4. Menjalin Hubungan Baik Dengan Madu

1033 Kata
Pria berusia tiga puluh dua tahun itu menuruni anak tangga langsung menuju ruang makan, bergabung dengan istri yang lebih dulu sudah berada di sana. Namun, ada yang kurang ketika Jery hanya mendapati keberadaan Rania saja. Menyeret sebuah kursi, tapi netranya sibuk memindai pintu yang tampak dari ruang makan masih tertutup rapat. Seolah tahu siapa yang sedang dicari oleh suaminya, Rania berkata untuk memberitahu. "Hani masih ganti baju, Mas." Tak menjawab, Jery pun duduk di kursinya. Membiarkan Rania mengisi piring dengan makanan yang tersedia. Dalam hal makanan, Jery adalah tipe-tipe lelaki yang tidak pilih-pilih. Dia akan makan apapun yang sudah terhidang di atas meja makan. Hanya sesekali saja dia akan komplen jika mendapati rasa makanan yang mungkin hambar, keasinan, atau juga kemanisan. Untungnya, Imah dan Sari yang sudah cukup lama bekerja di rumah ini sudah jago memasak dan sangat hafal betul dengan selera majikannya. Tidak mau repot-repot menunggu Hani yang belum menampakkan batang hidungnya, karena di satu minggu keberadaan wanita itu di rumah ini yang Jery tahu Hani cukup enggan berada di satu meja makan yang sama dengannya dan Rania. Dalam kurun waktu satu minggu itu pula, mungkin hanya tiga kali Hani makan bersamanya. Selebihnya, entahlah Jery tak paham apakah wanita itu makan atau tidak. Terlebih ketika semalam dia memergoki Hani yang justru makan mie instan. Sangat tidak sehat dan Jery tidak akan membiarkan hal itu kembali terjadi. "Ran!" Rania yang merasa namanya dipanggil pun mendongak. "Kenapa, Mas?" "Lain kali, pastikan Hani makan dengan baik di rumah ini. Tidak masalah jika dia tidak mau makan bareng kita di sini. Tapi setidaknya tanyakan pada Imah atau Sari apakah Hani sudah makan atau belum." "Iya, Mas. Mungkin dia masih canggung. Tapi aku yakin lama-lama nanti dia akan terbiasa berada bersama kita." Jerry mengangguk lalu mulai menyendok makanannya. Diam sebentar merasakan ada yang lain dari masakan yang sedang dia santap. Rania yang mengetahui perubahan ekspresi suaminya pun bertanya. "Kenapa, Mas? Nggak enak ya soup nya?" Lalu Rania pun segera mencicipi masakan hasil buatan tangan madunya. Dan yap ... mata Rania mengerjab-ngerjab karena ternyata sop iga buatan Hani sangat enak terasa di lidahnya. "Kenapa rasa masakan pagi ini lain? Seperti bukan masakan Imah atau Sari," ucap Jerry kemudian melanjutkan kembali menyuap satu sendok makanan ke dalam mulutnya. Rania sudah tersenyum saja mengetahui kepiawaian suaminya dalam mendeteksi hasil masakan seseorang. Mungkin karena lidah Jery sudah terbiasa menyantap hidangan hasil masakan Imah atau Sari yang khas, sehingga begitu mencicipi masakan Hani, pasti langsung ketahuan. "Tapi enak kan?" "Iya. Sop iga ini lebih enak dan lebih gurih. Kaldunya terasa sekali. Perkedelnya juga. Lebih legit. Karena biasanya jika Imah yang buat akan sedikit lembek." Jery masih sibuk mengunyah sembari berkomentar seperti seorang juri yang menilai hasil masakan peserta kompetisi memasak. Lalu lelaki itu menatap pada istrinya. "Apa kamu yang memasak ini semua? Karena aku yakin sekali bukan Imah atau Sari." Rania malah terkekeh karena tebakan suaminya. "Kamu kan tahu sendiri Mas aku tidak pandai memasak. Ke dapur saja bisa dihitung dengan jari. Hanya saat kepept saja." Itulah kelemahan Rania. Wanita itu memang cantik, baik hati, tidak sombong dan suka membantu sesama. Hanya saja jika berurusan dengan dapur, Rania langsung angkat tangan karena dia tidak sejago itu mengolah bahan makanan menjadi masakan. Entah itu akan keasinan, atau over cook. Rania yang terlahir menjadi anak orang kaya, selalu dilayani masalah makan dan minumnya. Jadi wajar saja jika Rania paling anti dengan urusan dapur meski dia sudah menikah sekali pun. "Lalu siapa yang masak semua ini?" Pertanyaan itu berakhir bertepatan dengan pintu kamar Hani yang terbuka. Letak kamar Hani yang berada di lantai yang sama dengan ruang makan dan ruang keluarga memudahkan Rania mengetahui jika adik madunya itu justru tetap berdiri di depan pintu kamarnya. "Itu, Hani yang masak," jawab Rania sembari menunjuk Hani dengan dagunya. Jerry menoleh ke samping melihat pada Hani yang justru tersenyum kikuk dan terlihat enggan sekali untuk mendekat. Rania berinisiatif untuk memanggil. "Hani, sini! Ngapain diam di sana. Ayo kita sarapan." Hani gelagapan. Jujur, dia begitu enggan ikut makan di satu meja yang sama dengan Rania dan juga Jerry. Rasanya aneh saja jika mereka bertiga harus terlihat akur. Hani mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya melangkahkan kakinya mendekati meja makan. "Duduk, Han. Jangan sungkan. Sudah berapa kali aku katakan. Ini rumahmu juga. Jadi jangan malu dan jangan sungkan pada kami. Iya kan, Mas?" Rania mencari pembenaran akan ucapannya pada Jery. Dan lelaki itu hanya mengangguk. "I-iya, Mbak." "Ayo makan. Kata Mas Jery sop iga buatanmu enak sekali." Jery sukses tersedak makanannya. Bisa-bisanya Rania malah berkata demikian meski sebenarnya apa yang Rania katakan benar adanya. "Pelan-pelan makannya, Mas. Ayo minum dulu." Rania menyodorkan gelas berisi air putih pada Jery. Pria itu menerimanya dan langsung menenggak isinya. Bahkan Hani bisa melihat senyum penuh kasih sayang yang muncul di sudut bibir Jery. Sungguh, Hani ingin menyesali kenapa malah sibuk memperhatikan interaksi pasangan suami istri di depannya ini. Buru-buru Hani menundukkan kepala. Tidak ingin melihat keromantisan Jery dengan Rania. Bukan dia malu atau cemburu. Hanya saja masih aneh dan belum terbiasa bagi Hani dalam situasi seperti ini. Alih-alih cemburu karena setelahnya, Jery mengucap terima kasih pada Rania. Malah yang ada, Hani lupa jika dirinya adalah istri Jery juga. Bisa-bisanya Hani malah berangan dan menginginkan sebuah suami yang baik hati dan penyayang seperti Jery. "Aku berangkat dulu. Hari ini kamu ada agenda apa?" Pertanyaan itu Jery lontarkan untuk Rania tentunya. Sudah paham betul dengan kesibukan istrinya. Hani tak ambil peduli dan masih menyantap makanannya. Menghabiskan sisa makanan yang kurang sedikit lagi. "Hari ini aku ada beberapa agenda meeting dengan klien baru. Juga ada meeting tender dengan perusahaan Harrison." "Horrison group?" “Ya.” “Perusahaan raksasa yang terkenal akan menghalalkan segala cara untuk memenangkan proyek besar. Kau berhati-hatilah jika berurusan dengan Fariz Horrison. Dia bukan orang sembarangan yang mudah terkalahkan.” Jerry memberikan peringatan pada Rania. Meski mereka berdua tidak bisa menjalin hubungan rumah tangga yang baik, tapi dalam segi bisnis Jerry dan Rania adalah partner yang baik dan saling melengkapi. “Iyap. Aku tahu. Tapi bukan Rania Sara namanya jika tidak mampu menghadapi lawan.” Jery sudah beranjak berdiri tapi ditahan Rania. "Mas! Apa tidak sebaiknya kamu dan Hani berangkat bersama saja? Kan kalian kerja di kantor yang sama. Kasihan Hani daripada harus naik motor."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN