Malam itu, Ryan duduk di sudut ruang tamunya yang redup, botol alkohol di genggaman tangannya yang gemetar. Cairan bening di dalamnya sudah separuh kosong, menguarkan bau menyengat yang memenuhi ruangan. Wajah Ryan memerah, matanya bengkak dan basah oleh air mata. Sejenak ia tertawa kecil tanpa alasan, kemudian tiba-tiba menangis lagi, menghantamkan tinjunya ke d**a dan meja di depannya. "Liona ... kenapa?!" teriaknya, menggema dalam kesunyian malam. Ia menenggak alkohol lagi, membiarkan rasa terbakar di tenggorokannya menggantikan rasa pedih di hatinya. Penolakan Liona yang masih membekas dan terngiang-ngiang di pikirannya. "Aku tidak cukup baik untukmu?!" Ia memukul dadanya lagi, kali ini lebih keras, hingga suaranya bercampur dengan isak tangis yang membuatnya sulit bernapas. Ryan me