3. Serumah Dengan Istri Tua

1033 Kata
Baru pukul lima pagi, tapi Hani sudah selesai mandi. Bersiap untuk keluar kamar dan ingin bergabung bersama para asisten rumah tangga karena ingin membantu memasak. Sudah satu minggu dirinya tinggal di rumah ini tapi masih enggan untuk menjalani aktifitas. Padahal keberadaannya di rumah ini hanyalah menumpang. Rasanya seperti tak tahu diri sekali jika Hani hanya berongkang-ongkang kaki dan seenaknya menikmati fasilitas di rumah ini. Sudah saatnya Hani menata hidup barunya. Berharap orang-orang di rumah ini dapat menerima kehadirannya yang hanyalah istri kedua. Bukan mau Hani untuk berada di posisi ini. Tapi wanita itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Selama satu minggu pula, hanya pagi dan malam hari Hani menampakkan diri di rumah ini. Karena harus bekerja dari pagi sampai sore. Dan selama satu minggu pula, Hani sangat enggan keluar kamar. Selain takut bertemu dengan Jery, Hani juga tidak ingin Rania yang merupakan istri pertama Jery merasa tidak nyaman dengan keberadaannya di rumah ini. Bagaimana pun, memiliki madu itu rasanya menyesakkan dan Hani paham akan hal itu karena dia juga seorang perempuan. Beruntung, karena di beberapa pertemuannya dengan Rania, kakak madunya itu selalu bersikap baik dan ramah. Memperlakukan dia layaknya adik sendiri. Tapi, Hani pun tidak mau besar kepala karena Hani juga tidak mampu membaca isi hati Rania. Bisa jadi jika di depan Hani dan di depan Jery, Rania mengatakan tidak keberatan akan keberadaannya. Akan tetapi siapa tahu saja jika sebenarnya Rania tidak menyukai keberadaannya. Bukannya Hani berpikir buruk pada Rania. Hanya saja, Hani tetap harus tahu diri untuk menjaga perasaan Rania. Ketika Hani memasuki dapur, langsung disambut oleh dua orang asisten rumah tangga yang kikuk menyapanya. "Selamat pagi Nyonya. Ada yang bisa kami bantu karena pagi-pagi begini Nyonya Hani sudah berada di sini?" Ah, Hani sungguh geli melihat dua orang asisten rumah tangga yang menyambutnya dengan sedikit canggung. Hani mencoba mengingat nama karena saat pertama kali datang, Rania sudah mengenalkan beberapa di antara para pekerja di rumah besar ini. "Mbak Imah kan ya?" tanya Hani pada seorang perempuan yang tadi menyambutnya. "Iya, Nya. Saya Imah." "Jangan panggil saya Nyonya. Panggil saja saya Hani, Mbak." "Tapi, Nya, nanti kami dimarahi sama Tuan Jery dan Nyonya Rania." "Enggak akan. Justru seharusnya panggilan Nyonya itu hanya pantas disandang oleh Mbak Rania dan bukan saya. Jadi panggil saja saya Hani." "Aduh, gimana ya. Eum ... ya sudah. Saya panggil Mbak Hani saja gimana?" "Nggak papa, deh. Oh ya. Ini Mbak Imah mau masak apa?" tanya Hani mulai mencoba mengakrabkan diri. Mendekati satu orang perempuan lagi yang lebih muda darinya juga sedang berada di dalam dapur. "Kalau ini Mbak Sari. Benar kan?" "Iya, Nya. Eh, Mbak Hani. Tapi jangan panggil saya Mbak. Panggilnya Sari saja." "Oke kalau begitu. Kayaknya usia Sari juga lebih muda dari saya kan ya?" "Iya, Mbak." "Oh ya. Saya bantu masak ya?" Melihat Sari dan Imah saling pandang, Hani tahu jika mereka pasti merasa tidak enak hati padanya. "Tenang saja. Kalian berdua jangan sungkan sama saya karena kita ini sama. Saya juga karyawan bedanya jika saya bekerja di kantornya Pak Jery." Imah menyela. "Tapi kan Mbak Hani ini juga istrinya Pak Jery. Nanti kalau Pak Jery tahu Mbak Hani di dapur, kami bisa dimarahi." "Tenang saja Mbak Imah. Tidak ada yang akan memarahi. Kalau Pak Jery marah, biar saya yang ngadepin. Lagian, istri itu hanya status saja. Saya ini masih Hani yang bukan siapa-siapa di rumah ini. Selain hanya menumpang hidup pada Pak Jery dan Mbak Rania." Bukan tanpa sebab Hani berkata demikian. Tapi karena memang dia tidak ingin para pekerja enggan berdekatan dengannya. Hani sudah berjanji untuk memulai kehidupan barunya di rumah ini. Jadi dengan mulai mengakrabkan diri bersama para asisten rumah tangga, siapa tahu saja dia jadi betah tinggal di sini nantinya. Dan pada akhirnya baik Imah dan Sari membiarkan Hani ikut bergabung bersama mereka. Memasak disertai dengan obrolan hingga ketiganya nampak akrab. "Oh ya, Mbak. Mie instan yang ada di rak punya siapa ya? Maaf ya semalam saya ambil satu tanpa ijin dulu. Habisnya saya lapar." "Oh, itu mie instan hanya untuk persediaan saja Mbak. Lagian jika lapar kenapa tidak meminta pada saya saja untuk menyiapkan makanan," ucap Sari. "Wong sudah tengah malam. Kalian pasti sudah pada tidur juga." "Nggak apa kali Mbak jika Mbak Hani bangunkan. Kami di sini selalu siap sedia membantu. Lagian Mbak Hani ini lapar kok hanya makan mie. Jika Pak Jery tahu pasti Mbak Hani dimarahi." "Pak Jery tahu kok dan diam saja. Enggak marah." Hingga mereka menyelesaikan acara memasak dan Hani baru saja meletakkan satu mangkok besar sayur sop di atas meja makan ketika sosok wanita cantik dengan setelan kerja rapi yang terlihat begitu modis menuruni anak tangga. Ketika Hani mendongak, tatapan keduanya bertemu. Seulas senyuman Rania berikan pada adik madunya. "Hani, kok kamu yang nyiapin makanan?" "Oh iya, Mbak. Tadi saya bantu-bantu masak di dapur." Mbak Imah muncul dengan membawa buah. "Bohong, Nyah. Mbak Hani bukan bantu-bantu saja tapi yang masak sop iga sama perkedel kentang ini Mbak Hani semua. Saya hanya bikin sambal malah." Rania menolehkan kepala pada Hani meminta penjelasan akan kebenaran ucapan Imah. "Benar kamu yang masak semua ini, Han?" Hani menundukkan kepala. Takut-takut menjawab. "I-iya, Mbak. Maaf ya Mbak jika saya sudah lancang ikut memasak." "Kenapa harus minta maaf? Justru seharusnya saya yang minta maaf padamu. Di rumah ini, posisi kamu dan saya itu sama saja Hani. Eh, tapi kamunya malah harus capek di dapur." "Nggak papa, Mbak. Saya malah senang karena Mbak Imah dan Mbak Sari mau saya bantu. Ya sudah kalau begitu saya tinggal ke kamar dulu siap-siap ya, Mbak." "Tuh kan kamu pasti capek. Habis masak masih harus ke kantor. Nanti deh saya bilang ke Mas Jery agar kamu nggak usah lagi bekerja." Hani langsung panik seketika. "Eh, jangan Mbak. Saya nggak mau dipecat. Biarkan saya tetap bekerja Mbak. Mbak Rania tahu sendiri kan jika hutang saya masih banyak sekali. Jika saya tidak bekerja bagaimana saya bisa bayar hutang-hutang saya." Rania tertawa. Hani ini polos sekali. Padahal tanpa bekerja pun Rania yakin jika suaminya tetap akan memberikan nafkah bagi Hani. Pun halnya tentang soalan hutang. Dengan Hani mau menikah dengan Jery, secara otomatis hutang-hutang Hani pun lunas. "Maaf ya Mbak. Saya tinggal dulu. Takut telat," pamit Hani setelahnya. Rania menganggukkan kepalanya. Barulah Hani buru-buru meninggalkan ruang makan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN