2. The Right Woman

1102 Kata
"Ya ... aku ingin segera menjadi istrimu." Camelia mencoba bersikap senatural mungkin dan tak terkesan terburu-buru. "Ayah lebih setuju dengan Camelia. Tapi kembali lagi terserah bagaimana kalian berdua yang menjalaninya," saran Samuel, menatap bergantian pada Camelia dan Narendra. "Bagaimana dengan Ibu?" Narendra meminta pendapat Angelina, karena ibunya terlihat lebih banyak diam dan tak banyak bicara. "Ibu yakin Camelia gadis yang baik." Angelina menatap pada Camelia. "Terserah kalian saja mau bertunangan dulu atau langsung menikah," lanjutnya kemudian. "Aku benar-benar malu," ujar Narendra. "Seorang gadis mengajakku menikah di depan orang tuaku sendiri." Dia memeluk singkat kekasihnya. Tawa pun kembali terdengar di ruangan itu. Mereka berbincang ringan, lebih tepatnya berbincang mengenal kehidupan Camelia selama ini. Kehidupan seorang gadis yang kehilangan kedua orang tuanya sekaligus. Camelia menceritakan bagaimana kehidupannya selama ini dengan Rachel, bibinya. Tak ada yang spesial, karena dia pun tidak mau terlihat lemah dan dikasihani. . Tanpa terasa hari semakin malam, Narendra pun berniat mengantarkan Camelia untuk pulang. "Ayah, Ibu, aku akan mengantarkan Camelia pulang." "Tidak usah, Narendra. Aku bisa memesan taksi," tolak Camelia halus. "Tidak-tidak. Sebagai calon suami yang baik aku harus memastikan calon istriku selamat sampai di rumah." Narendra bangkit dari duduknya dan mengulurkan tangannya pada Camelia. "Ayo, aku antar." Camelia pun tersenyum tipis kemudian meraih uluran tangan Narendra dan bangkit dari duduknya. Dia berpamitan pada Samuel dan Angelina. "Ayah, Ibu, terima kasih sudah menerimaku sebagai calon menantu kalian." "Ayah yang berterima kasih kamu sudah mau menerima Narendra. Dia anak kami satu-satunya, kami takut dia salah pilih wanita." Samuel memeluk singkat Camelia. "Jadi bagi Ayah, aku wanita yang tepat untuk Narendra?" Camelia tersenyum penuh arti. Samuel mengangguk mantap. "Ya. Kamu anak dari teman baikku, dan Ayah mengenalmu sejak kecil." "Tapi Ayah tidak bertemu aku selama belasan tahun. Semoga saja aku memang wanita tepat yang bisa mendampingi Narendra sesuai keinginan Ayah dan Ibu." "Kami percaya padamu, Camelia." Angelina kini yang angkat bicara. "Tentu saja kamu orang yang tepat." Narendra semakin menggenggam erat tangan Camelia. "Ayo, hari semakin larut." "Aku pamit dulu Ayah, Ibu. Sekali lagi terima kasih sudah menerimaku." Camelia pun berbalik dan senyum yang tadi ia tunjukkan langsung sirna seketika. Bibirnya kembali datar dan hanya berjalan mengekor di belakang Narendra. 'Kalian pikir aku wanita yang tepat untuk Narendra? Haha jangan bermimpi! Aku akan membuat hidup pria itu seperti neraka karena menikahi wanita yang salah.' Camelia berkata dalam hati disertai dengan senyum sinis di wajahnya. *** "Bibi, maaf aku terlalu lama membawa Camelia." Narendra singgah sebentar saat mengantar Camelia kembali ke rumah yang ia tinggali bersama Rachel. "Lain kali kamu harus tahu waktu membawa anak gadis orang." Rachel berkata ketus pada Narendra. Dia memang tidak suka dengan keluarga Samuel, namun Camelia malah mendekati putra pria itu. "Bibi Rachel," tegur Camelia merasa tak enak hati pada Narendra diketusi oleh bibinya sendiri. "Maafkan aku, Bibi Rachel." Narendra berucap tulus. "Kalau begitu aku pamit dulu. Selamat malam." Dia pun undur diri dan mengusap kepala Camelia sebelum pergi. "Bibi, ada apa denganmu?!" Nada Camelia meninggi saat memastikan Narendra sudah pergi. "Aku tidak setuju dengan rencanamu, Camelia! Batalkan rencana pernikahanmu dengan Narendra!" Rachel berseri tegas seolah tidak mau dibantah. Hubungan Camelia dan Rachel akhir-akhir ini memang sedang tidak baik. Ditambah rencana balas dendam Camelia yang dianggap konyol bagi Rachel. "Kenapa? Kenapa Bibi begitu menentang rencana balas dendamku pada keluarga Samuel? Jelaskan alasannya agar aku mengerti!" "Aku takut kamu benar-benar jatuh hati pada anak dari orang yang menyebabkan kakak kandung dan kakak iparku tewas!" Mata Rachel berkaca-kaca. Dia meraih kedua tangan Camelia. "Balas dendam bisa dengan cara lain, Camelia. Bibi takut kamu malah suka dengan Narendra dan malah meninggalkan Bibi," lirihnya dengan air mata yang akhirnya terjatuh. "Bibi ...." Camelia pun memeluk Rachel. "Maafkan aku. Aku kira Bibi melarangku menikah karena takut aku mengambil alih perusahaan." "Tidak sama sekali, Camelia. Gold Company memang milikmu, namun di surat wasiat yang ayahmu tulis kamu bisa mewarisinya saat telah menikah. Aku menahanmu menikah dengan Narendra bukan hal itu. Andaikan kamu menikahi Nial, aku tidak akan sama sekali menentang kalian." Meski sudah menjelaskan alasannya, namun upaya Rachel mencegah Camelia menikah dengan Narendra sepertnya sia-sia. Gadis itu tetap dengan pendiriannya. "Aku janji, aku tidak akan jatuh cinta pada Narendra. Bibi Rachel harus percaya padaku. Aku hanya ingin membalaskan dendamku." Camelia sekali lagi meyakinkan. Selanjutnya hanya isak tangis Rachel yang terdengar. Camelia sebenarnya merasa bersalah karena menuduh Rachel yang bukan-bukan, namun dia juga tidak mungkin mengurungkan rencananya karena sudah terlanjur menemui orang tua Narendra. "Apa kamu dan ibuku bertengkar?" Kate tanpa sengaja mendengar pertengkaran Camelia dan Rachel. "Hanya salah paham," jawab Camelia, tanpa menoleh pada Kate sama sekali. "Apa kamu tidak pernah menganggapku sebagai sepupumu? Kamu bahkan tidak menatap padaku saat bicara." Kate selama ini mencoba memendamnya, namun hari ini dia melontarkan apa yang ada dalam hatinya. Meski tahu sifat Camelia, entah kenapa malam ini Kate begitu sensitif dan tidak membiarkan seperti sebelum-sebelumnya. Camelia mendelik pada sepupunya itu. "Kate, kenapa kamu mengajakku berdebat selarut ini? Aku baru saja berdebat dengan ibumu." "Aku hanya ingin kamu anggap sebagai saudara," sahut Kate jujur. "Kenyataannya kita memang saudara. Lalu apa yang harus diperdebatkan?" "Sikapmu, Camelia! Sikapmu padaku lebih parah dari orang asing." Kate akhirnya mengutarakan isi hatinya, setelah tak ambil pusing selama ini. "Aku memang seperti ini sejak dulu. Jika kamu memang sepupuku, harusnya kamu tahu bagaimana aku!" Camelia balas berseru dan tak mau kalah. Kate terdiam, tak bisa menjawab Camelia. Dia memang tahu sepupunya itu menjadi dingin dan pendiam setelah peristiwa kecelakaan yang menimpanya 12 tahun lalu. Tak dapat jawaban dari lawan bicaranya, Camelia pun berjalan menuju kamarnya dan membaringkan tubuhnya di ranjang. Dia menatap langit-langit kamarnya dan berpikir ulang mengenai rencana balas dendanya. 'Sanggupkah aku menepati janjiku pada Bibi Rachel untuk tidak jatuh cinta pada Narendra?' Camelia bergumam dalam hati seraya memejamkan matanya dan tertidur. *** "Camelia, apa benar kamu ingin menikah dengan Narendra?!" Keesokan harinya Nial mendatangi Camelia setelah mendengar kabar dari Rachel semalam. Bibinya itu cepat sekali mengadu. "Pasti Bibi Rachel mengadu padamu," ujar Camelia santai seraya duduk di sofa dan mengambil majalah. "Kamu itu kekasihku, tapi kenapa malah menikah dengan pria lain? Apa kamu sudah tidak waras? Kamu anggap aku apa?" cecar Nial tak sabaran. Pria berambut keriting itu meminta penjelasan dari kekasihnya. "Nial!" Camelia menutup majalah dengan kesal. "Aku menikah dengan Narendra bukan karena cinta. Aku ingin balas dendam!" "Balas dendam macam apa sampai harus menikah dengannya?! Aku tidak setuju, Camelia. Kamu pacarku, seharusnya kamu menikah denganku!" Nial sakit hati, tentu saja. Dia dan Camelia menjalin hubungan, tapi pacarnya malah akan menikah dengan pria lain. "Kalau begitu kita putus saja." Camelia berujar dengan mudahnya, seolah hubungannya dengan Nial tidak ada artinya. Dia tidak mau siapapun menghalangi rencananya. "Camelia!" Nial menyerukan namanya frustasi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN