5. Siapa Lelaki Itu

1184 Kata
Hani langsung mengangkat wajahnya sembari menggelengkan kepala. "Enggak usah, Mbak. Saya berangkat sendiri saja seperti biasanya." "Loh, nggak apa-apa, Hani. Kalian ini bekerja di kantor yang sama. Lebih mudah jika kamu bareng Mas Jery saja." "Sekali lagi terima kasih, Mbak. Saya naik motor saja. Saya juga belum siap ditanyai orang-orang jika ada yang melihat saya dan Pak Jery berangkat ke kantornya bersama-sama." Rania membuka mulutnya. "Oh, iya. Nggak ada yang tahu jika kamu dan Mas Jery adalah pasangan suami istri. Maafkan, Mbak, ya? Mbak nggak ada maksud untuk membuat nama baikmu jadi tercemar jika ketahuan bahwa kamu harus jadi istri kedua." Hani sudah berdecak kesal di dalam hatinya. Mengatai pasangan suami istri yang telah menghancurkan masa depannya. Untuk apa juga sekarang meminta maaf. Gara-gara mereka berdua, impian Hani untuk memiliki suami idaman dan membangun keluarga bahagia hancur sudah tinggal angan semata. "Nggak papa, Mbak." Jery berdehem mengalihkan perhatian kedua wanita yang merupakan istrinya. "Aku berangkat dulu. Ada meeting pagi ini," ucap Jery yang kemudian beranjak dari duduknya. Rania pun meletakkan sendok di atas piringnya. Makanannya sudah habis dan ia pun juga akan berangkat ke kantor. Sebagai seorang CEO wanita yang disegani oleh para karyawannya, Rani selalu membiasakan diri disiplin dengan berangkat tepat waktu, kecuali jika memang ada kondisi darurat atau memang ada jadwal meeting di luar kantor. “Aku juga mau berangkat.” Wanita itu beranjak berdiri. Tas kerja dan juga jas yang tersampir di kursi kosong sebelah Jery, langsung Rania ambil alih. "Mas, pamit dulu gih sama Hani. Dia istrimu juga loh!" Peringatan Rania dan Jery melirik pada wanita yang masih menundukkan kepala menekuri makanan di dalam piring. Bahkan Hani pun seolah tidak memperdulikan keberadaannya. Tangan Jery terulur begitu saja di hadapan Hani sampai wanita itu terkejut lalu memundurkan kepalanya. Tidak ada kata yang Jery ucapkan membingungkan Hani saja. Perempuan itu mendongak demi bisa menatap wajah Jery. Seolah paham apa yang harus dia lakukan, Hani meraih tangan Jery dan mencium punggung tangan sang suami. Hanya sekilas karena setelahnya Hani buru-buru melepaskannya. "Hati-hati di jalan," ucap Hani pelan tapi masih terdengar di telinga Jery. "Iya. Kamu juga. Hati-hati bawa motornya nanti." Hanya begitu saja pipi Hani sudah bersemu. Untuk pertama kalinya dalam kurun waktu satu minggu keduanya berinteraksi layaknya pasangan suami istri di pagi hari. Rania yang melihat kecanggungan keduanya diam-diam mengulum senyumnya. Lucu sekali mengingatkan dia saat baru menikah dengan Jery sekitar hampir dua tahun yang lalu. Masih saling canggung karena menjalani pernikahan karena terpaksa. Jery melangkah duluan meninggalkan ruang makan dengan Rania yang bersiap menyusul. "Han, aku berangkat dulu, ya?" Hani menganggukkan kepalanya. "Iya, Mbak." Sepeninggalan wanita itu, Hani mengembuskan napas lega. Sungguh jangan ditanya bagaimana kondisi jantungnya saat dia harus dihadapkan pada Jery. Untuk kedua kalinya Hani mencium punggung tangan Jery, setelah satu kali sebelumnya Hani melakukannya saat setelah ijab qabul tiga bulan yang lalu. *** Hani memasuki lobi gedung perkantoran setelah sebelumnya memarkir kendaraannya. Sebenarnya bisa saja dia langsung menggunakan lift yang ada di basemen untuk dapat mencapai letak lantai kantornya berada. Sayangnya lift yang penuh, dan Hani sangat enggan menunggu sehingga wanita itu memutuskan untuk menggunakan lift yang ada di lobi saja. Langkah kaki Hani yang lumayan cepat, mendadak harus terhenti sebab panggilan seseorang. Seorang lelaki lebih tepatnya. "Benar Hani, kan?" tanya lelaki tampan yang kini sudah berdiri di hadapan Hani. "Dokter Anggara?" tebak Hani yang baru saja mengingat siapa gerangan lelaki tampan yang menyapanya ini. "Saya pikir kamu sudah lupa sama saya," kekeh lelaki itu kemudian. "Mana mungkin saya lupa. Dokter sangat berjasa bagi ibu saya." "Meski saya tidak berhasil menyelamatkan nyawa ibu kamu." "Itu bukan