Pagi itu, suasana di ruang makan keluarga Pratama terasa hangat seperti biasa. Aroma kopi hitam yang baru diseduh memenuhi udara, bercampur dengan wangi roti panggang dan telur orak-arik. Anggara duduk di ujung meja, menyantap sarapannya dengan tenang. Di hadapannya, ayah dan ibunya sudah duduk rapi, sementara Esa, adik perempuannya, sibuk memainkan ponselnya sambil sesekali menyeruput jus jeruk. Tiba-tiba, suara berat sang papa memecah keheningan. “Anggara,” panggilnya, membuat pria itu mengangkat kepala. “Kapan kamu mulai serius memikirkan masa depan?” Anggara mengerutkan kening. “Maksud Papa?” Sang ayah, dr. Kusuma Pratama, meletakkan sendoknya dengan perlahan, lalu menatap putra sulungnya dengan ekspresi serius. “Papa sudah tidak muda lagi. Rumah sakit keluarga ini butuh pemimpin b