Bab 8. Marah pada Eka

1091 Kata
Hari yang dijalani Bella dan Hadi masih sama esoknya. Pagi hari dia mengantar Hadi dan menitipkan anaknya selama bekerja. Setelah itu dia akan pergi ke kantor untuk bekerja. Sampai saat ini, Bella masih belum memutuskan untuk tinggal bersama papanya meskipun Wiratama sudah memaafkan dan menerimanya dengan baik. Bella hanya ingin tinggal berdua dengan anaknya sampai nanti. Pekerjaan Bella hari itu cukup menyita waktu dan perhatiannya. Selain mengerjakan desain tas untuk pesanan. Dia juga mengerjakan desain untuk mengikuti kompetisi yang diadakan di kantornya. Yang Bella dengar hadiah dari kompetisi itu adalah dua ratus juta. Jika nanti dia bisa memenangkan kompetisi, Bella akan menyimpan uang tersebut untuk biaya pendidikan Hadi. Sampai mendekati jam makan siang, dia masih sibuk dengan desainnya. Sebuah ketukan di pintu membuat Bella menghentikan pekerjaannya. Dia pun menoleh ke arah pintu. Ada sosok Fitri di sana. Perempuan itu pun masuk ke ruangan Bella dan duduk di hadapannya. “Makan siang bareng, yuk. Belum ada teman makan siang, kan?” Tebakan Fitri benar, Bella belum terpikir soal makan siang karena sibuk dengan desainnya. “Sudah masuk jam makan siang, Mbak? Yuk. Mau makan di mana?” Bella menutup buku sketsanya lalu dia simpan dalam laci. Keduanya beranjak dari ruangan itu meninggalkan kantor untuk makan siang di luar. Sebuah restoran dekat kantor dipilih Fitri untuk makan siang bersama Bella dengan menu soto betawi. Mereka duduk berhadapan dia sebuah meja yang kosong. “Sudah ada bayangan mau bikin desain apa buat kompetisi?” tanya Fitri sambil makan siang. “Sudah, Mbak, baru kepikiran tadi sih. Masih desain kasar aja. Mudah-mudahan pekan ini sudah beres.” Bella sangat antusias mengikuti kontes. Dia merasa kesempatan untuk menang itu ada dan dia harus melakukan yang terbaik untuk itu. Fitri senang melihat Bella yang begitu semangat dengan kompetisi ini. “Aku harap kamu yang menang karena kamu memang memiliki kemampuan untuk itu, membuat desain terbaik dengan hati. Itu yang bikin karya kamu berbeda dengan yang lain.” Bella tersipu mendengar pujian dari Fitri. Dia memang selalu begitu. Mendesain dengan sepenuh hati. Setiap tas yang dia rancang terlihat indah, mewah, elegan dan selalu memikat. “Mbak, jangan bikin aku terbang nih karena dipuji sama Mbak.” Bella dan Fitri tertawa bersamaan. “Tapi, aku serius loh, Bella.” “Ya, ya, terserah Mbak aja. Makasih buat dukungannya untuk aku ya, Mbak, aku anggap itu sebagai doa dari teman dan atasan yang baik.” Bella tersenyum penuh arti. Selesai makan siang, mereka pun kembali ke kantor. Pada saat yang bersamaan, Eka sudah tiba di kantor Alan dengan diantar oleh supir. Tadinya dia ingin mengajak pria itu makan siang bersama di dekat kantor, tetapi Alan lagi-lagi menolak dengan alasan ada jadwal makan siang dengan klien. Akhirnya, Eka makan siang sendirian. Perempuan itu masuk ke lobi kantor lalu berjalan ke meja informasi. Perempuan itu sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Alan dan berusaha memikat hatinya lagi. “Permisi, Mbak, apa Pak Alan sudah ada di ruangannya?” tanya Eka pada karyawan di meja informasi. “Sepertinya Pak Alan masih di luar. Ibu sudah membuat janji?” “Sudah. Saya Eka, apa Pak Alan sudah bilang ke Mbak soal janji kami?” Eka berusaha bersikap ramah. “Ibu Eka, ya? Tadi Pak Alan menitipkan pesan untuk Ibu menunggu saja di ruangannya. Langsung saja ke lantai 20 ya, Bu.” Mendengar ucapan perempuan itu, Eka tersenyum. Dia merasa senang karena Alan sudah memintanya menunggu. Perempuan itu meninggalkan meja informasi tanpa mengucapkan terima kasih. Namun, saat akan berjalan, Eka mendengar suara tawa dari dua orang perempuan. Dia mengenal suara salah satu dari perempuan itu. Eka pun berbalik karena merasa penasaran apa benar itu suara dari perempuan yang dia pikirkan? Atau hanya halusinasinya saja karena dia sangat berharap tidak akan bertemu dengan Bella lagi. Eka terkejut melihat sosok Bella bersama Fitri berjalan memegang gelas kopi berjalan semakin dekat padanya. “Bella?” Tidak hanya Eka yang terkejut. Bella pun merasakan hal yang sama. Dia tidak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan Eka di tempat yang tidak lain adalah kantor tempat dia bekerja. “Mau apa perempuan itu ke sini?” tanya Bella dalam hati. “Jangan-jangan Bella kerja di sini, bukankah itu artinya dia bekerja di perusahaan Alan? Artinya mereka sudah kenal satu sama lain? Bahaya ini.” Eka sibuk dengan pergulatan batinnya sendiri. Perempuan itu pun memasang wajah tidak bersahabat. “Hai, Bella, lama enggak ketemu.” Bella dan Fitri menghentikan langkah saat Eka menyapa. Fitri menoleh pada Bella meminta penjelasan siapa perempuan yang sudah menyapanya itu. “Dia pernah jadi temanku, Mbak, tapi kami udah enggak berteman lagi sejak lima tahun yang lalu.” “Oh ya, aku ke ruangan dulu ya, Bel.” Fitri menepuk pundak Bella lalu berjalan menuju ruangannya. “Mau ngapain kamu ke sini, Eka?” tanya Bella dengan nada tidak bersahabat juga. Dia ingin sekali menendang perempuan itu keluar dari kantornya, tetapi dia masih belum tahu apa maksud kedatangan perempuan itu. Sekilas dia melirik tas yang dibawa Eka. Dia kenal desain tas itu dan itu adalah tas yang dia rancang. “Dari mana dia bisa beli tas mahal itu?” batin Bella bertanya-tanya karena dia tahu Eka tidak memiliki uang sebanyak itu. “Aku? Kamu tanya aku mau ngapain? Kamu tahu kan siapa direktur di perusahaan ini? Dia adalah pacarku.” Eka langsung mengaku agar Bella terkejut dan tidak berani untuk melawannya. Seketika Bella merasa kasihan pada Alan karena memiliki pacar seperti Eka. Dalam pikiran Bella pasti perempuan itu sudah meminta banyak uang dari Alan untuk membeli tas dan pakaian mahal karena pakaian yang dikenakan Eka saat ini terlihat bukan barang murah. Di sisi lain, dia juga merasa benci pada Alan yang mengajaknya menikah padahal dia sendiri memiliki pacar. “Oh, pacar Pak Alan? Iya, iya, kalau begitu aku balik ke ruangan dulu. Banyak kerjaan.” Bella malas berurusan dengan Eka. Saat Bella hendak berjalan ke ruangannya, Eka menghentikan Bella. “Tunggu, aku masih ada urusan dengan kamu.” Bella tidak jadi berjalan ke ruangannya. Sementara itu, Eka melangkah mendekati Bella. Dia dekatkan bibirnya pada telinga Bella. “Kalau misalnya semua orang di perusahaan ini tahu kamu pernah tidur dengan pria sembarangan di kelab, apa pandangan mereka pada kamu nanti? Bukannya karirmu akan hancur karena semua melihat kamu seperti p*****r?” Ucapan Eka membuat Bella naik pitam. Dia tampar pipi perempuan dengan keras dan meninggalkan bekas di sana. Beberapa orang yang ada di sana dan melihat kejadian ini terkejut karena Bella berani menampar pacar dari bos mereka. Eka akan membalas apa yang dilakukan Bella padanya, tetapi suara bariton seorang pria yang marah terdengar di telinganya. “Hentikan!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN