08. Pelacuur Barumu?

1147 Kata
Maria Alexander berjalan masuk ke dalam mansion dengan langkah angkuh. Jaket bulu macan tutul yang membungkus tubuhnya semakin menambah kesan glamor yang selalu ia tonjolkan. Raut wajahnya tampak kesal, bibirnya mengerucut saat menatap sekeliling. Dua bulan. Sudah dua bulan Daniel tidak pulang ke rumahnya, dan itu membuatnya marah besar. “Oh my God! Aku sungguh merindukan anakku yang durhaka ini!” teriak Maria, memegang mikrofon portabel yang entah dari mana ia dapatkan. Suaranya menggema ke seluruh sudut mansion. “DANIEL! DANIEL! DI MANA KAU, ANAK DURHAKA?!” Di ruang makan, Daniel yang sedang menikmati sarapannya hanya mendengus pelan. Ia sama sekali tidak kaget mendengar suara ibunya yang menggema seperti itu. Daisy, yang duduk di seberangnya, langsung mengerutkan kening. Matanya dipenuhi rasa penasaran sekaligus ketakutan. “Siapa?” tanyanya pelan, takut mengusik Daniel yang tampak tidak senang dengan kedatangan wanita itu. Daniel meletakkan garpunya dengan gerakan malas. “Mommy-ku,” jawabnya datar. “Wanita itu pasti membuat keributan setiap datang ke sini.” Daisy hanya bisa menelan saliva. Dari nada bicara Daniel, ia bisa merasakan betapa merepotkannya kehadiran wanita itu bagi Daniel. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa lagi, Daniel sudah berdiri dan berjalan menuju ruang tengah. Maria masih berdiri di sana, memegang mikrofonnya dengan ekspresi kesal. Begitu melihat Daniel muncul, ia langsung memutar bola matanya dan menurunkan mikrofon itu. “Akhirnya! Kau muncul juga, bocah kurang ajar!” bentaknya. “Kau tahu sudah berapa lama kau tidak pulang ke rumah?! Dua bulan, Daniel! Dua bulan!” Daniel hanya menatap ibunya dengan ekspresi datar. “Mom, turunkan mic itu. Kau berisik.” Maria mengibaskan tangannya dengan dramatis, lalu menyimpan mikrofonnya ke dalam tas mewahnya. “Dasar anak tidak tahu diri! Kau pikir aku tidak khawatir? Kenapa kau tidak pernah pulang?!” Daniel memutar bola matanya dan duduk di salah satu sofa dengan santai. “Aku sibuk. Aku tidak sempat.” Maria menghentak kaki. “Alasan! Aku tidak percaya itu!” Daniel hanya mengangkat bahu, mengibaskan tangannya seperti menepis kata-kata ibunya. “Terserah mau percaya atau tidak.” Maria mengerang kesal. Matanya tiba-tiba menangkap sosok seorang gadis cantik yang berdiri tidak jauh dari mereka. Daisy berdiri diam, tubuhnya tegang di bawah tatapan tajam Maria. Mata wanita paruh baya itu menyipit penuh selidik. “Dan siapa gadis ini?” Maria bertanya dengan nada tajam. Bibirnya melengkung sinis. “Apa ini p*****r barumu?” Daisy menunduk, mengepalkan tangannya erat-erat. Kata-kata Maria seperti tamparan keras baginya. Ia tahu statusnya di sini tidak lebih dari milik Daniel, tapi mendengar penghinaan itu langsung dari mulut ibu Daniel membuatnya merasa semakin kecil. Daniel menatap ibunya dengan pandangan tajam, rahangnya mengeras. “Jaga ucapanmu, Mom.” Maria tertawa kecil, menutup mulutnya seolah terhibur. “Kenapa? Aku hanya bertanya, Daniel. Kau tahu sendiri bagaimana kebiasaanmu dengan wanita. Jangan bilang kalau dia bukan seperti yang lain?” Daniel menghela napas panjang. “Daisy bukan seperti mereka.” “Oh?” Maria mengangkat alis, mendekati Daisy dengan langkah anggun. Ia menatap gadis itu dari ujung kepala hingga kaki, seakan menilai sesuatu yang menarik. “Lalu apa dia? Kenapa dia ada di sini?” Daisy tetap diam, tidak berani menatap Maria. Daniel yang akhirnya menjawab, “Dia milikku.” Maria menyipitkan matanya, mendekatkan wajahnya pada Daisy. “Milikmu, ya?” Ia mengangkat dagunya sedikit, ekspresinya penuh penilaian. “Apa dia tahu apa artinya menjadi ‘milik’ Daniel Alexander?” Daisy mengepalkan tangannya semakin erat, menahan diri agar tidak menangis. Ia sudah cukup dihina tadi malam oleh tamu-tamu Daniel, dan sekarang ibu pria itu ikut memperlakukannya seperti sampah. Maria tertawa pelan dan kembali berdiri tegak. “Oh, Daniel. Kau selalu punya selera yang aneh.” Ia melirik ke arah Daisy. “Berapa lama kau pikir gadis ini akan bertahan?” Daniel menatap ibunya dengan dingin. “Selama yang aku inginkan.” Maria mendesah dramatis. “Yah, terserah. Tapi aku hanya ingin mengingatkanmu satu hal.” Ia menatap Daniel dengan tajam. “Jangan sampai bocah ini membuatmu lemah.” Daniel tertawa kecil, seolah menganggap kata-kata ibunya lelucon. “Lemah? Aku?” Ia berdiri, mendekati Maria dengan tatapan tajam. “Mom, aku tidak pernah lemah.” Maria menyeringai, kemudian menepuk pipi Daniel dengan ringan. “Bagus kalau begitu.” Ia lalu mengambil tasnya, bersiap untuk pergi. “Aku hanya mampir untuk memastikan anakku masih hidup. Jangan terlalu lama menghilang lagi, atau aku akan datang dengan lebih banyak keributan.” Daniel hanya mengangguk tanpa minat. Maria melirik Daisy sekali lagi sebelum berjalan keluar. “Dan kau, gadis kecil,” katanya dengan nada sinis. “Semoga kau tahu apa yang kau hadapi.” Daisy tetap diam, menggigit bibirnya. Begitu Maria pergi, Daniel menghela napas panjang sebelum menoleh ke arah Daisy. “Jangan pikirkan kata-katanya,” katanya dengan nada malas. “Dia memang selalu seperti itu.” Daisy menunduk. Ia tahu itu, tapi tetap saja, kata-kata Maria terasa seperti duri yang menusuk jantungnya. Daisy menatap Daniel dengan senyum sendu, matanya yang biasanya berbinar kini tampak kosong. Ia menunduk sedikit, suaranya lirih saat berbicara, hampir seperti gumaman yang tertelan di udara. “Bukankah aku memang pelacurmu, Daniel?” Kata-kata itu begitu tenang, tapi menusuk. Daniel, yang masih berdiri dengan santai setelah kepergian ibunya, terkekeh sinis. Ia menyandarkan tubuhnya ke sofa, menatap Daisy dengan ekspresi penuh ejekan. “Ya.” Daisy menggigit bibirnya, tapi tidak berkata apa-apa. Daniel menyeringai, matanya berkilat penuh penghinaan. “Untunglah kau sadar diri.” Ia melipat tangannya di d**a, lalu menatap Daisy dari atas ke bawah dengan tatapan yang jelas-jelas meremehkan. “Jadi kau tidak akan bersikap seolah-olah kau lebih dari itu.” Daisy menelan ludah, tapi tetap berdiri di tempatnya. Setiap kata yang keluar dari mulut Daniel seperti pisau yang mengiris jiwanya perlahan. Tapi, bukankah itu memang benar? Sejak awal, ia bukan siapa-siapa di sini. Daniel berjalan mendekatinya, langkahnya santai tapi penuh ancaman. Begitu ia berdiri tepat di depan Daisy, ia mengangkat dagu gadis itu dengan dua jarinya, memaksa Daisy menatap langsung ke matanya. “Jangan pernah berpikir kau punya tempat istimewa di sini, Daisy,” ucapnya dengan suara rendah yang terdengar dingin. “Kau hanya alat. Kau di sini karena aku menginginkannya. Dan ketika aku bosan, kau tahu sendiri apa yang akan terjadi.” Daisy menatapnya tanpa ekspresi. Sudah terlalu banyak penghinaan yang ia terima, terlalu banyak rasa sakit yang ia simpan sendiri. Tapi tidak peduli seberapa keras ia mencoba menekan perasaannya, hatinya tetap sakit setiap kali Daniel berbicara seperti itu. Tangan Daniel akhirnya terlepas dari dagunya, dan pria itu berbalik, melangkah pergi tanpa rasa bersalah sedikit pun. “Jangan menangis,” ucapnya dengan nada sinis tanpa menoleh. “Itu menjengkelkan.” Daisy tidak bergerak dari tempatnya. Ia tidak akan menangis. Tidak kali ini. Tidak di hadapan Daniel. Ia hanya bisa menggenggam tangannya erat-erat, menahan gemetar yang muncul di tubuhnya. Ketika Daniel akhirnya menghilang dari pandangan, Daisy menghela napas panjang. Tidak ada tempat baginya untuk melarikan diri. Tidak ada cara baginya untuk keluar dari neraka ini. Dan itu yang paling menyakitkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN