09. Ajakan Ke Klub Malam

1002 Kata
Daisy sedang sibuk membersihkan kamarnya yang tidak terlalu besar tapi lebih besar dibanding kamarnya di apartemen. Tangan mungilnya mengelap meja kayu di sudut ruangan, memastikan tidak ada debu yang tertinggal. Dia selalu berusaha menjaga kamarnya tetap rapi meskipun dirinya tidak memiliki banyak barang. Kamar ini mungkin satu-satunya tempat di mana dia bisa merasa sedikit nyaman, meski hanya sebentar. Namun, ketenangannya terhenti seketika saat dia merasakan tarikan kuat di rambutnya. Tubuhnya tersentak ke belakang, membuatnya meringis kesakitan. "Akh!" erang Daisy, tangannya terangkat berusaha meraih kepala untuk meredakan rasa sakit. Tarikan itu datang dari seorang pria yang berdiri di belakangnya. Daniel Alexander. Daniel tidak mengendurkan pegangannya, bahkan menarik rambutnya lebih kuat hingga tubuh mungil Daisy sedikit terangkat. Wajah gadis itu meringis kesakitan, air mata menggenang di sudut matanya. "Lepaskan…," suara Daisy hampir tak terdengar karena sakit yang menjalar di kepalanya. Daniel akhirnya melepaskan genggamannya. Daisy segera menyentuh kepalanya, memeriksa apakah ada helaian rambut yang tercabut akibat perlakuan kasarnya. Tatapannya yang ketakutan terangkat ke arah Daniel, namun lelaki itu hanya menatapnya dingin, penuh kuasa. "Pakai bajumu yang bagus. Kita pergi ke klub malam," kata Daniel santai, seolah dia baru saja tidak menyakitinya. Daisy seketika pucat. Kata-kata itu seperti belati yang menusuk jantungnya. Klub malam. Tempat itu adalah neraka bagi dirinya. Dia masih mengingat kejadian terakhir kali Daniel membawanya ke sana. Saat itu, Daniel dengan santainya melelang dirinya di depan orang-orang m***m yang menatapnya penuh nafsu. Daisy tidak tahu bagaimana dia bisa selamat saat itu, yang dia ingat hanyalah dirinya menangis ketakutan di sudut ruangan sementara Daniel duduk santai menikmati pertunjukan seolah itu adalah hal yang biasa. "Tidak… aku tidak mau ke sana," bisik Daisy, suaranya penuh ketakutan. Daniel mendengkus pelan, sebuah ekspresi jengah terpampang di wajahnya. Dia mendekat, mengangkat tangan dan menjepit rahang Daisy dengan dua jarinya, membuat gadis itu menahan napas. "Kau pikir kau punya pilihan?" bisik Daniel dengan nada mengintimidasi. "Kau harus patuh pada tuanmu, kelinci kecil." Daisy menelan ludah, rasa takutnya semakin meningkat. Tidak ada gunanya melawan Daniel. Dia tidak akan pernah menang. "A-aku akan ganti baju," ucapnya dengan suara bergetar. Daniel tersenyum tipis, ekspresi puas muncul di wajahnya. Jarinya bergerak membelai rambut Daisy dengan lembut, seolah-olah dia tidak baru saja menyakitinya. "Bagus," gumamnya. "Kelinci kecil harus menurut pada tuannya." Daisy mengangguk kecil sebelum buru-buru beranjak ke lemari pakaiannya. Tangannya gemetar saat memilih pakaian, kepalanya masih terasa sakit akibat tarikan tadi. Dia tidak ingin pergi. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Satu hal yang dia tahu, malam ini akan menjadi malam yang panjang. *** Musik dentuman keras dari dalam klub malam langsung menyambut mereka begitu Daniel mendorong pintu masuk. Aroma alkohol bercampur asap rokok memenuhi udara, membuat Daisy semakin merasa tidak nyaman. Tubuhnya menegang ketika Daniel menggenggam tangannya erat, menyeretnya masuk melewati kerumunan orang-orang yang tengah berpesta pora. Daisy menundukkan kepala, tidak berani menatap siapa pun. Dia bisa merasakan tatapan tajam beberapa pria yang mengamati dirinya, seolah dia adalah mangsa yang siap diterkam kapan saja. Rasa takutnya semakin bertambah saat Daniel membawanya menuju ruangan VVIP, tempat yang lebih tertutup dan eksklusif. Pintu ruangan VVIP terbuka, memperlihatkan dua pria yang sudah menunggu di dalam bersama beberapa wanita berpakaian minim yang tengah bergelayut manja di lengan mereka. Kevin dan Joseph. Keduanya adalah teman dekat Daniel, pria-pria yang sama berkuasanya dan berbahayanya dengan Daniel. Kevin, pria dengan rambut hitam yang selalu tertata rapi, langsung melirik ke arah mereka begitu mereka masuk. Tatapannya tertuju pada Daisy yang tampak begitu ketakutan di samping Daniel. Senyum penuh arti tersungging di bibirnya. "Daniel," sapa Kevin santai, matanya masih tertuju pada Daisy. "Akhirnya kau datang. Dan kau membawa kelinci kecilmu lagi, huh?" Joseph, pria dengan tubuh kekar dan ekspresi selalu tenang, hanya melirik sekilas ke arah Daisy sebelum kembali sibuk dengan wanita di pangkuannya. Daniel tidak menjawab. Dia berjalan ke sofa panjang yang tersedia dan menarik Daisy untuk duduk di sampingnya. Gadis itu duduk dengan gelisah, kedua tangannya saling menggenggam erat di atas pahanya. Matanya menatap ke bawah, menghindari kontak mata dengan siapa pun. Daniel mengambil segelas wine yang sudah tersedia di atas meja, lalu meneguknya dengan santai. Setelah beberapa tegukan, dia menoleh ke arah Daisy, mengangkat gelasnya dan menyodorkannya ke hadapan gadis itu. "Minum," perintahnya. Daisy menggeleng cepat. "Aku tidak minum," suaranya hampir seperti bisikan. Daniel mendengkus, meletakkan gelasnya sebentar di atas meja sebelum menatap Daisy dengan tatapan tajam. "Aku tidak ingat memberimu pilihan, Daisy." Gadis itu menelan ludah, tubuhnya bergetar ketakutan. "Minum," ulang Daniel, kali ini suaranya lebih tegas dan memaksa. Daisy tahu tidak ada gunanya menolak. Jika dia terus menolak, Daniel bisa saja melakukan sesuatu yang lebih buruk padanya. Dengan tangan gemetar, dia mengambil gelas itu dari tangan Daniel dan menatap cairan merah tua di dalamnya. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum meneguk minuman itu sedikit. Namun, begitu cairan itu melewati tenggorokannya, dia terbatuk pelan. Rasa pahit dan panas langsung menyerang kerongkongannya, membuatnya merasa tidak nyaman. "Teguk lebih banyak," perintah Daniel lagi. Daisy menggigit bibir, tetapi tetap mematuhi. Kali ini, dia meneguk lebih banyak. Sensasi panas menjalar ke dalam tubuhnya, membuatnya merasa aneh. Kepalanya mulai terasa ringan, pandangannya sedikit kabur. Kevin tertawa kecil melihat ekspresi Daisy. "Sepertinya dia akan mabuk," katanya sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa dengan santai. Daniel hanya tersenyum tipis. Dia menatap Daisy yang mulai kehilangan fokus, tubuhnya sedikit goyah. Dengan lembut, dia mengangkat dagu gadis itu dengan jarinya. "Kau baik-baik saja, kelinci kecil?" tanyanya dengan nada main-main. Daisy mengerjap beberapa kali, kepalanya terasa pusing. Mulutnya terasa kering, dan dia tidak yakin apakah dia bisa tetap sadar lebih lama. Daniel tertawa kecil, lalu menarik gadis itu lebih dekat ke sisinya. "Malam ini masih panjang, Daisy," bisiknya di telinga gadis itu. "Bersiaplah." Daisy merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Dia ingin pergi. Dia ingin lari. Tapi dia tahu, tidak ada jalan keluar. Malam ini akan menjadi mimpi buruk lainnya bagi dirinya. Daisy tidak mau berada di sini dengan kepalanya yang terasa sangat pusing dan juga tangan Daniel yang mengusap pahanya sensual. Dia mau pergi dari sini. Tapi ... Daniel tidak akan membiarkan dirinya pergi dari klub malam yang membuat dirinya takut dan direcoki minuman alkohol oleh lelaki itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN