Bab 9. Salah Paham

1638 Kata
Namun, kebahagiaan yang sederhana itu tiba-tiba berubah menjadi kekacauan tak terduga. Tiba-tiba seorang yang tergesa-gesa datang membawa minuman tanpa sengaja menabrak dengan keras, membuat gelas besar berisi es teh lemon tumpah ke arah Liona. Minuman dingin itu langsung mengenai pakaian Liona, menyiram tubuhnya dengan cepat dan merusak kemeja putih yang baru saja ia beli beberapa hari lalu. "Astaga, saya sangat minta maaf!" Orang itu tampak panik, berusaha mengelap tumpahan, tetapi justru membuatnya semakin berantakan. Liona menatap pakaian yang kini basah kuyup, merasa kesal dan malu. Meski ia berusaha tersenyum dan menghibur diri, rasanya tidak mudah untuk bisa tetap tenang setelah kejadian itu. “Tidak apa-apa, kok,” jawabnya, berusaha menahan emosi. Wirya, yang sejak awal hanya diam melihat kejadian itu, segera berdiri dan menghadap pelayan yang masih tampak cemas. “Tidak masalah, tapi kamu harus hati-hati. Liona, kita pulang saja. Aku rasa kamu perlu ganti pakaian.” Liona hanya mengangguk. Ia merasa tidak enak, tapi lebih merasa risih dengan keadaan pakaiannya yang sudah basah. Mereka pun segera meninggalkan bioskop dan menuju mobil Wirya. Setibanya di rumah Wirya, Liona langsung masuk ke dalam dengan langkah cepat, berusaha untuk tidak terlalu memikirkan kejadian tadi. “Aku mandi dulu ya, Om,” ujarnya. “Silahkan,” jawab Wirya dengan lembut. “Aku akan ambilkan pakaian yang nyaman untukmu.” Liona berjalan ke kamar mandi, membuka pintu dan segera memasuki ruang mandi yang sudah dipenuhi dengan uap panas. Ia merasa lega bisa membersihkan dirinya, tetapi saat ia mulai melepas pakaiannya, sebuah suara terdengar dari sudut kamar mandi, suara yang membuat Liona membeku sejenak. Seberkas bayangan hitam melintas dengan cepat di lantai, dan begitu ia menatapnya, jantungnya langsung terhentak. Itu adalah kecoa, berukuran besar, yang tiba-tiba muncul dari celah dinding. Liona hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dengan refleks, ia langsung menjerit keras, "Akh! Kecoa ...!" Tubuhnya gemetar ketakutan. Dengan panik, ia segera menggenggam handuk mandi yang tergantung di dekatnya dan melilitkannya ke tubuhnya, berusaha menutupi dirinya. Ia berlari keluar dari kamar mandi dalam keadaan hanya mengenakan handuk, tubuhnya yang basah oleh uap dan air membuatnya semakin panik. Kaki Liona tergelincir sedikit karena ia terburu-buru keluar, dan tiba-tiba tubuhnya terjatuh ke depan. Seakan berada dalam mimpi buruk, ia mendapati dirinya menabrak seseorang yang berdiri di luar kamar mandi. "Uh!" Liona berteriak pelan, terhuyung ke depan. Tangan Wirya, yang berusaha menghampiri untuk memastikan Liona baik-baik saja, langsung meraih tubuhnya dengan reflek. Ia berusaha menjaga agar Liona tidak jatuh dengan kepala terbentur, namun dalam kekhawatiran itu, mereka justru berdua terjatuh ke lantai. Tiba-tiba, kedua tubuh itu terjerembab ke lantai dengan keras. Wirya, yang tak sempat menghindar, jatuh di atas tubuh Liona dan juga mendaratkan sebuah ciuman tepat di bibir Liona, membuat mereka berdua terhenti dalam posisi yang sangat canggung, berpelukan di lantai. Liona bisa merasakan nafas Wirya yang hampir menyentuh kulitnya dan detak jantungnya yang tiba-tiba terasa lebih cepat. Liona masih terbaring, bingung dan terkejut, sementara tubuhnya yang hanya tertutup handuk terasa lebih rentan. Namun, suasana tiba-tiba berubah ketika terdengar suara pintu terbuka di luar kamar tidur. “Ayah? Liona?” suara itu terdengar jelas. Pintu kamar tidur terbuka lebih lebar, dan sosok yang masuk adalah Ryan, yang tiba-tiba muncul begitu saja. Keduanya langsung menoleh, terkejut. Liona merasa wajahnya terbakar karena malu, sedangkan Wirya berusaha dengan cepat bangkit, meski sedikit terhuyung. Mereka berdua langsung berdiri dengan buru-buru, mencoba menutupi diri dari pandangan Ryan yang baru saja datang. Ryan memandang mereka dengan tatapan yang terbelalak, kecewa juga curiga. "Apa yang kalian lakukan?" “Ryan! Kita tidak melakukan apa-apa,” kata Wirya cepat, sedikit gugup. Ryan mengangkat alis. "Apa Ayah sadar dengan apa yang Ayah lakukan? Siapa yang percaya? Liona sedang—" "Sudahlah, Ryan. Keluar sana, kita bicara di luar dan biarkan Liona memakai pakaiannya dengan nyaman," potong Wirya. Wirya berbalik untuk menatap Liona yang sedang menutupi tubuhnya dengan handuk. "Liona, kamu mau ganti pakaian dulu, kan? Aku akan keluar dulu, Sayang." Liona mengangguk cepat. “Iya, aku akan ganti pakaian dulu.” Wirya langsung menjatuhkan kecupan singkat di kening Liona yang membuat Ryan dan Vina melotot, tapi tidak berlangsung lama karena Wirya langsung mendorong mereka keluar dan membiarkan Liona sendiri tidak masuk akal. *** Liona mengatur napasnya. Itu pasti tentang Vina, adik tirinya, yang selalu mengadukan semuanya. Baru saja Liona ingin mengambil cangkir teh di meja samping tempat tidurnya, suara ketukan pintu terdengar. “Liona, turun sekarang!” suara Doni terdengar dari balik pintu, keras dan jelas. Liona berdiri, menghela napas dan menuruni tangga perlahan. Hatinya berdebar, tetapi ia tidak ingin terlihat ragu. Sesampainya di ruang tengah, ia melihat Doni sudah duduk di sofa dengan wajah penuh ketegasan. Di sampingnya, Vina duduk dengan wajah angkuh. Liona bisa melihat bagaimana adiknya itu tampak tidak sabar, mungkin sudah tidak sabar memberitahu ayahnya. Doni menatap Liona dengan mata yang menyala penuh kekhawatiran dan amarah. “Liona,” katanya, suara bergetar, “Vina melihat sesuatu tadi. Sesuatu yang sangat … tidak pantas.” Liona menatap Doni tanpa berbicara, menunggu kelanjutan kata-kata itu. Doni menatapnya tajam. “Vina bilang, dia melihat kamu dan Wirya berduaan di kamar, tanpa pakaian apa pun! Apa benar itu?” Liona merasa darahnya seperti berhenti mengalir sejenak. Sekilas ia bisa melihat Vina yang menghindari pandangannya. Keduanya tak lagi bisa menutupi ketegangan yang mencengkeram udara di ruang tamu itu. Liona menghela napas panjang, menenangkan dirinya. Di dalam hatinya, ia tahu Doni akan marah, tetapi ia juga tahu tidak ada yang perlu ia sembunyikan. Dengan hati-hati, Liona menjawab, “Ya, itu benar, Ayah. Tapi ada penjelasan untuk itu.” Doni langsung berdiri, wajahnya merah karena marah. “Penjelasan apa lagi? Apa kamu benar-benar tidak tahu apa yang sedang kamu lakukan? Apa kamu pikir ini baik-baik saja? Apa yang akan orang lain pikirkan kalau tahu tentang ini?” Liona menatap ayahnya dengan tatapan teguh, berusaha tidak tergoyahkan. “Ayah, dengarkan dulu. Aku dan Om Wirya tidak melakukan apa yang Ayah pikirkan. Kami tidak melakukan hal yang salah. Kami hanya berdua di kamar karena aku harus mandi.” Doni membeku, matanya semakin tajam. “Mandi? Kamu bilang mandi? Dengan keadaan seperti itu? Kamar yang dimaksud, kamar Wirya dan kamu tidak merasa ada yang salah?” Liona bisa merasakan amarah yang mendidih di d**a ayahnya, tapi ia tidak merasa bersalah. Ia sudah siap dengan penjelasannya. “Ya, Ayah. Aku mandi karena aku ketumpahan minuman di bioskop tadi. Orang yang menabrakku tidak sengaja menumpahkan minumannya dan bajuku basah juga. Aku harus berganti pakaian. Om Wirya yang menemani aku ke kamar untuk ganti baju karena dia memang ada di sana. Itu semua hanya karena kecelakaan.” Doni terdiam, matanya terpejam sejenak seolah mencoba meredakan amarahnya yang meluap. Liona menunggu, merasakan ketegangan semakin menebal di antara mereka. Tapi, tidak ada yang membuat Doni lebih tenang. Wajahnya justru semakin muram. “Liona, kamu benar-benar membuatku kecewa. Kamu tahu betul bahwa tidak ada seorang pria pun yang pantas berada sekamar dengan perempuan tanpa alasan yang jelas, apalagi jika itu hanya berdua. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.” Liona merasa kesal, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. “Ayah, aku mengerti kekhawatiranmu, tapi apa kamu benar-benar berpikir bahwa aku tidak bisa mengendalikan diriku? Aku hanya ganti baju. Tidak ada yang lebih dari itu.” Doni menatapnya dengan tatapan penuh kecurigaan. “Tapi apa kamu tahu betapa buruknya gambaran itu? Apa kamu pikir aku bisa tinggal diam jika orang lain tahu tentang ini? Orang-orang akan berpikir yang buruk tentang kita, tentang kamu.” Liona mengalihkan pandangannya ke Vina, yang kini menundukkan wajah, tampak sangat tidak nyaman. Liona tahu betul siapa yang telah melaporkan kejadian itu pada ayahnya. “Apa kamu pikir aku khawatir tentang apa yang orang lain pikirkan, Ayah?” ujar Liona dengan nada yang sedikit lebih tinggi. “Aku tidak melakukan apa pun yang salah. Dan jika itu yang kamu khawatirkan, aku sudah memutuskan untuk hidup dengan cara yang aku pilih.” Doni menatap Liona dengan kekeliruan. “Kamu tidak mengerti, Liona. Apa yang kamu lakukan itu akan mencoreng keluarga ini.” Liona mengangkat wajahnya dengan penuh keyakinan. “Aku mengerti lebih baik dari yang kamu pikirkan, Ayah. Aku dan Om Wirya sudah saling mencintai. Kami sudah mengenal satu sama lain. Dan Ayah tahu apa? Besok, Om Wirya akan melamarku.” Kata-kata itu seperti pukulan yang menghantam wajah Doni. Wajahnya berubah menjadi pucat sejenak. Vina menoleh ke arah Liona dengan mata terbelalak, seperti tidak percaya. Doni, yang tadinya sudah kesal, kini tampak kebingungan dan sedikit tercengang. “Kamu serius?” suara Doni bergetar, mencoba memproses apa yang baru saja didengarnya. Liona mengangguk dengan percaya diri. “Ya, Ayah. Kami sudah berbicara panjang lebar dan kami sudah siap untuk menikah. Tidak ada yang perlu disembunyikan lagi. Kami akan menikah dan itu keputusan yang kami ambil bersama-sama.” Liona tidak merasa takut. Ia tahu apa yang ia rasakan dan apa yang ia inginkan. Mungkin itu keputusan besar dan mungkin bagi Doni, itu terlalu cepat. Tetapi bagi Liona, itu adalah langkah yang pasti. “Ayah,” lanjut Liona dengan suara yang lebih lembut, “Aku ingin kamu menerima ini. Aku tidak akan mundur. Ini bukan keputusan yang tergesa-gesa dan aku tahu apa yang aku lakukan.” Doni menundukkan kepala dan untuk sesaat, Liona bisa melihat betapa beratnya perasaan ayahnya. “Aku … aku tidak tahu harus berkata apa,” akhirnya Doni berkata, suara serak. “Tidak apa-apa, Ayah,” jawab Liona. “Aku harap Ayah bisa mengerti, itu yang paling penting.” Doni tidak langsung menjawab, tetapi tatapannya tetap menyiratkan kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam. Vina yang ada di sampingnya tidak bisa berkata apa-apa, hanya diam dengan ekspresi yang sulit dibaca. Liona menatap ayahnya dengan penuh tekad. “Kami akan menikah, Ayah. Besok, Wirya akan melamarku. Dan aku berharap kamu bisa mendukung keputusan kami, meskipun kamu tidak setuju. Bukan aku bersikap lancang, hanya saja, aku cuma memberitahu, bukan meminta izin. Ini sebanding dengan luka yang aku terima juga kerugian mental yang disebabkan oleh anak kesayangan Ayah."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN