan taksi. Hadi sudah tidak sabar untuk segera tiba di kantor Bella. Anak itu berdecak kagum melihat kantor sang mama saat mereka sudah tiba. Bella membawa Hadi ke ruangannya. “Kamu tunggu di sini ya, Sayang. Mama mau rapat dulu di ruangan lain. Jangan ke mana-mana, ya.” “Ok, Ma.” Hadi tetap berada di ruangan kerja Bella selama sang mama rapat. Pada saat itu Alan tiba di kantor bersama asistennya karena ada yang harus dia kerjakan di perusahaan itu. Penting dan tidak bisa ditunda sampai Senin. Hadi yang tiba-tiba kebelet keluar dari ruangan itu, tetapi dia tidak tahu letak toilet di kantor itu. Saat mengedarkan pandangan, dia melihat Alan berjalan semakin dekat. Hadi pun menghampirinya. “Om, aku mau ke toilet, bisa enggak Om nganter aku ke sana?” Alan menatap ke arah Hadi lalu dia berpikir, “Anak siapa ini yang dibawa ke kantor?” Pria itu berjongkok di depan Hadi. “Mau ke toilet? Ayo Om antar.” Alan merasakan perasaan aneh saat bertemu dengan Hadi. Perasaan yang sulit untuk dijelaskan, tetapi dia merasa senang bisa mengantarkan anak itu ke toilet. Selesai dari toilet, Hadi melihat bayangan wajahnya dan Alan di sana. “Om, wajah kita mirip, ya?” Hadi hanya mengatakan apa yang dia lihat saja. Tidak terpikir apa pun tentang itu. “Oh ya, bener ya, wajah kita mirip.” Hanya sebatas itu saja. Keduanya keluar dari toilet, tetapi sebelum berpisah, Hadi menarik tangan Alan. “Om, mau enggak menikah dengan mamaku? Kakek bilang aku harus mencarikan suami untuk mama.” Hadi tersenyum lebar. “Nama kamu siapa?” “Hadi Wiratama.” Alan teringat pada Bella karena mereka memiliki nama belakang yang sama. Seorang ibu tunggal pasti akan menggunakan nama keluarganya untuk sang anak. “Kalau mamamu mau, Om mau menikah dengannya.” “Om, serius?” “Iya.” Tiba-tiba Bella datang dari arah lain dengan wajah khawatir. “Hadi!” teriak Bella. Dia mencari anaknya karena saat Bella kembali ke ruangan Hadi tidak ada di sana sehingga dia berputar mencari anaknya sampai menemukannya di depan toilet. “Mama!” Bella memeluk Hadi dengan erat karena masih khawatir dan takut anaknya hilang. “Kamu kok enggak ada di ruangan Mama, Sayang?” “Aku kebelet, Ma, terus aku lihat ada Om ini. Jadi, aku minta diantar ke toilet.” Bella melihat pada Alan. Wajahnya sudah tidak sekhawatir tadi. “Terima kasih, Pak Alan. Maaf kalau anak saya sudah merepotkan.” “Oh, tidak masalah.” Kemudian, Bella membawa Alan pergi, Alan masih terus menatap kepergian dua orang itu. “Menarik.” Satu kata yang diucapkan pria itu lalu lanjut berjalan menuju ruangannya. Ketika sudah sampai di ruangannya, melihat Hadi sedang bermain di mejanya, Bella menyadari jika wajah Hadi dan Alan memang mirip. “Ah, mungkin karena mereka sama-sama memiliki wajah yang tampan sehingga mereka terlihat mirip,” batin Bella, tetapi tidak melanjutkan pikiran sesaatnya tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN