Bab 7. Mencarikan Papa

1038 Kata
Bella pamit pergi ke sebuah supermarket. Hari itu dia ingin memasak di rumah papanya. Karena sebelumnya dia dan Hadi tidak akan menginap, perempuan itu membeli pakaian ganti untuknya dan anak laki-lakinya. Bella ingin masak masakan sederhana buat siang dan malam nanti. Sedangkan untuk sarapan besok, dia akan membeli bahan makanan di hari esok. Melihat kebaikan hati sang papa, dia memutuskan untuk pulang pada hari minggu siang. Selesai belanja, Bella kembali ke kediaman sang papa. Saat itu Hadi, anaknya sedang bermain lego bersama kakeknya. Bella menghela napas. "Beli mainan lagi? Mainanmu sudah banyak di rumah, Nak," protes Bella saat melihat lego baru yang dimainkan sang anak. "Pa, tolong jangan manjakan Hadi dengan mainan, ya," pinta Bella pada sang papa. Dia tidak mau anaknya terlalu sering dibelikan mainan. "Sudah, Bella enggak apa-apa. Papa baru ketemu dengan cucu Papa. Jadi, Papa ingin memberikan hadiah. Papa janji tidak akan memanjakan Hadi dengan mainan." Bella menuju dapur untuk memasak. Sementara sang papa mengasuh cucu dengan perasaan sangat bahagia. Di usianya yang sekarang, Bella memang sudah pantas menikah dan memiliki seorang anak. Perempuan itu sibuk di dapur selama hampir dua jam. Dia memasak tiga menu untuk orang dewasa dan dua menu untuk anaknya. Selesai memasak, Bella menata semua makanan di meja. "Mainnya udahan dulu, ya. Kita makan siang. Masakan sudah matang." Bella menuju ruang tengah untuk mengajak papa dan anaknya makan. Di umurnya yang empat tahun lebih saat ini, Hadi sudah bisa makan sendiri tanpa dibantu oleh Bella karena dia tidak pernah memanjakan anak. Perempuan itu melatih anaknya terbiasa mandiri. "Makan yang banyak ya, Hadi." Wiratama tersenyum menatap cucunya yang pandai makan sendiri. "Tentu saja, Kek. Masakan Mama Paling enak. Sayang sekali kalau tidak dihabiskan." Siang itu meraka makan dengan obrolan hangat seputar kehidupan yang mereka jalani. Selesai makan, Bella merapikan meja dan mencuci semua piring. Saat itu Wiratama mengajak cucunya untuk tidur siang. Bella duduk di ruang tengah lalu menyalakan TV. Tak lama kemudian, Wiratama keluar dari kamar dan menghampiri Bella. Duduk di sofa yang sama. "Aku belum melihat suamimu. Di mana dia?" tanya Wiratama dengan santai. Rasa penasaran pada kehidupan Bella selama lima tahun terakhir sudah sampai ubun-ubun. "Aku belum menikah, Pa." Wiratama menatap heran pada anaknya. Bagaimana bisa dia memiliki anak, tetapi belum menikah. Kehidupan seperti apa yang dijalani Bella selama ini? "Apa? Terus bagaimana Hadi bisa lahir?" Bella menarik napas panjang sebelum bercerita. Kejadian malam itu membuatnya trauma sehingga merasa sakit jika harus mengingat kejadian itu. "Aku pernah tidak sengaja tidur dengan seorang pria dan aku tidak mengenal pria itu. Ternyata aku hamil. Enggak bisa minta tanggung jawab pada siapa pun. Aku rawat Hadi dengan baik sampai waktunya dia dilahirkan." Sakit hati Wiratama mendengar cerita dari anaknya. Betapa berat hidup yang harua dijalani Bella saat hamil dan melahirkan tanpa suami. Kemudian menjadi orang tua tunggal dan tinggal di luar negeri. Bulir bening mendesak untuk keluar dari kedua matanya. Pria itu memegang kedua tangan anaknya. Menatap dengan penuh kasih sayang. "Maafkan Papa karena sudah mengusirmu waktu itu. Papa marah besar setelah mendengar cerita dari Eka. Sejak kepergian kamu, Papa sangat menyesal. Eka pun sejak itu tidak pernah datang ke sini lagi." Membayangkan Bella harus bertahan sendirian membuat air mata Wiratama semakin deras. Perempuan itu tidak mau membahas soal Eka. Hanya akan membuat hatinya terasa semakin sakit. Sebisa mungkin dia akan menghindar dan melupakan teman yang sudah membuat luka di hatinya. Bella menghapus air mata di pipi sang papa. "Semua sudah berlalu dan sudah menjadi masa lalu, Pa. Sekarang kita jalani hidup untuk masa depan yang lebih baik. Jujur dulu aku pernah terpikir untuk bunuh diri, tetapi kehadiran Hadi membuatku semakin kuat dan aku berjanji akan membesarkannya dengan baik dan memberikan dia hidup yang layak." Dari matanya Bella terlihat optimis. "Ya, itu benar. Terus sekarang kamu sudah punya teman dekat atau pacar yang akan menjadi sosok pengganti papanya Hadi?" Wiratama sangat berharap untuk ini. Dia ingin Bella tidak membesarkan anak sendirian. Bella menggelengkan kepala. "Enggak ada, Pa. Aku tidak ada rencana mencari suami. Aku hanya ingin hidup bahagia bersama dengan Hadi dan sekarang bersama Papa." Pria itu menatap Bella dengan segenap perasaannya. Perempuan yang duduk di sampingnya ini harus mendapatkan pendamping hidup yang mau menjaganya dan Hadi serta merawat mereka dengan baik selamanya. Pada malam harinya, setelah makan malam dan bermain. Wiratama menemani Hadi tidur malam. Sebelum anak itu tertidur dia mengatakan sesuatu. "Hadi mau punya papa?" "Aku mau, Kek, tapi Mama belum pernah cerita tentang Papa." "Carikan Papa buat Mama, maka kalian akan hidup bahagia. Kasihan mama harus hidup sendirian menjaga dan mengurus kamu." Wiratama tersenyum penuh arti. "Iya, Kek. Aku juga mau memiliki papa seperti teman-temanku. Aku akan mencarikan papa buat mama." Karena sudah lelah bermain, Hadi cepat tertidur pada malam itu. Keesokan harinya, Bella pulang dari belanja. Dia ingin memasak sarapan pagi itu buat meraka. Aroma masakan membuat Hari menghampiri meja makan saat Bella sedang menata makanan di meja. "Mama, aku lapar banget. Sudah boleh makan?" "Boleh, Sayang, tapi cuci tangan dulu, ya. Kan habis main lego." "Ok, Ma." Bella pun mengajak papanya sarapan bersama. Hari itu meraka berada di sana sampai siang hari lalu dia mengajak Hadi pulang ke rumah setelah makan siang. "Sering-sering main ke sini. Papa bakalan kangen sama kalian." "Iya, Pa. Nanti kalau Hadi libur sekolah aku ajak ke sini." "Atau kalian mau pindah ke sini? Eh, tapi, ya sudahlah. Sering-sering aja ke sini, ya!" Bella pulang naik taksi. Dia tidak mau merepotkan sang papa untuk mengantar karena besok masih harus kerja. Di dalam mobil Bella tersenyum puas karena pertemuan dengan papanya berjalan dengan baik. Sementara itu, di rumah Eka. Dia terpikir untuk mendatangi Alan ke kantornya. Dia pun menghubungi pria itu untuk memberi tahu soal ini. "Halo, Alan." "Ya, Eka. Ada apa?" "Aku mau main ke kantormu, apa boleh?" tanya Eka dengan hati-hati. "Boleh. Nanti kabari saja mau datang jam berapa agar bisa diantar supir. Aku enggak bisa jemput kamu karena aku punya kesibukan." "Oh, ok. Enggak apa-apa kok aku bisa pergi sendiri." Eka tersenyum senang setelah menutup panggilan telepon. Dia memang sengaja akan mengunjungi Alan ke kantor untuk menarik perhatian pria itu. Perempuan itu tidak sabar untuk datang ke kantor besok hari. Dia pun mulai memilih pakaian yang akan dia kenakan besok ke kantor Alan. Rasa rindunya pada pria itu sudah tak terbendung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN