Malam ini Hani sampai di rumah ketika jarum jam sudah berada di angka tujuh lebih dua puluh lima menit. Sengaja dia pulang malam berharap tidak harus bertemu dengan penghuni rumah mewah ini. Namun, kenyataannya justru tidak sesuai dengan apa yang Hani inginkan. Karena begitu langkah kakinya memasuki rumah dua lantai ini, ekor matanya malah disuguhi pemandangan sepasang suami istri yang berada di ruang televisi.
Iya, Jery bersama Rania duduk saling berdampingan, dengan Jery yang memangku laptop sementara Rania sibuk dengan ponsel di tangan.
Menyadari kehadiran Hani, Rania menolehkan kepala menyapa. "Han, baru pulang?"
Langkah kaki Hani yang sudah berada di depan kamar terhenti. Memaksa seulas senyuman untuk memberikan jawaban. "Iya, Mbak. Saya ke kamar dulu ingin istirahat."
Tidak mau terlalu banyak berinteraksi dengan pasangan suami istri itu, Hani buru-buru masuk ke dalam kamarnya. Menyisakan tatapan Rania yang tak lepas pada pintu kamar yang sudah tertutup rapat.
"Kenapa Hani pulangnya malam sekali? Apa kamu memintanya untuk lembur, Mas?" tanyanya pada sang suami.
"Tidak ada yang memintanya lembur kecuali jika memang perkejaannya belum selesai. Jadi daripada esok hari menumpuk, biasanya para karyawan akan memilih tinggal sampai malam di kantor untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawab mereka."
"Oh, begitu ya. Kasihan juga lihat Hani jika harus pulang malam begitu. Dia sudah makan atau belum ya? Coba Mas kamu tanyakan ke dia. Jika belum makan sebaiknya kamu temani dia."
"Kenapa harus menyuruhku, Rania. Kamu saja yang temui dia dan pastikan dia makan malam sebelum tidur. Jangan seperti semalam. Memasak mie instan hanya karena kelaparan."
Rania terkejut mendengarnya. Dia tidak tahu perihal ini. "Jadi semalam Hani makan mie, Mas?"
"Aku nggak sengaja mergoki dia."
"Ya udah, Mas. Kalau begitu kamu buruan gih datangi kamarnya. Paksa dia makan. Pasti kalau Mas yang minta, Hani tidak akan berani menolak."
Melihat sang suami yang ogah-ogahan dan nampak ragu, Rania kembali memaksa. "Katanya cinta sama Hani. Jika memang cinta seharusnya Mas mulai tunjukkan padanya dari hal terkecil seperti memberikan perhatian padanya."
"Aku hanya tidak ingin dia merasa tidak nyaman jika aku terlalu posesif dan banyak mengaturnya.”
“Mau sampai kapan kamu akan memendam rasa cintamu padanya? Berkedok menolong lalu menikahinya dan diam-diam menaruh hati padanya. Ingat, Mas. Hani itu tetaplah wanita yang tak akan tau apa-apa jika kamu tidak berterus terang padanya.
Apa yang Rania katakana benar adanya. Namun, Jerry takut andai Hani merasa tidak nyaman lalu malah pergi dari hidupnya. Akan terasa sia-sia saja usahanya hingga sejauh ini. Biarlah dia diam untuk sementara dan tidak mengungkapkan rasa cinta untuk waktu dekat berharap Hani bisa merasakan sendiri bagaimana selama ini dia telah memiliki perasaan pada wanita itu.
Meski jujur ada rasa was-was dan takut andai Hani malah terpikat pada pesona pria lain selain dirinya. Mengingat interaksi Hani dengan pria yang tadi dia jumpai di kantornya, rasa cemburu menelusup di dalam hati. Itu artinya, Jerry memang tidak main-main dengan perasaan yang dimiliki pada Hani.
"Mas! Hani itu juga istrimu. Perlakukan dia layaknya istri yang sesungguhnya. Jangan sampai kamu menyesal nantinya." Rania menepuk paha sang suami, lalu beranjak berdiri. "Aku ke kamar dulu ya, Mas. Ngantuk. Nanti kamu tidur saja di kamar Hani."
"Hei! Rania! Apa-apaan sih kamu!"
Dan Rania tidak menggubris Jerry karena perempuan itu hanya mengibaskan tangan sembari berlalu menaiki anak tangga menuju lantai dua. Menyisakan Jerry yang menggaruk tengkuk merasa gugup. Bingung akan melakukan apa.
Tak ayal pria itu beranjak dari duduk menghampiri kamar Hani. Mengangkat tangan ingin mengetuk pintu, akan tetapi langsung diurungkan. Tangan masih menggantung di udara sebab keraguan dalam hati Jery. Entah kenapa begitu sulit baginya mengungkap perasaan yang dia miliki pada Hani.
Menghirup napas dalam-dalam sebelum pada akhirnya tangan itu jatuh juga pada daun pintu. Mengetuknya perlahan, sembari menunggu sosok yang ditunggunya keluar.
Tidak lama karena tiga kali ketukan, Hani yang tadi sudah berniat untuk mandi pun urung melakukan dan gegas menuju pintu.
Betapa wanita itu terkejut kala pintu kamar terbuka dia melihat siapa gerangan sosok yang berdiri menjulang di hadapannya. "Pak Jery," cicitnya dengan suara lirih.
Jery menatap perempuan itu sekilas karena setelahnya pria itu memilih untuk berdehem demi mengontrol dirinya agar tidak menerjang Hani saat ini juga. Bagaimana pun juga, Jery lelaki normal yang melihat penampilan Hani saat ini begitu saja langsung tergoda. Padahal, Hani tidak sedang berpenampilan seksi. Hanya saja, rambut Hani yang dicepol asal, mempertontonkan leher jenjang dengan kulit yang putih bersih. Belum lagi, dua kancing teratas kemeja Hani yang sudah terlepas dari tempatnya. Meneguk ludah, lalu memalingkan pandangan.
"Makan dulu. Baru tidur," ucap Jery dengan suara khasnya.
Hani mendadak gugup. "Tapi saya sudah makan, Pak."
"Makan di mana kamu? Sudah jangan membantah. Lebih baik kamu makan, temani saya sekalian daripada tengah malam malah buat mie instan."
Hani mengigit bibir dalamnya. Kenapa juga Jery harus mengungkit masalah semalam. Namun, dia cukup enggan jika harus ikut makan malam dengan pria itu. "Beneran, Pak Jery. Tadi saya sudah makan saat perjalanan pulang. Bapak makan berdua saja dengan Mbak Rania."
"Rania sudah makan duluan tadi."
Hani menggaruk belakang kepalanya. "Baiklah. Saya akan temani Pak Jery. Tapi ...."
"Tapi apalagi?"
"Saya belum mandi."
Jery berdecak. "Ya sudah kamu mandi sana. Saya tunggu kamu di ruang makan." Jery berlalu meninggalkannya.
Hani gegas menutup pintu lalu mengusap d**a yang sejak tadi berdebar-debar. Bukan karena dia cinta dengan Jery. Masalahnya, acapkali dekat-dekat dengan pria itu, Hani selalu merasa ketakutan. Entah kenapa aura yang terpancar dari wajah Jery menyimpan banyak rahasia. Bahkan mengenai paksaan Jery yang menikahinya pun, belum bisa dia terima begitu saja. Andai dia punya banyak uang. Pasti Hani akan lebih memilih membayar semua hutangnya pada Jery daripada menggadaikan dirinya menjadi istri muda pria itu.
Hani mengembuskan napas panjang lalu gegas masuk ke dalam kamar mandi membasuh dirinya yang lengket oleh keringat setelah seharian beraktivitas.
Tidak sampai tiga puluh menit, Hani keluar kamar dan buru-buru menuju ruang makan di mana sudah terlihat oleh Hani jika Jery duduk sendirian di sana.
"Pak Jary, maaf sudah membuat Anda menunggu lama. Seharusnya tadi Pak Jery makan duluan saja tidak perlu menunggu saya. Sekarang Mbak Rania ke mana?"
"Dia sudah tidur. Sudah jangan banyak tanya. Buruan ambilkan saya makanan!" titah Jery yang langsing dilakukan oleh Hani tanpa penolakan.
Di saat wanita itu tengah sibuk mengisi piring Jery dengan nasi berserta sayur dan lauknya, tiba-tiba saja pria yang berstatus suaminya itu mengajukan tanya. "Siapa lelaki yang bersamamu di kantor tadi?"
Gerakan Hani yang sedang menyodorkan piring terhenti. Berpikir untuk sejenak akan maksud pertanyaan Jery. "Lelaki siapa yang Pak Jery maksudkan?"
"Ck, kamu ini ditanya malah bertanya balik. Tadi pagi lelaki yang ngobrol seru denganmu. Tidak mungkin kalian tidak saling mengenal jika yang aku lihat kalian berdua tampak akrab sekali."
Dan yah, Hani baru teringat akan sosok dokter tampan yang tadi pagi dijumpainya. "Oh, itu. Dia dokter Anggara."