Seperti biasanya pagi ini Rania tengah merias dirinya sebelum pergi bekerja. Jerry muncul dari walking closed sudah rapi dengan setelan kerjanya juga. Pria itu terlalu mandiri dengan menyiapkan segala macam keperluannya tanpa harus merepotkan Rania. Setahun lebih menikah bahkan Rania sama sekali tidak pernah menjalankan tugas sebagai selayaknya istri bagi Jery dan Jery tidak mempermasalahkan itu semua. Karena memang hubungan pernikahan mereka juga tidak sebaik pasangan pada umumnya. Bahkan keberadaan mereka di satu kamar yang sama juga karena keluarga saja. Jerry tidak ingin membuat masalah dengan keluarganya apabila sampai kepergok pisah rumah. Jadilah mereka memutuskan untuk tetap tidur di satu kamar yang sama meski berbeda ranjang. Aneh memang. Namun, keduanya tak bisa berbuat apa-apa. Baik Jery maupun Rania sama-sama mengambil keuntungan dari pernikahan mereka. Waktu lima belas bulan yang mereka habiskan untuk hidup bersama, nyatanya belum juga menumbuhkan benih cinta keduanya. Justru yang ada Jerry malah menyukai wanita lain dan Rania tak masalah. Menghargai semua keputusan Jery karena wanita itu telah menganggap sang suami layaknya sahabat baik yang saling mendukung. Itulah sebabnya kenapa Rania santai saja membiarkan Jerry menikahi Hani. Itu semua bentuk dukungan bagi sang suami demi mengejar kebahagiaan dan cinta sejati. Begitulah kiranya yang ada dalam benak Rania saat ini.
“Mas! Tiga hari ke depan aku tidak pulang ke rumah ini.”
Ucapan dari Rania menghentikan tangan Jerry yang sedang meraih ponsel di meja kerjanya. Pria itu menolehkan kepalanya pada sang istri. “Memangnya kau mau ke mana?”
"Nanti sore aku akan berangkat ke Singapura.”
"Kenapa mendadak sekali pergimu?"
"Maaf. Habisnya aku juga baru dapat email tadi pagi jika besok pagi akan ada meeting terkait proyek baru yang kudapatkan seminggu yang lalu."
Ya, Jerry akui Rania memang wanita yang hebat. Sosok wanita karir yang mandiri. Bahkan wanita itu bisa berdiri di atas kedua kakinya sendiri dalam mengembangkan perusahaan keluarga Wijaya. Namun, sebagai seorang anak, Rania tetap tak bisa mengambil keputusan sendiri kala kedua orangtuanya menjodohkan dia dengan Jery.
"Baiklah. Kau berhati-hatilah di manapun berada. Jika ada kesulitan atau membutuhkan bantuan, jangan segan memberitahuku."
Rania menganggukkan kepalanya. Beranjak berdiri dari duduknya. Memperhatikan Jery sejenak lalu berdecak. Perempuan itu mendekati sang suami. Mengikis jarak di antara mereka. Tanpa kata, kedua tangan Rania terulur meraih kerah kemeja Jery yang tidak tertata rapi.
"Ya ampun, Mas. Berantakan sekali. Diam sebentar aku rapikan."
Harum parfum yang Rania kenakan, menusuk indera penciuman Jery. Untuk sejenak pria itu terdiam tanpa kata. Menahan napasnya serta debaran jantung yang menggila. Sebagai laki-laki normal bohong jika Jery mengatakan tidak tertarik pada Rania. Karena bagaimana pun juga, Rania adalah sosok wanita cantik yang selalu ingin terlihat perfect di depan orang lain. Akan tetapi, ketertarikan yang Jery miliki, bukan berarti dia mencintai wanita itu. Tidak demikian karena ketertarikan Jery hanya sebatas sebagai lelaki dewasa pada perempuan dewasa. Bukankah seorang lelaki akan lebih mudah tertarik pada wanita tanpa melibatkan perasaan cinta? dan Jery merasakannya. Hanya saja dia juga menghargai Rania. Oleh sebab itulah kenapa selama usia pernikahan mereka Jery sama sekali tidak pernah kepikiran untuk membangun hubungan yang lebih intim lagi dengan wanita itu. Sebab Jery tau bahwa Rania tidak menginginkannya sebagai seorang suami.
"Berapa lama kamu di Singapura?"
Rania menjauhkan dirinya setelah selesai memperbaiki merapikan kemeja Jery.
"Tiga hari jika urusanku cepat kelar. Kalau tidak ya mungkin bisa lebih lama lagi.”
Rania sedikit terkejut karena biasanya Jerry tidak pernah perduli mau dia ke luar negeri atau tidak pulang sekali pun. “Tumben kamu perduli dan bertanya begitu. Biasanya juga kamu santai saja menanggapi aku yang pamit pergi dan tidak pulang.”
“Sekarang lain dengan dulu, Rania. Ada Hani di rumah ini dan aku rasa Hani tidak akan nyaman jika harus berduaan denganku tanpa adanya kamu di sini.”
“Justru bagus kan jadi kamu bisa lebih leluasa mendekatinya. Aku tau kamu sangat menginginkannya, Mas. Jadi usaha lah sedikit saja agar kamu tidak menyesal di kemudian hari. Ingat, Mas. Untuk bisa menikahi Hani bayak hal yang kamu korbankan termasuk dengan menyetujui permintaan keluarga kita untuk tetap mempertahankan rumah tangga ini.”
Jerry diam. Apa yang Rania katakan benar adanya tapi dalam hati dia ketakutan dan masih belum ada nyali untuk lebih jauh lagi mendekati Hani. Padahal Hani juga telah menjadi istrinya tiga bulan lamanya.
“Kuharap kamu segera kembali dan jangan lama-lama di sana. Kasihan Hani harus di sini sendiri."
“Kan ada Sari sama Imah. Dia tidak sendirian, Mas.”
“Iya. Tetap saja dia sepertinya lebih nyaman jika kamu ada di rumah ini, Ran.”
“Iya ... iya aku usahakan akan cepat pulang. Semoga saja proyek kali ini bisa lebih cepat aku tangani.”
"Jam berapa nanti kamu berangkat?"
"Sore. Pesawatku jam lima. Mungkin aku berangkat sekitar pukul tiga. Ini juga hanya setengah hari saja aku di kantor. Selesai jam makan siang aku pulang."
"Mau aku antar ke Bandara?"
"Tidak perlu. Ada Akaz yang nanti akan mengantarku."
Akaz adalah asisten pribadi Rania. Seorang pria yang sudah menikah dan istrinya Akaz juga menjadi sekretaris Rania. Namanya Sinta.
"Jangan terlalu dekat dengan Akaz."
Rania terkekeh. "Kenapa? Kamu cemburu?"
"Ck, bukan cemburu. Jika sampai Mama Ara tahu kamu ke mana-mana selalu sama Akaz ... beliau bisa murka dan menyalahkan aku yang katanya tidak perhatian dan tidak perduli padamu."
Mama Ara yang Jerry maksud adalah mama kandung Rania yang tak lain adalah mertua Jerry.
"Kau tenang saja, Mas. Nggak perlu didengar apa kata mama karena mama memang gitu. Suka nuduh yang bukan-bukan padahal mama juga tau siapa Akaz. Bahkan aku lebih seringnya jalan bertiga tidak hanya dengan Akaz saja tapi bareng Sinta juga."
"Aku hanya mengingatkan."
"Iya makasih."
Jery mengangguk. Lalu keluar kamar yang kemudian disusul oleh Rania di belakangnya. Menuju lantai satu yang mana terdapat ruang makan di sana.
Makanan sudah tertata di atas meja makan. Namun, tak ada satu pun orang yang ada di sana.
“Hani mana Mbak?” tanya Rania pada Mbak Sari yang merupakan salah satu asisten rumah tangganya.
“Baru saja pergi, Bu. Sepertinya terburu-buru,” jawab perempuan muda yang sedang meletakkan buah di atas meja makan.
Jerry dan Rania saling pandang. Kening Rania mengernyit dalam. "Memangnya semalam Hani kamu apakan Mas? Sepertinya dia sengaja menghindar bertemu dengan kita di meja makan. Sampai-sampai dia harus berangkat kantor duluan. Padahal ini masih pagi, loh.”
“Kok aku? Aku nggak ngapa-ngapain dia, Ran!”
Rania menggeser kursi makan dan duduk di sana. Diikuti hal yang sama oleh Jerry. "Kau lihat sendiri kan? Belum aku apa-apakan saja dia sudah sering ketakutan begitu. Bagaimana jika sampai aku pepet dia. Yang ada dia sudah kabur dari rumah ini.”
“Kalau begitu pintar-pintarnya kamu saja mendekati dia.