Daisy memegang kepalanya yang terasa semakin berat. Pusing yang menyerangnya akibat minuman tadi membuat tubuhnya terasa melayang-layang. Dia mengerang pelan sebelum tiba-tiba mulai menangis histeris.
"Aku tidak mau! Aku tidak mau di sini!" jeritnya dengan suara bergetar.
Tangannya yang gemetar meraih botol minuman di atas meja dan tanpa berpikir dua kali, dia melemparkannya ke lantai.
PRANG!
Botol itu pecah berkeping-keping, menciptakan suara yang menggema di dalam ruangan. Kevin, Joseph, dan Daniel yang sedang menikmati minuman mereka langsung tersentak kaget. Mata mereka membulat melihat Daisy yang sekarang tampak seperti orang gila.
"Daisy?!" Kevin mengernyit, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Joseph hanya menaikkan alisnya dengan santai, seolah adegan ini adalah hiburan gratis untuknya.
Daniel? Dia hanya menatap Daisy dengan tajam. Matanya menyipit, mengamati tingkah gadis itu yang semakin tak terkendali.
Daisy, masih dalam keadaan mabuk, tiba-tiba berdiri dengan gemetar, lalu berkacak pinggang sambil menunjuk ke arah Daniel.
"Kau! Mafia jahat!" serunya lantang, membuat semua orang di ruangan menatapnya dengan kaget.
Daniel menyilangkan tangan di dadanya, menatap Daisy dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Apa lagi sekarang, Daisy?" tanyanya, nada suaranya terdengar sedikit malas.
Daisy menggeleng keras, rambutnya yang sebelumnya tertata rapi kini berantakan. "Kau tidak mau menerima uang tabunganku untuk membayar hutang ayahku!" bentaknya, suaranya penuh emosi.
Kevin tertawa kecil, merasa terhibur. "Wow, ini pertama kalinya aku melihatnya berani melawanmu, Daniel."
Joseph mengangguk, setuju. "Dan dia tampaknya benar-benar mabuk."
Daniel tidak menanggapi komentar teman-temannya. Matanya masih fokus pada Daisy yang sekarang mulai tertawa kencang.
"Hahaha! Kau tahu apa, Daniel?" Daisy mengangkat kedua tangannya ke udara, lalu mulai menggerakkan tubuhnya dengan aneh. "Aku bisa menari! Lihat ini! Ini adalah tarian Australia!"
Kevin dan Joseph bertukar pandang, lalu mengernyit.
"Tarian Australia?" ulang Kevin dengan bingung.
Daisy menggerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri dengan gerakan yang aneh dan tidak beraturan. Kakinya menendang ke depan, tangannya bergerak seperti sedang menggiring sesuatu di udara. Dia benar-benar terlihat seperti orang gila sekarang.
Daniel mengusap wajahnya, berusaha menahan kekesalannya. "Daisy, hentikan."
Tapi Daisy tidak peduli. Dia terus menari, bahkan semakin liar.
"Aku adalah seorang artis!" serunya dengan bangga. "Aku lebih cantik dari wanita manapun!"
Joseph yang awalnya hanya menonton dalam diam akhirnya tertawa kecil. "Daisy yang ini lebih menghibur daripada Daisy yang biasanya diam dan takut."
"Setuju," tambah Kevin. "Aku tidak pernah melihatnya seberani ini sebelumnya."
Sementara itu, Daniel hanya menggelengkan kepala. "Daisy memang gila sekarang."
Daisy kembali tertawa, tapi tawa itu tidak bertahan lama. Tiba-tiba, dia berhenti dan langsung menjatuhkan dirinya ke lantai ruangan VVIP.
"Aku ingin bebas!" jeritnya, air mata mulai mengalir deras di pipinya. "Daniel jahat! Aku mau kabur dari mafia jahat ini!"
Kevin menaikkan alisnya. "Wow, dia benar-benar kehilangan akal sehatnya."
Joseph hanya tersenyum kecil. "Menarik."
Daniel, yang sejak tadi hanya memperhatikan, akhirnya menghela napas panjang. Dia tidak bisa membiarkan Daisy bertingkah seperti ini lebih lama.
"Daisy," panggilnya dengan suara tegas.
Namun, Daisy tidak mendengar. Dia masih tenggelam dalam dunianya sendiri, menangis tersedu-sedu di lantai.
Daniel akhirnya berdiri dan berjalan mendekatinya. Dengan gerakan cepat, dia menarik tangan Daisy dan membuat gadis itu terkejut.
"Aku bilang, duduk," perintahnya dingin.
Daisy memberontak, berusaha melepaskan tangannya. "Lepaskan aku! Aku tidak mau—"
Tapi Daniel lebih kuat. Dengan mudah, dia menyeret Daisy kembali ke sofa dan mendudukannya di sampingnya.
"Kau terlalu banyak membuat ulah malam ini," gumam Daniel sambil mengambil seutas tali dari saku jasnya.
Daisy yang masih dalam keadaan mabuk tidak sadar apa yang akan terjadi. Baru ketika Daniel mengikat kedua pergelangan tangannya, dia menyadari ada yang tidak beres.
"Hei! Apa yang kau lakukan?!" teriak Daisy panik, mencoba bergerak, tapi sia-sia. Tangannya sudah terikat kuat.
Daniel menatapnya dengan ekspresi dingin. "Aku tidak bisa membiarkanmu membuat lebih banyak kekacauan."
Daisy mendengus frustrasi. "Daniel, kau b******n!"
Kevin tertawa, menikmati drama yang terjadi di depannya. "Dia benar-benar mabuk berat."
Joseph mengangguk setuju. "Sepertinya kita tidak akan bosan malam ini."
Sementara itu, Daisy masih berusaha melepaskan dirinya, tetapi sia-sia. Dia menatap Daniel dengan mata berkaca-kaca, lalu berbisik lirih, "Aku hanya ingin bebas…"
Daniel menatapnya dalam diam. Ada sesuatu di tatapan gadis itu yang membuatnya terdiam sejenak. Namun, dia dengan cepat mengusir perasaan aneh yang muncul di hatinya.
"Kau tidak akan pernah bebas dari aku, Daisy," bisiknya di telinga gadis itu. "Terimalah nasibmu."
Daisy hanya bisa menutup matanya, air mata masih mengalir. Malam ini benar-benar mimpi buruk bagi dirinya.
Daisy terus menangis seperti anak kecil yang baru saja diambil permennya. Isakannya terdengar begitu memilukan, seakan semua kesedihan yang selama ini ia tahan akhirnya meledak dalam satu waktu.
“Aku mau ayahku…” isaknya dengan suara bergetar. “Aku rindu ayah… Aku mau bertemu dengannya… Aku mau memeluknya…”
Tangannya yang terikat berusaha meraih sesuatu yang tidak terlihat, seolah berharap ayahnya tiba-tiba muncul di hadapannya dan menyelamatkannya dari tempat ini.
Tapi harapan itu hanya angan-angan belaka.
Daniel yang sedari tadi hanya mengamati tingkah Daisy mulai merasa jengah. Dia menghela napas panjang sebelum mengusap wajahnya dengan kasar. Kepalanya mulai pusing mendengar ocehan gadis itu yang tidak kunjung berhenti.
“Kenapa aku tidak boleh menemui ayahku?” tangis Daisy semakin menjadi. “Apa yang kau lakukan padanya, Daniel? Kenapa kau tidak membiarkanku bertemu dengannya? Kau jahat! Kau—”
Daniel berdecak. Tanpa berpikir panjang, dia meraih gulungan lakban yang ada di atas meja dan langsung merobek sepotong panjang.
PLAK!
Daisy terkejut ketika sesuatu yang lengket menempel di mulutnya, menahan semua kata-kata yang ingin ia keluarkan. Matanya melebar, kepanikan mulai terlihat di wajahnya.
“Cukup.” Suara Daniel terdengar dingin. “Aku sudah cukup mendengar ocehanmu malam ini.”
Kevin yang melihat kejadian itu hanya terkekeh kecil. “Wow, kau benar-benar tega pada kelinci kecilmu, Daniel.”
Joseph ikut tersenyum tipis. “Dia berisik. Aku mengerti kenapa kau melakukan itu.”
Daisy berusaha bersuara, tetapi semua kata-katanya tertahan oleh lakban yang menutup mulutnya. Dia menggeliat, mencoba melepaskan diri, tetapi sia-sia.
Daniel menatapnya dalam diam, memperhatikan air mata yang masih mengalir di pipi gadis itu. Dia tahu Daisy mabuk dan tidak sadar dengan semua yang ia katakan, tapi tetap saja, mendengar nama ayah gadis itu keluar dari mulutnya dengan penuh kerinduan membuat hatinya terasa sedikit tidak nyaman.
Bukan karena dia merasa bersalah. Tidak.
Hanya saja, dia tidak menyangka gadis ini akan begitu merindukan pria yang sudah menyerahkannya sebagai jaminan hutang.
“Diamlah dan tenanglah,” kata Daniel pelan. “Aku tidak suka gadis yang berisik.”
Daisy hanya bisa menatapnya dengan penuh kebencian, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dia ingin berteriak, ingin melepaskan semua amarahnya, tapi semua itu sia-sia.
Daniel tersenyum tipis. Dia mengangkat dagu Daisy dengan satu jari dan menatapnya dalam-dalam.
“Kau harus terbiasa dengan ini, kelinci kecil.”
Air mata Daisy semakin deras. Malam ini benar-benar terasa seperti neraka baginya.