Akhir pekan itu terasa berbeda bagi Liona. Biasanya, hari-hari ia habiskan dengan beristirahat atau pergi bersama Ryan, namun kali sekarang ia memilih untuk menghabiskannya dengan Wirya, namun Liona merasa ada sesuatu yang menarik dalam diri Wirya, sesuatu yang tidak pernah ia sadari sebelumnya.
Mereka berdua melaju di jalanan kota yang masih tampak sepi meskipun matahari mulai condong ke barat. Suasana di dalam mobil terasa nyaman, meskipun Liona tetap merasa sedikit canggung. Ia tidak bisa sepenuhnya melupakan kenyataan bahwa Wirya adalah ayah dari Ryan, pria yang dulu sempat sangat dekat di hatinya, hingga perpisahan mereka yang pahit beberapa waktu lalu.
Namun, Liona perlahan mulai melupakan kesedihan itu, digantikan dengan perasaan aneh yang muncul setiap kali matanya tak sengaja bertemu dengan Wirya. Duda tampan itu kini memandangnya dengan senyum yang lebih santai, tidak seperti dulu yang selalu tegang dengan perasaan malu. Wirya tampak begitu percaya diri dan Liona tak bisa menahan diri untuk sesekali mencuri pandang padanya.
“Jadi, apa rencanamu untuk akhir pekan ini?” tanya Wirya dengan suara tenang, memecah keheningan yang sempat melingkupi mereka.
Liona menggeleng, berusaha tetap tenang meski hatinya berdetak lebih cepat dari biasanya. "Mungkin nonton film, hanya itu. Aku rasa itu cukup untuk melepas penat."
Wirya tersenyum dan menyetujui ide tersebut. "Baiklah, aku juga butuh melupakan sejenak rutinitas. Film apa yang ingin kamu tonton?"
Liona menyebutkan beberapa judul dan akhirnya mereka sepakat untuk menonton film drama romantis. Sementara mereka melaju menuju bioskop, Liona tak bisa berhenti melirik ke arah Wirya. Ia baru menyadari betapa tampannya pria paruh baya itu. Wirya sudah berusia lebih dari 40 tahun, tetapi pesonanya tetap memancar. Wajahnya yang tegas dengan rahang yang kokoh dan mata yang tajam membuat Liona merasa terpesona, meskipun ia berusaha untuk tidak terlalu menghiraukannya.
Rasa tertarik yang semula timbul karena niat balas dendam pada Ryan, kini mulai berubah. Liona merasa aneh, merasa seolah-olah ia berada di jalur yang tidak pernah ia rencanakan. Apakah ia tertarik pada Wirya? Atau apakah perasaan itu hanya sebuah cara untuk melupakan Ryan? Liona tidak yakin. Namun, yang jelas, hari itu sesuatu mulai berubah dalam dirinya.
Setelah membeli tiket, mereka duduk di dalam bioskop yang hampir kosong. Hanya ada beberapa pasangan yang menikmati film, sementara Liona dan Wirya duduk di pojok belakang, dengan layar besar yang memutar cerita penuh emosi.
Selama film berlangsung, Liona merasa hatinya tersentuh oleh sikap Wirya. Meskipun mereka baru saja lebih dekat, Wirya memperlakukannya dengan begitu hangat dan perhatian. Sesekali, tangan Wirya menyentuh tangan Liona dan meskipun sentuhan itu sekilas, rasanya begitu berarti. Saat film mencapai puncak emosi, Wirya menggenggam tangannya dengan lembut, seolah ingin memastikan bahwa Liona tidak sendirian dalam merasakan segala perasaan itu.
Liona menoleh ke arah Wirya. Wajahnya terlihat serius, namun dalam pandangan matanya ada kelembutan yang membuat Liona semakin terpesona. "Terima kasih," bisiknya pelan.
"Untuk apa?" tanya Wirya, tanpa melepaskan pandangannya dari layar.
"Untuk … untuk membuatku merasa begitu dihargai," jawab Liona, sedikit terbata-bata.
Wirya tersenyum, menatap Liona dengan tatapan yang penuh makna. “Kamu tidak perlu berterima kasih. Setiap orang berhak mendapatkan perlakuan baik, apalagi seseorang sepertimu.”
Liona merasa tersentuh lagi. Kata-kata itu menyentuh lebih dalam daripada yang ia duga. Meskipun ia berusaha untuk tetap berpikir jernih dan rasional, perasaan hangat di hatinya mulai menguasai. Dalam pikiran Liona, Wirya bukan lagi sekadar ayah dari mantan tunangannya, tetapi seorang pria dengan hati yang besar, yang bisa memberinya rasa nyaman yang selama ini ia cari.
Film berakhir, dan mereka berjalan keluar dari bioskop, diiringi senja yang menambah kehangatan suasana. Liona merasa agak kikuk, tetapi Wirya, dengan cara yang tenang, membuatnya merasa seperti pulang ke rumah setelah lama terombang-ambing.
Di luar gedung bioskop, Wirya berhenti sejenak. “Liona,” katanya, memanggilnya dengan nada lembut. “Ada sesuatu yang ingin aku katakan.”
Liona menoleh, sedikit terkejut. “Apa itu?”
Wirya mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jasnya, membuka penutupnya perlahan, dan menunjukkan sebuah cincin berlian yang cantik. “Ini adalah lamaran kecil dariku. Tapi ini bukan lamaran resmi. Besok, aku akan melamarmu di hadapan orang tuamu.”
Liona menatap cincin itu dengan mata terbelalak. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ini terlalu cepat, pikirnya. Terlalu mendalam untuk sebuah hubungan yang baru dimulai. Namun, di sisi lain, ada rasa bahagia yang tak bisa ia pungkiri.
“Kenapa sekarang?” tanyanya, suaranya bergetar.
Wirya mengangkat alisnya, memandangnya dengan lembut. “Karena aku tahu kamu tidak akan punya kesempatan bahagia di rumah itu, Liona. Aku sudah cukup lama merasakan hidup sendirian dan aku ingin mencoba sesuatu yang baru. Sesuatu yang nyata. Sesuatu yang bisa membuatku merasa hidup lagi.”
Liona menunduk, menyadari betapa seriusnya pria di depannya. Perasaannya yang semula bingung kini berubah menjadi keraguan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Namun, saat cincin itu disematkan di jarinya, ada sebuah perasaan baru yang tumbuh. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sesuatu yang mungkin akan mengubah hidupnya.
“Tapi, aku—” Liona berusaha berkata, tetapi Wirya menyela dengan lembut.
“Kita punya waktu, Liona. Aku tidak terburu-buru. Tapi aku ingin kamu tahu, aku serius dengan perasaan ini.”
"Memangnya Om sudah mencintaiku?"
***
"Vina, ayo kita pergi ke rumah Ayah," ujar Ryan dengan suara tenang, meski hatinya berdebar-debar. "Aku ingin kita memastikan semuanya tetap baik-baik saja, seperti dulu. Hubungan kita tidak akan berubah."
Setelah hubungan Wirya dan Liona terungkap, ada banyak keluhan dari Vina yang dilontarkan pada Ryan. Ungkapan ketakutan bahwa hubungan mereka akan hancur ketika nanti Liona menikah dengan Wirya, karena Vina takut Liona ingin balas dendam melalui Wirya dan bisa memerintahkan Wirya untuk melakukan apa pun agar hubungan mereka hancur.
Vina, yang duduk di sampingnya, tampak ragu. "Aku tidak tahu. Rasanya aneh aja kalau harus datang ke sana sekarang. Aku tahu ayahmu sedang bahagia, tapi—"
"Aku paham," kata Ryan, menyela dengan lembut. "Tapi kita harus yakin, Vina. Kita tidak bisa terpengaruh sama hubungan mereka."
Sedangkan Ryan, yang sebenarnya juga ragu jika hubungan yang akan terus bertahan dengan Liona yang tiba-tiba menjalin hubungan dengan ayahnya, mendoktrin dirinya sendiri dan berpikir semua akan baik-baik saja ke depan.
Vina menghela napas pelan, dan akhirnya mengangguk. "Kalau kamu merasa kita perlu bicara sama ayahmu, ayo kita pergi."
Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah Wirya. Semakin mereka mendekati rumah, semakin hati Ryan terasa berat. Perasaan cemas mulai muncul kembali.
Saat mereka sampai di depan rumah, Ryan terkejut melihat pintu depan rumah sedikit terbuka. Pintu itu tidak terkunci seperti biasanya dan suasana sekitar tampak berantakan.
“Aneh,” gumam Ryan. “Ayah biasanya selalu pastikan pintu terkunci. Apa mungkin dia lupa?”
Ryan melirik ke arah samping, ada mobil ayahnya yang terparkir di sana itu menandakan kalau dia tidak kemana-mana, mungkin saja Wirya lupa untuk menutup pintunya, pikir Ryan.
Vina menatap pintu itu dengan bingung. “Mungkin, tapi kenapa pintunya bisa terbuka begini?”
Memang aneh, tidak seperti biasanya yang pintu selalu tertutup, mau ada Wirya di rumah ataupun tidak ada. Tapi Ryan tidak ingin ambil pusing dengan kebiasaan ayahnya, seperti yang dipikirkan sebelumnya, mungkin saja ayahnya lupa.
Ryan menatap rumah itu lebih lama, sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk. “Mungkin Ayah sedang terlalu sibuk di rumah,” katanya mencoba menenangkan diri dan Vina. Tapi perasaan tidak nyaman tetap menggantung di udara. Mereka berdua melangkah pelan masuk ke dalam rumah.
Sesuatu yang aneh terasa menggelayuti atmosfer rumah itu, meskipun tidak ada yang tampak mencurigakan. Namun, begitu mereka melangkah lebih dalam, suara berisik tiba-tiba terdengar dari dalam, suara benda terjatuh, diikuti dengan suara rintihan samar-samar yang semakin jelas.
Ryan menoleh ke Vina, matanya berkerut. “Kamu dengar itu, kan?” tanya Ryan dengan suara pelan.
Vina mengangguk, wajahnya mulai menunjukkan kebingungan. “Iya. Apa itu? Kenapa ada suara begitu?”
Suara itu berasal dari arah kamar tidur Wirya, tempat yang selalu dianggap sebagai ruang pribadi ayahnya. Tanpa berkata apa-apa, Ryan mulai melangkah ke arah kamar tersebut, merasakan degup jantungnya semakin kencang. Apa yang terjadi di dalam? Kenapa ada suara seperti itu?
Namun, semakin mereka mendekati kamar, suara itu semakin jelas terdengar desahan lembut dan suara benda jatuh. Ryan merasa cemas, tetapi rasa penasaran membuatnya terus berjalan. Begitu mereka sampai di depan pintu kamar, Ryan memegang gagang pintu yang sedikit terbuka, tanpa berpikir panjang, ia menarik pintunya.
Dan apa yang mereka lihat di dalam membuat darah Ryan serasa membeku.
Di dalam kamar itu, ayahnya sedang berada di bawah dengan posisi yang membuat mereka berpikiran macam-macam, menindih Liona yang hanya mengenakan handuk. Liona, yang tampak begitu rapuh dan tidak menyadari kedatangan mereka, sedang menghadap ke Wirya. Sementara itu, Wirya, dengan tangan yang terulur, memeluk Liona dengan penuh kehangatan.
Matanya terbuka lebar, jantungnya berdebar sangat kencang. Tidak tahu harus berkata apa, ia hanya berdiri di sana dengan mulut yang ternganga, tidak bisa bergerak. Melihat Wirya dan Liona berciuman.
Vina, yang berdiri di samping Ryan, juga terdiam. Wajahnya memucat, ekspresinya begitu bingung dan terluka. Seakan dunia mereka langsung hancur saat itu juga melihat pemandangan di hadapannya.
“Ayah? Liona?” Ryan akhirnya bisa bersuara, tapi suaranya terdengar sangat pelan, seolah-olah ia takut jika suara itu bisa menghancurkan kenyataan yang baru saja ia lihat.
Liona, yang merasa malu, langsung memalingkan wajahnya, berusaha bangun dari bawah dan mengencangkan handuknya, sementara Wirya mencoba untuk beranjak dari bawah dengan cepat karena sudah pasti mereka berdua berpikiran macam-macam.
“Apa yang kalian lakukan?” Ryan bertanya dengan nada yang sulit dikendalikan. Tangan Ryan gemetar dan dia merasakan cemas yang menyelimutinya. Ia merasa seperti seluruh dinding kepercayaannya runtuh begitu saja.