salah Dokter. Hidup dan mati seseorang ada Tuhan yang telah menentukan. Dan saya sudah sangat bersyukur setidaknya sebelum ibu saya meninggal dunia, dokter Anggara telah berjuang keras demi bisa menyelematkan nyawa ibu," jawab Hani mulai bersedih hati acapkali mengingat akan sosok mendiang ibunya yang telah tiada. Dokter Anggara adalah dokter yang merawat ibunya Hani ketika sakit dulu. Dan semenjak saat itu selama tiga bulan lamanya baru hari ini Hani dan dokter Anggara kembali dipertemukan. "Maaf jika saya sudah membuat kamu bersedih hati." "Oh, nggak apa-apa, dok. Oh ya ngomong-ngomong dokter Anggara kok ada di sini?" "Iya. Saya baru saja mengantarkan ponsel adik saya yang tadi ketinggalan di rumah." "Adiknya dokter kerja di gedung ini juga?" Pria tampan itu menganggukkan kepalanya. "Iya." Ya, Graha Anugerah adalah salah satu gedung pencakar langit yang ada di kota ini. Gedung dengan lima puluh lantai itu disewa oleh banyak perusahaan sebagai tempat perkantoran mereka dan salah satunya adalah JS Advertising yang merupakan salah satu perusahaan milik Jery Subiyanto. Jery sendiri tidak hanya memiliki satu bidang usaha. Selain perusahaan periklanan di mana tempat Hani bekerja, Jery juga memiliki perusahaan ekspor impor dan juga properti. Berkantor di gedung ini juga yang hanya terpisah oleh perbedaan lantai saja. "Kamu juga bekerja di sini, Han?" "Iya Dok. Saya kerja di lantai sepuluh. JS Advertising." "Wah, kebetulan sekali ya. Siapa tahu aaja setelah ini kita akan sering dipertemukan kembali." "Dokter bisa saja." "Eum ... Kapan-kapan mungkin kita bisa makan siang bersama." "Boleh. Sama adiknya Dokter juga kan? Biar saya bisa nambah teman." "Iya boleh." Dokter Anggara tersenyum dan itu terlihat sangat tampan sekali. Bolehkah Hani terpesona karenanya. Sampai kedatangan seseorang, lebih tepatnya tiga orang lelaki yang salah satunya adalah Jery Subiyanto, begitu saja menenggelamkan senyuman Hani yang tadinya begitu merekah. Padahal mereka bertiga hanya lewat saja tak jauh dari Hani dan dokter Anggara saling berdiri berhadapan. Terlebih, lirikan maut dari Jery yang menghunusnya, membuat Hani ketakutan dan langsung berpamitan pada dokter Anggara. "Dokter, saya permisi dulu. Jam kerja saja hampir mulai." "Oh, iya. Silahkan." Hani berbalik badan hendak menuju ljft ketika Dokter Anggara kembali memanggil. "Hani!" Wanita itu menolehkan kepalanya. "Iya?" "Boleh saya minta nomor ponsel kamu?" Inginnya menolak tapi tidak enak hati. Hani pun menganggukkan kepalanya. Dokter Anggara tersenyum lebar, sembari membuka ponselnya. "Berapa nomornya? Biar saya catat." Hani menyebutkan satu per satu nomor teleponnya setelah itu barulah ia meninggalkan dokter Anggara masuk ke dalam lift. *** Sementara itu, Jery langsung memasuki ruang kerjanya. Melepaskan jas dan menyampirkan di punggung kursi kerjanya. Lelaki itu mendudukkan diri di atas kursi kebesarannya. Mengingat interaksi Hani dengan lelaki yang Jery tidak kenali. Siapa gerangan lelaki yang bersama Hani tadi? Kenapa Jery merasa tidak suka ketika Hani harus tertawa di hadapan lelaki lain sementara jika berhadapan dengannya Hani seolah takut-takut dan bahkan Jery tahu selama satu minggu ini ia memboyong perempuan itu ke rumahnya, Hani dengan sengaja selalu menghindarinya. Padahal dengan susah payah Jery telah berusaha untuk bisa lebih dekat dengan istri mudanya itu serta memberikan pengertian pada Rania agar memperlakukan Hani dengan baik di rumah mereka. Sayangnya malah Hani sendiri yang justru enggan dia dekati. Tak Jery pungkiri dia merasa cemburu dan tidak suka melihat Hani akrab bersama seorang pria yang Jery akui memiliki wajah yang tampan. Apakah dia takut bersaing dengan lelaki lain? Jawabannya adalah iya karena Jery tidak pernah sanggup membohongi hatinya bahwa dia tertarik pada Hani dan tak hanya menyukai wanita itu. Tapi rasa cinta pun mulai tumbuh untuk istri mudanya. Rania pun tahu akan hal itu. Justru karena dia mencintai Hani maka Rania sendiri yang mengijinkan dia untuk menikah lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN