Daniel mencabut lakban di mulut Daisy dengan kasar. Suara sobekannya terdengar jelas di ruangan, diikuti dengan jeritan kesakitan dari gadis itu.
“Aduh! Sakit! Hiks!” Daisy langsung meraba mulutnya yang terasa perih. “Kau jahat, Daniel! Aku mau pulang!”
Daniel hanya menghela napas panjang, tidak peduli dengan rengekan Daisy. Namun, gadis itu tidak berhenti di situ. Dengan mata berbinar, dia tiba-tiba menarik lengan Daniel dan bergelayut manja.
“Tapi sebelum pulang, aku mau makan ramen!” rengeknya sambil mengayun-ayunkan lengannya seperti anak kecil yang meminta sesuatu dari orang tuanya.
Daniel yang mendengar itu hanya mendengkus sinis. “Kalau kau tidak diam, aku akan melelangmu lagi.”
Daisy langsung membeku. Matanya melebar, dan ekspresinya yang tadinya penuh rengekan berubah menjadi ketakutan. Tubuhnya gemetar, dan air matanya kembali menggenang di pelupuk matanya.
“Tidak! Aku tidak mau dilelang!” isaknya. “Aku hanya mau makan ramen… dan sushi… dan pizza… dan burger… dan semuanya…”
Kevin dan Joseph yang sedari tadi menyaksikan drama ini langsung tertawa kecil.
“Lucu sekali dia,” ujar Kevin sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa.
“Ya, biasanya dia begitu takut dan pendiam,” timpal Joseph. “Sekarang dia seperti anak kecil yang kelaparan.”
Daniel mengusap wajahnya dengan kesal. Telinganya mulai sakit mendengar rengekan Daisy. Dia menatap gadis itu yang sekarang menghentakkan kakinya di lantai sambil mengusap perutnya.
“Aku lapar! Aku mau makan sekarang!”
Daniel mengusap kupingnya yang terasa panas karena suara gadis itu. Dia tahu Daisy tidak akan diam jika keinginannya tidak dipenuhi.
Tanpa berpikir panjang, Daniel membungkuk, menyelipkan satu tangan di bawah kaki Daisy dan tangan lainnya di belakang punggungnya.
Daisy terkejut ketika tubuhnya tiba-tiba terangkat dari lantai. “Kyaa! Apa yang kau lakukan?”
“Diamlah.” Daniel menggendong Daisy keluar dari ruangan VVIP, meninggalkan Kevin dan Joseph yang masih tertawa kecil di belakang mereka.
***
Di luar klub malam, udara dingin Manhattan menusuk kulit. Daisy, yang masih dalam gendongan Daniel, merapatkan tubuhnya untuk menghalau dingin.
“Aku mau ramen,” gumamnya pelan, masih dalam keadaan mabuk.
Daniel menatapnya sekilas, lalu mendecak. “Sekarang jam tiga pagi, di Manhattan mana ada kedai ramen yang buka?”
Daisy cemberut. “Lalu aku harus bagaimana? Aku lapar…”
Daniel melirik ke sekeliling. Klub malam masih ramai, tapi sebagian besar restoran sudah tutup. Dia menghela napas panjang sebelum berjalan ke sebuah food truck yang masih buka di sudut jalan.
Dia menghampiri penjual burger di sana dan memesan satu porsi. Setelah mendapat pesanan, Daniel membawa Daisy ke mobilnya dan meletakkan gadis itu di kursi penumpang.
“Ini,” katanya, menyodorkan burger itu pada Daisy.
Daisy menatap burger itu sejenak, lalu mendengus. “Aku maunya ramen…”
Daniel melirik gadis itu dengan tatapan tajam. “Makan atau aku buang.”
Daisy langsung membelalakkan mata. “Tidak! Aku mau!”
Tanpa pikir panjang, dia langsung meraih burger itu dan mulai melahapnya dengan lahap. Daniel hanya menggeleng melihatnya.
Setelah beberapa gigitan, Daisy menatap Daniel dengan mata berkaca-kaca. “Daniel…”
“Apa lagi?”
“Terima kasih.”
Daniel terdiam. Ini pertama kalinya gadis itu mengucapkan terima kasih padanya. Biasanya, dia hanya menangis, memberontak, atau menatapnya dengan ketakutan.
Dia mengalihkan pandangannya ke luar jendela, pura-pura tidak peduli. “Makan saja.”
Daisy tersenyum kecil dan kembali mengunyah makanannya. Malam ini mungkin adalah malam paling kacau dalam hidupnya, tapi setidaknya, untuk pertama kalinya, dia merasa sedikit lebih nyaman di sisi Daniel.
Tapi apakah ini berarti dia mulai terbiasa dengan keberadaannya di sisi pria itu?
Atau hanya efek mabuk yang membuatnya berpikir demikian?
***
Daisy masih dalam gendongan Daniel, tangannya yang lemah melingkar di leher pria itu. Kepalanya bersandar di bahunya, dan nafasnya terasa hangat di kulit Daniel.
“Daniel…” gumamnya dengan suara manja.
“Hm?”
Daisy mengangkat kepalanya dan menatap wajah Daniel dari jarak yang begitu dekat. Matanya yang sedikit berkabut karena mabuk menatap pria itu dengan kekaguman yang nyata.
“Kau… sangat tampan…” ujarnya dengan nada memuja.
Daniel terkekeh kecil. “Tentu saja aku tampan. Kau baru sadar sekarang?”
Daisy mengerucutkan bibirnya. “Aku sudah tahu… tapi sekarang aku melihatmu lebih tampan…”
Tangan mungilnya terangkat, jari-jarinya menyentuh rahang Daniel dan mulai mengusapnya pelan. Seolah-olah dia sedang menilai betapa sempurna garis wajah pria itu.
Daniel hanya membiarkan Daisy memainkan wajahnya, matanya menatap gadis itu dengan tatapan geli. Tapi itu tidak bertahan lama. Dengan gerakan cepat, Daniel melempar tubuh Daisy ke atas ranjang empuk di kamar mereka.
BRUK!
Daisy terkekeh kecil saat tubuhnya membal ke kasur. Namun, tawa itu tidak bertahan lama.
Wajahnya tiba-tiba berubah pucat.
Daniel, yang hendak melepas jasnya, tiba-tiba menegang saat melihat ekspresi aneh di wajah Daisy.
“Daisy?” tanyanya, curiga.
Daisy menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya melebar seolah sedang menahan sesuatu.
“Jangan bilang kau—”
Terlambat.
BLARGH!
Daisy memuntahkan isi perutnya di lantai kamar.
Daniel langsung meringis, ekspresi wajahnya berubah jijik dalam sekejap. “Sial… Kau membuat kerjaan saja.”
Daisy hanya bisa mengerang lemah, tubuhnya terasa semakin berat. Air mata menggenang di pelupuk matanya, merasa sangat tidak nyaman.
Daniel mendecak kesal, lalu berjalan ke luar kamar. Dia segera memanggil beberapa pelayan untuk membersihkan kekacauan yang dibuat Daisy.
Tak butuh waktu lama, tiga pelayan perempuan datang dengan membawa alat pembersih.
“Tuan, apa yang harus kami lakukan?” salah satu pelayan bertanya dengan sopan.
“Bersihkan muntahnya dan mandikan dia,” perintah Daniel.
Ketiga pelayan itu segera bekerja, satu orang membersihkan lantai, sementara dua lainnya mendekati Daisy yang masih terbaring lemah di ranjang.
“Permisi, Nona,” kata salah satu pelayan dengan lembut. “Kami akan membantu Anda membersihkan tubuh.”
Daisy menggumamkan sesuatu yang tidak jelas, tetapi tidak menolak. Tubuhnya masih lemah karena efek mabuk.
Daniel hanya berdiri di sudut ruangan, memperhatikan semuanya dengan tatapan malas. Dia tidak ingin berurusan dengan hal seperti ini.
Ketika salah satu pelayan mulai membuka pakaian Daisy, Daniel langsung berbalik dan keluar dari kamar.
“Aku tidak ingin melihat hal ini. Pastikan dia bersih sebelum aku kembali,” ujarnya dingin sebelum menutup pintu.
Malam yang seharusnya berakhir damai malah berubah menjadi kekacauan total karena Daisy. Gadis itu ketika mabuk memang benar-benar membuat Daniel begitu geram dan tidak sanggup melihat ulah Daisy sampai muntah di dalam kamar.
Dasar gadis miskin tidak pernah minum alkohol, sehingga membuat ulah sekarang dan membuatnya pusing seketika. Daniel tidak bisa mengajak Daisy minum terus kalau seperti ini.