Bab 7. Tak Ikhlas

1572 Kata
Setelah mengantar Liona pulang, kata-kata Wirya terus terngiang-ngiang di telinganya. "Kita berdua menemukan kenyamanan satu sama lain. Aku tahu ini mungkin berat, tapi kami ingin melanjutkan hubungan ini." Kalimat itu terus berputar dalam pikirannya, membuat Vina merasa seperti dipermainkan. Seolah-olah segala hal yang selama itu dia anggap sebagai miliknya, terutama Ryan, kini telah lepas dari genggamannya begitu saja. Ia selalu merasa bahwa dia yang lebih pantas mendapatkan pengakuan, kasih sayang dan status sebagai bagian dari keluarga Wirya. Tetapi kenyataan yang dia dengar siang tadi membuat semua ilusi itu hancur berantakan. Liona, kakak tirinya yang selalu terlihat sempurna, lebih cantik, lebih pintar, dan lebih menarik di mata banyak orang, termasuk Wirya. Tidak hanya itu, Vina juga baru mengetahui bahwa Ryan, tunangannya yang selama itu dia anggap sebagai "cinta sejati" ternyata bukan anak kandung dari Wirya. Ryan hanya anak angkat, yang bahkan tidak memiliki ikatan darah dengan keluarga Wirya. Itu membuat Vina merasa semakin terhina dan tersisih. “Kenapa selalu dia?” Vina bergumam, hampir tak percaya. "Kenapa dia yang selalu mendapatkan segalanya? Dan aku ... aku cuma ada di bayang-bayangnya?" Semua perasaan itu mendesak, ingin keluar. Histeris. Matanya basah, bibirnya bergetar, tubuhnya terasa lemas seolah dunia tak lagi memiliki arti. Dengan tangisan yang mulai pecah, Vina meraih ponsel di atas meja rias dan menekan tombol panggilan ke Ryan. Namun, sebelum ia sempat menekan tombol untuk menghubunginya, ponselnya berdering. Sebuah pesan dari ibunya, Farah, masuk. "Vina, kamu di mana? Ibu dan Ayah sudah di rumah. Kami mau bicara sama kamu." Vina hanya bisa menatap pesan itu tanpa menjawab. Suara tangisannya semakin keras, dan ia merasa dunia sekitarnya memudar. Beberapa menit kemudian, pintu kamarnya diketuk pelan. "Vina, bisa buka pintunya? Kami mau bicara," suara Ayahnya, Doni, terdengar lembut di balik pintu. Dengan terisak, Vina membuka pintu itu dan begitu melihat kedua orang tuanya, ia tak bisa menahan lagi. Vina jatuh ke pelukan ibunya, menjerit dan menangis tak terkendali. Farah mengelus punggungnya dengan lembut, mencoba menenangkan anak perempuannya yang begitu rapuh. "Ada apa, Sayang? Kenapa kamu bisa seperti ini?" tanya Farah dengan cemas, suaranya bergetar, berusaha memahami apa yang sedang terjadi. "Aku tidak percaya." Vina terengah-engah, nyaris tak bisa berkata-kata. "Bagaimana hubunganku dengan Ryan ke depannya? Dia pasti berencana untuk menghancurkan akun Ryan bersama dengan cara menggoda ayahnya." Doni yang duduk di sebelah Vina mencoba menenangkan, memegang bahunya dengan lembut. "Vina, kamu harus tenang. Ini tidak semudah itu. Kalau ada yang salah, kita bisa bicarakan baik-baik. Ini bukan sesuatu yang harus membuat kamu merasa kalah." Vina terengah-engah, mencoba menahan isakannya. "Aku tidak bisa, Ayah. Aku tidak bisa lihat dia selalu lebih dari aku! Kenapa semua orang lebih melihat dia daripada aku? Kenapa aku merasa selalu dibayangi dia?" Farah memeluknya erat, "Sayang, kamu tidak bisa membandingkan dirimu dengan Liona. Setiap orang punya jalan hidup masing-masing. Ini bukan soal siapa yang lebih baik atau lebih beruntung. Liona tak lebih baik, kamu pun punya cerita hidupmu yang lebih indah dari yang kamu kira." Vina menatap ibunya dengan tatapan kosong. "Tapi Ryan, tunanganku, ternyata bukan anak kandung Wirya. Semua yang aku pikirkan tentang keluarga itu, ternyata hanyalah kebohongan! Liona ... Liona itu bahkan jadi pacar Om Wirya! Dia punya segalanya dan aku merasa semua impian aku hancur begitu saja!" Doni menyusupkan kata-kata penghiburan dengan lembut. "Vina, kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di sekitar kita, apalagi apa yang dirasakan orang lain. Yang penting, kamu tetap jadi dirimu sendiri." Vina menatap mereka, bibirnya bergetar. Air matanya mulai mengalir tanpa bisa dihentikan. "Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Ayah. Semua rasanya seperti hilang. Ryan bukan anak kandung Wirya, Liona jadi pacarnya dan aku merasa seperti terbuang." Farah mendekatkan wajahnya, mengusap lembut wajah Vina. "Hubungan Liona tidak akan menghancurkan kebahagiaanmu karena kami akan melindungiku." Sementara itu, di tempat yang tak terlihat oleh Vina, Liona sedang duduk di ranjang kamar, menatap layar ponsel dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ia tahu, percakapan yang baru saja terjadi antara ayahnya dan Vina akan berimbas besar. Liona tidak bisa menahan senyum kecil yang muncul di bibirnya. “Semua akhirnya terbayar, Vina,” gumamnya pelan, menatap bayangan dirinya di cermin. "Apa yang selama ini aku rasa, ketidakadilan, perlakuan pilih kasih Ayah, sekarang semuanya terbalas. Semua yang kamu miliki itu akan hilang. Aku yang akan punya semuanya." Liona merasakan perasaan lega yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Semua kebencian yang ia simpan terhadap ayahnya, yang selalu lebih memprioritaskan Vina daripada dirinya, akhirnya mendapatkan pelampiasannya. Dia tahu ini bukan cara yang baik untuk mendapatkan perhatian ayahnya, tetapi rasa sakit dan keinginan untuk dilihat akhirnya berhasil terbayarkan. *** Liona, perempuan yang dulunya hanya dia kenal sebagai gadis manis tunangannya, kini sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Dan lebih mengejutkan lagi, menjadi pacar ayahnya. Bahkan, menurut informasi yang Ryan dengar, ayahnya berencana untuk melamar Liona dalam waktu dekat. Itu yang membuat Ryan gelisah. Sore itu, ketika Liona datang ke apartemen, Ryan memutuskan untuk berbicara dengannya. Dia ingin menanyakan hal itu, tetapi baru sekarang dia merasa cukup berani untuk mengungkapkan perasaan dan kebingungannya. "Hei, Liona," sapa Ryan dengan suara agak berat. Liona yang sedang duduk di kursi sebelah meja makan, menatap Ryan sekilas dan tersenyum tipis. "Ya, Ryan? Ada apa?" jawab Liona dengan nada yang tampaknya santai, seolah percakapan ini tidak begitu penting. Ryan menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosinya yang mulai berkecamuk. "Aku cuma ingin tahu satu hal. Kenapa kamu mau pacaran dengan ayahku?" Liona mengerutkan dahi, lalu tertawa pelan. "Kenapa? Apa salahnya?" jawabnya, namun jawabannya lebih terdengar seperti pertanyaan retoris. Ryan menatapnya tajam. "Kamu tahu, Vina sangat terluka dengan hubungan kalian ini? Dia bilang kalau dia tidak suka kamu dekat dengan Ayah." Liona mengangguk, seolah-olah sudah mendengar hal itu sebelumnya, dan hanya mengangkat bahu. "Ya, aku tahu. Tapi kan, aku juga tidak bisa terus hidup untuk orang lain. Aku punya hak untuk bahagia, kan?" Liona menatap Ryan dengan ekspresi yang datar, seakan-akan semua itu adalah hal biasa baginya. "Apa maksudmu?" Ryan merasa darahnya mulai mendidih. "Kamu cuma peduli sama dirimu sendiri, ya? Kenapa kamu tidak memikirkan perasaan orang lain, Liona?" Liona menatap Ryan dengan tatapan tenang, seolah tak terpengaruh dengan amarah yang mulai terlihat di wajah Ryan. "Kenapa harus memikirkan perasaan orang lain? Aku sama sekali tidak merasa bersalah, Ryan. Wirya itu pria yang mapan, berotot, tampan dan setia. Apa lagi yang kurang?" Liona melanjutkan dengan nada yang begitu ringan, seakan-akan itu adalah alasan yang paling logis di dunia. Ryan tercengang. "Jadi, kamu cuma tertarik karena ayahku kaya dan tampan? Itu alasan kamu?" tanyanya, tak percaya. Liona mengangguk pelan. "Apa yang salah dengan itu? Aku tidak mau hidup susah dan aku ingin pasangan yang bisa memberikan masa depan yang baik. Om Wirya memenuhi semua kriteria itu. Lagipula, dia juga serius. Dia bahkan sudah bilang ingin melamarku. Aku merasa nyaman dan bahagia dengan dia. Itu saja," jawab Liona, menatap Ryan dengan mata yang tajam, seperti sedang menilai. Ryan terdiam sejenak. Kata-kata Liona seolah menghujam ke jantungnya. Liona benar-benar tidak peduli dengan perasaan orang lain. Bagi Liona, semua ini hanya tentang dia dan kenyamanan yang bisa dia dapatkan. "Tapi ... bagaimana dengan Vina? Bagaimana dengan perasaan dia?" Ryan bertanya, suaranya bergetar, penuh kekecewaan. Liona tertawa pelan, namun kali ini ada kesan sinis dalam tawanya. "Ryan, kamu terlalu banyak berpikir tentang orang lain. Vina itu bukan urusanku. Kalau dia mau, dia bisa bicara langsung dengan aku. Tapi aku tidak merasa perlu bertanggung jawab atas perasaannya. Aku sudah cukup dengan pilihan hidupku." Ryan merasa seperti ada sesuatu yang mendalam sedang mengganggu pikirannya. "Jadi, kamu tidak peduli sama sekali tentang adikmu? Tentang perasaan orang-orang di sekitar kamu?" tanya Ryan, suaranya semakin serak karena marah. Liona mengangkat bahu, lalu tersenyum tipis. "Adik? Ryan, kamu harus paham, hidup ini bukan tentang siapa yang paling peduli atau siapa yang paling merasa terluka. Hidup itu tentang bagaimana kita bisa memilih apa yang membuat kita bahagia. Wirya sudah cukup baik untukku dan aku yakin dia akan memberikan semua yang aku inginkan." Liona berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih datar, "Kamu itu malah tidak mirip dengan ayahmu. Terlalu fokus sama perasaan orang lain." Ryan terdiam. Kata-kata Liona itu membuatnya merasa seperti dihantam badai. Dia tak tahu harus berkata apa lagi. Perasaannya bercampur aduk, marah, kecewa, dan terluka. Dia tidak pernah mengira Liona bisa begitu tanpa perasaan, begitu egois. "Jadi, kalau aku tidak seperti ayahku, itu salah?" tanya Ryan akhirnya, meskipun kata-kata itu terasa pahit di lidahnya. Liona menatap Ryan, kali ini ada ekspresi yang agak sinis di wajahnya. "Bukan salah, Ryan. Tapi ayahmu jauh lebih realistis. Dia tahu apa yang dia inginkan. Kalau kamu seperti dia, mungkin kamu juga bisa hidup lebih mudah. Jangan terlalu banyak memikirkan pilihan orang lain, atau hidupmu tak akan pernah maju." Ryan merasa seperti ada yang pecah dalam dirinya. Dia tidak bisa menerima kata-kata Liona itu. "Satu hal lagi," kata Liona setelah beberapa detik hening. "Kamu tidak perlu khawatir tentang ayahmu dan aku. Kami bahagia dan itu yang paling penting." Liona berdiri, mengangkat tasnya, dan berjalan menuju pintu. "Aku harap kamu bisa menerima semuanya dengan baik, Ryan. Seperti apa yang aku lakukan terhadap keputusanmu yang membatalkan pertunangan kita dan memilih Vina. Kalau tidak, ya sudah. Itu pilihanmu." Ketika Liona meninggalkan rumah itu, Ryan merasa seperti ada sesuatu yang hancur dalam dirinya. Dunia yang dulu dia anggap penuh dengan nilai-nilai yang baik, kini terasa retak dan penuh dengan kenyataan pahit. Dia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Yang jelas, dia merasa sangat marah pada Liona, dan juga pada ayahnya, Wirya. "Apa sebenarnya yang aku takutkan? Apa aku masih mencintai Liona sampai rasanya tidak ikhlas begini?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN