10. Andai Tiap Hari Kamu Senyum Manis Padaku

1372 Kata
Masih belum ada pukul delapan pagi saat Hani sudah duduk cantik di meja kerjanya. Sengaja dia meninggalkan rumah Jerry lebih pagi dari biasanya. Melewatkan sarapan di rumah suaminya lantaran tidak ingin terlibat hubungan canggung bersama Jerry dan Rania. Jujur, Hani mulai waspada karena merasa Jerry makin berani mendekatinya. Padahal Hani berharap Jerry segera melepaskannya meski untuk saat ini Hani belum bisa membayar semua hutangnya pada pria itu. Menjadi istri kedua tidak pernah ada dalam mimpinya. Tapi nyatanya sekarang apa? Dia beneran menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Jerry dengan Rania. "Han!" Suara seseorang yang memanggil namanya membuat Hani terlonjak kaget karenanya. Nika, teman satu divisi yang sekaligus duduk di dalam satu ruangan yang sama dengan Hani, memasuki ruang kerjanya dengan langkah santai, menyeruput kopi panas yang baru dibelinya di kafe dekat gedung perusahaan. Hani menolehkan kepalanya. Lega karena mendapati Nika lah yang kini mendekatinya. "Kamu ini mengagetkan saja." Nika terkekeh. "Tumben sudah di sini? Jam berapa kamu sampai?" "Iya, aku datang lebih awal. Banyak kerjaan yang harus diselesaikan." Nika mengernyit. "Bukannya kemarin kamu sudah lembur? Ini belum akhir bulan loh, Han?" "Iya sih tapi memang sengaja aku selesaikan agar tidak punya pendingan kerjaan." Nika meletakkan tas kerja di dalam laci lalu duduk di kursi kerjanya sendiri. Kembali menyeruput kopinya lalu meletakkan kembali di atas meja. "Han, kulihat-lihat akhir-akhir ini ada yang berubah darimu?" Kening Hani mengernyit. "Berubah gimana?" "Ya, kamu jadi pendiam juga jarang ngumpul sama teman-teman. Sibuk sendiri dengan kerjaan. Padahal kamu bisa loh membagi kerjaan kamu pada yang lain. Aku pun juga tidak keberatan jika kamu mau bagi kerjaan ke aku." "Selagi aku bisa menyelesaikan sendiri, aku tidak akan merepotkan orang lain, Nik. Toh semua sudah ada porsi kerjaan masing-masing. Nggak enak lah kalau aku merepotkan orang lain." "Tapi kerjaan kamu lumayan banyak karena kamu kan ditunjuk langsung sama Pak jerry menangani semua keuangan proyek yang sedang didapat perusahaan dan itu banyak banget." Ya, semenjak Jerry memberhentikan salah satu pimpinan proyek yang bersekongkol dengan staff keuangan, Jerry jadi waspada jangan sampai kecolongan lagi. Oleh sebab itulah Jerry memberikan wewenang semua maslaah keuangan proyek pada Hani sejak satu bulan yang lalu. Selain karena Hani adalah salah satu karyawan loyal di kantor, wanita itu juga istrinya yang Jery rasa tidak akan mungkin akan mengkhianatinya setelah semua kebaikan dan bantuan yang ia berikan pada wanita itu. "Sejauh ini aku masih belum menemukan kesulitan. Tenang saja." Nika mengangkat bahu. "Oke, kalau memang begitu. Kalau perlu bantuan, kasih tau saja." Hani tersenyum manis. "Makasih, Nika." "Sama-sama." Tanpa Nika tau jika sebenarnya Hani merasa senang lantaran mendapatkan banyak kerjaan. Dengan begitu Hani jadi alasan untuk berdiam lebih lama di kantor, entah itu untuk lembur agar pulang lebih malam, juga berangkat pagi-pagi buta sehingga dia tidak harus terlibat interaksi dengan Jery dan Rania. Andai bisa memilih, Hani ingin sekali tinggal di kos yang pernah tiga bulan ditempatinya. Tapi Hani yakin jika Jerry tak akan membiarkannya hidup sendirian. Secara, untuk saat ini selama Hani masih memiliki banyak hutang pada Jery, maka kehidupannya akan disetir oleh pria itu. *** Sekitar pukul sembilan pagi, Jery melangkah masuk ke kantor dengan jas yang tertata rapi. Wajahnya seperti biasa—tenang, berwibawa, dan penuh kepercayaan diri. Begitu sampai di ruangannya, ia menaruh tas kerja di meja dan duduk di kursi empuknya. "Mela," panggilnya kepada sekretarisnya yang baru saja datang. Wanita itu segera menghampiri dengan buku catatan di tangan. "Iya, Pak Jery?" "Hubungi Hani. Suruh dia ke ruangan saya sekarang." Mela sedikit tertegun, tapi segera menutupinya. "Baik, Pak." Dalam benak wanita itu, mungkin saja Jerry memang sedang terlibat banyak kerjaan dengan Hani. Karena akhir-akhir ini Jerry sering sekali memanggil Hani menghadap atasannya itu. Padahal setau Mela, Hani hanyalah karyawan biasa. Mela melangkah ke meja telepon dan menekan nomor ekstensi Hani. Sementara itu, Hani yang sedang bekerja di mejanya mendengar telepon berdering dan langsung meraih gagang telepon tanpa perduli siapa yang sedang menghubunginya. "Hani, Pak Jery memintamu ke ruangannya sekarang," suara Mela terdengar formal. Deg. Jantung Hani mendadak berpacu cepat hanya karena mendengar nama Jery. Sudah repot-repot menghindari, tapi Jerry selalu punya alasan untuk mencarinya. Ah, kenapa Hani bisa lupa jika Jerry masihlah menjadi atasannya yang kapan saja bisa menemuinya dengan sangat mudah. Namun, setidaknya jika di kantor tak ada Rania yang membuat Hani selalu merasakan kecanggungan serta rasa bersalah. Entahlah. Apakah semua istri kedua akan merasakan hal yang sama seperti dirinya. "Baik, Bu Mela. Saya akan segera ke sana. Terima kasih." Hani menutup telepon dengan tangan sedikit gemetar. Nika, yang duduk tak jauh dari situ, memperhatikan ekspresi wajah Hani. "Kamu dipanggil Pak Jery?" tanyanya. Hani mengangguk pelan. "Iya. Aku ke sana dulu." Nika memperhatikan punggung Hani yang menjauh meninggalkan ruangan. Ada rasa kasihan tatkala melihat Hani dengan nasibnya yang mengenaskan. Tentu saja Nika tau betul akan siapa Hani. Hanya seorang yatim piatu yang jauh dari keluarga besarnya. Dulunya Hani hanya hidup berdua dengan ibunya. Tapi semenjak tiga bulan lalu ibunya yang sakit-sakitan meninggal dunia dan Hani hidup sebatang kara di sebuah rumah kos. Dalam hati Nika berdoa semoga Hani segera menemukan jodohnya. Lelaki baik yang tulus mencintai dan menyayangi Hani. Tanpa Nika tahu jika sebenarnya Hani sudah diperistri oleh atasan mereka sendiri. *** "Masuk saja, Han. Pak Jerry sudah menunggumu di dalam," ujar Mela saat mengetahui kedatangan Hani. "Baik, Bu." Hani menghirup napas dalam sebelum tangannya terulur untuk mengetuk pintu ruangan sang atasan. "Masuk!" suara bariton dari dalam ruangan, membuat Hani dengan perlahan memutar handel pintu hingga terbuka. "Selamat pagi. Pak Jerry memanggil saya?" tanya Hani dengan sopan karena bagaimana pun ini di kantor dan Hani tetap memperlakukan Jerry sebagai atasannya. Mengabaikan fakta bahwa dia sudah dinikahi oleh pria itu. "Masuk dan tutup kembali pintunya." Titah Jerry dan lagi-lagi Hani hanya bisa menurut. Wanita itu melangkah masuk dan menutup pintu ruang kerja Jerry. Melirik Jerry yang beranjak berdiri dari kursi kebesarannya. Pria itu mengambil paper bag di atas meja lalu membawanya menuju sofa. Sofa panjang yang biasa Jerry gunakan untuk menyambut tamu yang datang. "Kenapa kamu hanya diam di situ? Kemarilah, Han!" Hani melangkah ragu-ragu membuat Jerry geleng-geleng kepala. "Kelihatannya kamu takut banget sama aku, Han?" "Hah!" Hani meringis, ingin membenarkan tapi tak berani. "Duduk sini!" Jerry menepuk tempat kosong di sebelahnya. Hani tidak lantas menurut. Tapi wanita itu justru bertanya. "Maaf, Pak. Anda memanggil saya ada apa ya?" Jerry membuang napas panjang. "Han! Kenapa kamu pagi-pagi sekali sudah meninggalkan rumah? Kamu sengaja ya menghindar dari saya?" Kepala Hani menggeleng meski sebenarnya apa yang Jerry katakan benar adanya. Namun, Hani tak berani mengaku di depan Jerry. "Tidak, Pak. Saya memang sedang banyak kerjaan saja." "Ck, kamu ini sibuknya kok ngalah-ngalahi saya. Kalau begitu saya akan kasih kamu asisten agar kerjaan kamu lebih ringan." "Tidak perlu, Pak. Saya masih sanggup mengerjakannya sendiri." "Kamu ini lucu. Di saat karyawan lain akan senang jika diringankan pekerjaannya, tapi kamu malah senang diberikan banyak kerjaan. Ingat Hani. Kamu ini hanyalah manusia biasa. Bukan robot. Untuk apa kamu kerja keras sebegitunya?" "Agar saya bisa cepat-cepat melunasi hutang saya pada Pak Jerry." Jerry diam. Ada rasa tidak suka mendengar jawaban dari istri mudanya. "Bukankah aku sudah katakan padamu untuk tidak membahas lagi tentang hutang? Ingat, Hani. Dengan saya menikahi kamu, maka semua hutang kamu sudah saya anggap lunas. Jadi jangan lagi pernah mengungkit-ungkit hal itu di hadapan saya." "Tapi, Pak?" Hani ingin protes tapi lagi-lagi disela oleh Jerry. "Sudah, cukup Hani. Sekarang sebaiknya kamu makan. Saya tau kamu belum sarapan. Jadi tadi saya bungkuskan untuk kamu. Sekarang duduk lalu makan!" Setelah mengatakan itu, Jerry beranjak berdiri dan kembali ke meja kerjanya. Jerry tau jika Hani tidak akan merasa nyaman jika dia masih tetap duduk di sofa dan memperhatikan wanita itu ketika makan. Oleh sebab itulah Jerry memberikan ruang bagi Hani untuk mengisi perutnya. "Pak!" panggil Hani membuat Jery mendongakkan kepalanya. "Ya?" "Boleh tidak jika makanannya saya bawa keluar? Saya akan makan di pantry saja." Jery mendengus. Meski pun begitu pria itu menjawab, "Terserah kamu!" Hani tersenyum. "Terima kasih, Pak. Terima kasih karena Pak Jerry sudah membawakan saya makanan. Saya permisi keluar. Selamat pagi." Hani meraih paper bag lalu menuju pintu dan keluar meninggalkan Jerry yang senyum-senyum seorang diri sembari memperhatikan kepergian sang istri yang tak terlihat lagi. "Andai tiap hari kamu tersenyum manis begitu padaku, Han!" Jerry geleng-geleng kepala saat mengingat bagaimana ekspresi Hani yang selalu takut-takut saat di dekatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN