Daisy mengerang pelan, tangannya meraih kepalanya yang terasa berdenyut hebat. Dia menyipitkan mata saat cahaya matahari yang masuk dari celah jendela mengenai wajahnya. Pandangannya masih buram, dan tubuhnya terasa lelah.
Dia duduk perlahan di atas ranjang, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Namun, otaknya masih terasa kosong, seolah-olah ingatannya terhapus begitu saja.
"Apa yang terjadi semalam?" gumamnya.
Daisy mencoba mengingat. Dia ingat berada di klub malam, ingat Daniel menyeretnya ke dalam ruangan VVIP, ingat dirinya minum sesuatu yang membuat tenggorokannya terasa terbakar... Lalu, semuanya menjadi kabur.
Sebelum dia sempat memikirkan lebih jauh, pintu kamar terbuka.
Daniel masuk ke dalam dengan ekspresi datar. Tatapannya dingin seperti biasa, tidak menunjukkan sedikit pun emosi.
“Kau sudah bangun?” tanyanya, suara baritonnya terdengar memenuhi ruangan.
Daisy hanya menatap pria itu dengan bingung. “Daniel... Apa yang terjadi semalam?”
Daniel tidak menjawab langsung. Dia hanya bersedekap dan menatapnya dari atas ke bawah.
“Mandi dan turun sarapan. Aku tidak suka menunggu,” ucapnya singkat.
Namun, Daisy tidak begitu peduli dengan perintahnya. Yang ada di kepalanya hanyalah kebingungan dan kekhawatiran.
“Apa yang terjadi semalam?” tanyanya lagi, kali ini lebih serius.
Daniel tiba-tiba menyeringai. Tatapannya penuh dengan ejekan saat ia mendekat dan mencondongkan tubuhnya ke arah Daisy.
“Semalam? Oh, kau tidak ingat?” bisiknya dengan nada licik. “Aku mengambil keperawananmu.”
Jantung Daisy seolah berhenti berdetak.
Matanya membelalak, dan seluruh tubuhnya langsung menegang. Nafasnya memburu, dan tangannya gemetar.
“T-Tidak mungkin...”
Tanpa pikir panjang, Daisy langsung terjun dari atas ranjang dan berdiri di depan cermin besar di sudut ruangan. Dia menatap pantulannya sendiri dengan panik.
Dia masih mengenakan piyama. Tidak ada yang berubah.
Dengan tangan gemetar, dia berbalik ke arah ranjang dan melihat seprei putih yang masih bersih. Tidak ada bercak darah. Tidak ada tanda-tanda bahwa sesuatu telah terjadi padanya.
Daniel melihat reaksi Daisy dan mendengus pelan.
“Dasar gadis bodoh,” ujarnya sinis sebelum berbalik dan berjalan keluar dari kamar.
Daisy masih berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang.
Jadi... Daniel hanya menggodanya?
Tapi kenapa dia merasa begitu takut?
***
Daisy berjalan menuruni tangga dengan langkah lemah, tangannya masih memegang kepalanya yang terasa sakit. Sakit kepala akibat mabuk semalam benar-benar menyiksanya. Dia masih belum bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi di klub malam. Yang dia tahu hanyalah perasaan tidak nyaman yang masih menyelimuti hatinya.
Ketika sampai di ruang makan, Daisy melihat meja sudah dipenuhi dengan berbagai macam makanan. Aroma roti panggang, bacon, dan telur membuat perutnya yang kosong mulai memberontak.
Di ujung meja, Daniel duduk dengan santai, membaca koran sambil menyeruput kopinya. Dia tidak menoleh saat Daisy masuk, tetapi suaranya terdengar tegas.
“Jangan hanya berdiri di sana. Sarapan.”
Daisy mengangguk pelan. Dia berjalan mendekat dan menarik kursi sebelum duduk. Tangannya dengan gemetar mengambil garpu dan mulai menyendok makanannya.
Namun, perasaan aneh masih mengganggu pikirannya. Setiap kali dia menatap Daniel, ingatan tentang kata-kata pria itu tadi pagi kembali menghantuinya.
‘Aku mengambil keperawananmu.’
Daisy menelan ludahnya dengan susah payah. Dia tidak percaya begitu saja dengan perkataan Daniel, tetapi rasa takut itu tetap ada. Dia ingin menanyakan lagi apakah pria itu hanya menggodanya, tetapi lidahnya terasa kelu.
Daniel akhirnya meletakkan korannya dan menatap Daisy dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Kau masih linglung?” tanyanya dengan nada dingin.
Daisy tersentak, buru-buru menggeleng. “T-Tidak…”
Daniel menyeringai. “Bagus. Sekarang habiskan sarapanmu dan ganti pakaian.”
Daisy menghentikan gerakannya. Dia menatap Daniel dengan bingung. “Ganti pakaian? Untuk apa?”
Daniel meneguk kopinya sebelum menjawab, “Kita akan pergi.”
Daisy semakin bingung. “Pergi ke mana?”
Daniel hanya menatapnya tajam, menyunggingkan senyum misterius yang membuat jantung Daisy berdetak lebih cepat.
“Kau akan segera tahu.”
***
Setelah menyelesaikan sarapannya dengan perasaan tak menentu, Daisy naik ke kamar dan mengganti pakaiannya seperti yang diperintahkan. Dia memilih gaun sederhana berwarna krem dengan lengan panjang yang menutupi sebagian besar tubuhnya. Rambutnya ia biarkan tergerai, berusaha menutupi wajahnya yang masih terlihat pucat karena efek mabuk semalam.
Ketika turun ke bawah, Daniel sudah menunggunya di dekat pintu dengan setelan jas kasualnya yang membuatnya terlihat begitu elegan dan berwibawa.
“Cepat sekali,” gumamnya sambil melirik Daisy dari ujung kepala hingga kaki.
Daisy tidak menjawab. Dia hanya menunduk dan menggenggam ujung gaunnya dengan gugup.
Daniel menghela napas. “Ayo.”
Daisy mengikuti Daniel keluar rumah, masih bertanya-tanya ke mana pria itu akan membawanya. Begitu mereka sampai di mobil, Daniel membukakan pintu untuknya. Daisy ragu sejenak sebelum masuk, dan tak lama kemudian, mobil mulai melaju meninggalkan mansion.
Selama perjalanan, Daisy tidak berani bertanya lagi. Daniel tampak sibuk dengan ponselnya, mengabaikan keberadaannya.
Daisy hanya bisa menggigit bibirnya, hatinya dipenuhi dengan pertanyaan dan ketakutan.
Ke mana Daniel akan membawanya?
Dan apa yang akan terjadi setelah ini?
**
Daisy menatap bangunan besar dan gelap di hadapannya dengan ketakutan yang nyata. Markas mafia tempat Daniel membawanya bukanlah sekadar gedung biasa. Dindingnya tinggi dengan kamera pengawas di setiap sudut. Beberapa pria berbadan kekar dengan wajah dingin berjaga di gerbang utama, memegang senjata api di tangan mereka.
Suara tembakan terdengar di kejauhan, membuat tubuh Daisy bergetar hebat.
Ketakutan semakin menjalar ke seluruh tubuhnya. Tangannya secara refleks meraih lengan Daniel, memeluknya erat seolah dia bisa mendapatkan perlindungan dari pria itu.
Daniel meliriknya sekilas, tetapi tidak menepis pelukan itu.
“Takut?” tanyanya dengan nada datar.
Daisy menelan ludah. “K-Kenapa kita ke sini?” suaranya bergetar.
Daniel menyeringai. “Karena aku ingin kau melihat duniamu yang baru, kelinci kecil.”
Daisy semakin mempererat pelukannya pada lengan Daniel. Hatinya mencelos mendengar ucapan pria itu. Dunia baru? Apakah dia akan dipaksa tinggal di tempat mengerikan ini?
Mereka berjalan melewati gerbang, dan beberapa pria berbaju hitam memberi hormat pada Daniel.
“Tuan,” ujar salah satu dari mereka.
Daniel hanya mengangguk singkat dan terus melangkah. Daisy hampir terseret karena langkahnya yang cepat, tetapi dia tidak berani melepaskan pegangan pada pria itu.
Begitu mereka memasuki bangunan utama, aroma tembakau dan alkohol langsung menyambut. Ruangan itu luas, dengan beberapa pria yang duduk di sofa kulit sambil berbincang serius. Beberapa di antaranya sedang membersihkan senjata, sementara yang lain tertawa keras seolah tidak ada yang perlu mereka takuti di dunia ini.
Daisy semakin merapat ke tubuh Daniel. Dia merasa seperti seekor kelinci yang dikelilingi oleh kawanan serigala lapar.
Daniel terus membawanya berjalan hingga mereka sampai di sebuah ruangan besar. Begitu mereka masuk, Daisy melihat seorang pria tua duduk di belakang meja panjang.
Mata pria itu tajam dan penuh wibawa. Tubuhnya masih tegap meskipun usianya sudah cukup tua.
Pria itu mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis saat melihat Daniel.
“Akhirnya kau datang.”
Daniel mengangguk. “Aku membawa seseorang.”
Daisy merasa jantungnya hampir melompat keluar dari dadanya ketika tatapan pria itu beralih kepadanya.
Mata pria itu menyipit sedikit. “Jadi ini gadisnya?”
Daniel menyeringai. “Ya.”
Daisy semakin menggenggam lengan Daniel dengan erat. Dia tidak tahu siapa pria ini, tetapi dia bisa merasakan kekuatan besar yang terpancar dari sosoknya.
Pria tua itu menyandarkan tubuhnya ke kursi, masih menatap Daisy dengan penuh ketertarikan.
“Daisy, bukan?” tanyanya.
Daisy tersentak, lalu mengangguk pelan. “I-Iya…”
Pria itu tertawa kecil. “Kau tampak ketakutan. Jangan khawatir, tidak ada yang akan menyakitimu—selama kau menurut.”
Daisy menegang mendengar kata-kata itu.
Daniel menyandarkan tubuhnya ke dinding dan menatap pria itu dengan ekspresi malas. “Kau ingin melihatnya, kan? Sekarang kau sudah melihatnya. Aku akan membawanya pergi.”
Daisy menatap Daniel dengan penuh harapan. Dia tidak ingin berada di tempat ini lebih lama lagi.
Namun, pria tua itu mengangkat tangan, menghentikan langkah Daniel.
“Tidak secepat itu.”
Daniel mengangkat alis. “Apa lagi?”
Pria tua itu menatap Daisy sekali lagi, lalu tersenyum tipis. “Aku ingin melihat apakah dia layak menjadi bagian dari kita.”
Daisy langsung pucat.
Apa maksudnya?
Pria itu menoleh ke salah satu anak buahnya. “Bawa seseorang ke sini.”
Anak buahnya mengangguk dan pergi keluar.
Daniel menghela napas, tampak tidak tertarik dengan apa yang sedang terjadi.
Tak lama kemudian, seorang pria lain masuk ke dalam ruangan, menyeret seseorang yang terikat dan ditutup matanya.
Daisy membeku saat melihat orang itu berlutut di lantai, tubuhnya gemetar.
“Apa maksudnya ini?” tanya Daniel dengan nada bosan.
Pria tua itu tersenyum dingin. “Aku ingin melihat apakah gadis ini bisa membuktikan kesetiaannya.”
Daisy menelan ludah, tangannya semakin berkeringat.
Salah satu pria berbaju hitam mengeluarkan pisau dan menyerahkannya kepada Daisy.
“Bunuh dia,” perintah pria tua itu dengan suara santai, seolah meminta Daisy untuk melakukan hal yang sepele.
Mata Daisy membesar.
“Apa?!” suaranya bergetar.
Pria tua itu menatapnya tajam. “Bunuh dia, atau kau yang akan mati.”
Daisy merasa tubuhnya membeku. Tangan yang memegang pisau mulai gemetar hebat.
Dia tidak bisa membunuh orang!
Daisy menoleh ke arah Daniel, berharap pria itu akan membantunya. Namun, Daniel hanya menatapnya dengan ekspresi datar, tidak menunjukkan tanda-tanda akan campur tangan.
Daisy merasa seperti dunia sedang runtuh di sekelilingnya.
Haruskah dia benar-benar melakukannya?
Jika tidak, apakah dia yang akan mati?
Daisy menatap pria yang berlutut di depannya. Pria itu masih gemetar, seolah tahu bahwa ajalnya akan segera tiba.
Air mata mulai menggenang di mata Daisy.
Dia tidak ingin menjadi pembunuh…
Tapi dia juga tidak ingin mati…
Tangannya mencengkeram pisau lebih erat.
Keputusan besar ada di tangannya sekarang.
Dan dia tidak tahu harus memilih apa.