Ruangan itu sunyi setelah suara tembakan menggema. Aroma mesiu masih terasa di udara. Tubuh lelaki yang tadi menjadi target terkapar di lantai, nyawanya sudah melayang dalam sekejap.
Daisy berdiri kaku. Matanya melebar, tangannya gemetar hebat. Pisau yang tadi diberikan orang suruhan Daniel terlepas dari genggamannya, jatuh ke lantai dengan suara berdenting. Dia menatap Daniel dengan ketakutan, tubuhnya terasa lemas.
Daniel menghela napas, lalu tertawa kecil. "Seperti yang kuduga, kau tidak bisa melakukannya."
Daisy menelan ludah, suaranya serak. "K-Kau membunuhnya begitu saja..."
Daniel menyeringai. "Kenapa? Apa kau pikir dia pantas hidup?"
Daisy menggeleng pelan, langkahnya mundur. Namun, sebelum dia sempat menjauh, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Dia hampir terjatuh jika saja Daniel tidak sigap menangkapnya.
"Astaga, kau benar-benar menyusahkan." Daniel mendecak. "Kau baik-baik saja?"
Daisy menggeleng, suaranya nyaris tak terdengar. "Tidak... aku... aku butuh minum."
Daniel melirik anak buahnya yang berdiri di dekat pintu. "Ambilkan air untuknya," perintahnya.
Tak butuh waktu lama, segelas air putih diberikan kepada Daisy. Dengan tangan masih gemetar, dia meraih gelas itu dan meneguknya hingga habis. Meski begitu, tubuhnya tetap terasa lemas, pikirannya masih dipenuhi kejadian barusan.
Daisy menunduk, mencengkeram kepalanya yang terasa pening. "Daniel... kau benar-benar seorang mafia..." suaranya bergetar.
Daniel mendengus. "Tentu saja. Apa menurutmu aku hanya seorang pengusaha biasa?"
Daisy memejamkan mata, tubuhnya mulai kehilangan tenaga. Pandangannya berputar, dan sebelum dia bisa mengucapkan sepatah kata lagi, kegelapan menyelimuti pikirannya.
"Hei—" Daniel berusaha menahannya, tetapi Daisy sudah jatuh pingsan dalam pelukannya.
Daniel mendecak. "Ck! Menyusahkan."
Tanpa berkata banyak, dia menggendong Daisy dalam pelukannya dan berjalan keluar dari ruangan itu. Para anak buahnya menatap mereka, tetapi tak satu pun berani berkomentar.
Daniel membawa Daisy ke kamarnya yang berada di dalam markas. Dia membaringkannya di atas ranjang dengan hati-hati. Matanya menatap wajah Daisy yang tertidur, wajah yang begitu tenang dibandingkan beberapa saat lalu ketika ketakutan menguasainya.
Tangan Daniel tergerak, mengusap pipi Daisy perlahan. "Kenapa kau harus menjadi gadis mikisin, hmm?" gumamnya lirih.
Tanpa sadar, dia menundukkan kepala dan mengecup pipinya sekilas. Hanya sebentar, tetapi cukup membuatnya terdiam sejenak sebelum akhirnya dia bangkit dan melangkah keluar dari kamar.
Setelah menutup pintu, Daniel berjalan ke ruangan IT. Dia harus kembali ke pekerjaannya. Dunia ini tak akan menunggu hanya karena seorang wanita pingsan di kamarnya.
Saat tiba di ruangan IT, salah satu anak buahnya langsung melapor.
"Bos, kami menemukan sekelompok orang yang berani memasukkan senjata ke wilayah kita. Mereka sepertinya dari luar negeri."
Daniel menyeringai. "Menarik. Apa kita sudah tahu siapa dalangnya?"
"Belum, tapi kami sedang melacaknya."
Daniel duduk di kursi dan menatap layar monitor yang dipenuhi data-data. "Bagus. Aku ingin mereka dihabisi sebelum sempat melangkah lebih jauh."
"Dimengerti, Bos."
Daniel menyandarkan punggungnya, ekspresinya berubah serius.
***
Daniel mengisap cerutunya, menghembuskan asap ke udara dengan ekspresi datar. Seringai tipis menghiasi wajahnya saat dia menatap dua lelaki yang terikat di depannya. Keduanya berlutut di lantai beton yang dingin, tubuh mereka sudah penuh luka lebam akibat interogasi sebelumnya. Namun, mereka masih menutup mulut rapat-rapat.
Daniel berjongkok di depan mereka, menatap dengan tajam. "Aku akan memberikan kalian satu kesempatan terakhir." Suaranya rendah, tetapi penuh ancaman. "Siapa yang menyuruh kalian memasukkan senjata ke wilayahku?"
Kedua lelaki itu tetap diam, saling bertukar pandang seolah mencari jawaban di mata satu sama lain.
Daniel mendengus sinis, lalu berdiri dan tanpa peringatan, dia menendang salah satu dari mereka tepat di d**a. Lelaki itu jatuh tersungkur, batuk darah, tapi tetap tidak membuka mulut.
Daniel menjilat bibirnya, matanya berkilat marah. "Kalian benar-benar membuatku tidak sabar."
Dia menarik pisau dari sarungnya, lalu berjongkok kembali. Dengan gerakan lambat, dia menyeret mata pisau itu di sepanjang lengan salah satu lelaki tersebut, menciptakan luka tipis yang segera mengeluarkan darah.
Lelaki itu menggertakkan giginya, berusaha menahan rasa sakit.
Daniel terkekeh. "Kagum juga saya melihat tekad kalian. Tapi, saya bukan orang yang sabar."
Dengan satu gerakan cepat, dia menusukkan pisau ke paha lelaki itu. Jeritan kesakitan memenuhi ruangan, tetapi Daniel hanya menghela napas seolah bosan.
"Aku akan bertanya lagi. Siapa yang menyuruh kalian?"
Lelaki yang satu lagi menoleh ke arah temannya yang terluka, tetapi tetap tidak mengatakan apa pun. Daniel menyipitkan mata, kemudian tanpa peringatan, dia menusukkan pisau itu lebih dalam.
"AARGH!!"
Darah mulai menggenangi lantai, tetapi Daniel tidak menunjukkan belas kasihan sedikit pun.
"Kalian tahu? Aku bisa terus melakukan ini sepanjang malam," ujarnya santai. "Atau mungkin aku harus menggunakan metode lain?"
Dia mengambil pistol dari pinggangnya dan mengarahkannya ke kepala lelaki yang berteriak tadi. "Satu kata saja, dan kau akan tetap bernapas."
Lelaki itu terisak, matanya berair karena rasa sakit yang luar biasa. Namun, sebelum dia sempat membuka mulut, rekannya menggelengkan kepala, memberi isyarat agar tidak berbicara.
Daniel tersenyum sinis. "Kesetiaan yang mengagumkan. Sayang sekali aku tidak peduli."
DOR!
Peluru menembus kepala lelaki yang terluka, membuat tubuhnya ambruk ke lantai dalam sekejap.
Lelaki yang tersisa menatap tubuh rekannya dengan ketakutan, wajahnya kini pucat pasi.
Daniel beralih padanya, meletakkan moncong pistol tepat di dahinya. "Sekarang giliranmu. Aku masih bisa menyelamatkanmu. Katakan siapa dalangnya."
Lelaki itu mulai gemetar, bibirnya bergetar, tetapi tetap tak ada satu pun kata yang keluar.
Daniel menghela napas panjang, lalu memasukkan kembali pistolnya. "Baiklah. Sepertinya kau ingin mati dengan cara yang lebih menyakitkan."
Dia meraih pisau yang berlumuran darah tadi dan mulai menggoreskannya di leher lelaki itu dengan perlahan, menikmati suara rintihan dan ketakutan yang tergambar jelas di matanya.
"Jangan khawatir," bisik Daniel di telinganya. "Aku akan memastikan kau bertemu temanmu di neraka."
Lelaki itu menggigil, tetapi hanya dalam hitungan detik, Daniel menekan pisaunya dengan lebih kuat—dan semuanya berakhir.
Suara gemuruh napas anak buah Daniel memenuhi ruangan. Mereka sudah terbiasa melihat kejadian seperti ini, tetapi tetap saja, menyaksikan bos mereka membunuh dengan begitu tenang selalu menimbulkan perasaan ngeri tersendiri.
Daniel berdiri, mengusap tangannya dengan sapu tangan putih sebelum melemparkannya ke lantai yang sudah berlumuran darah.
"Bersihkan ini," perintahnya singkat. "Dan cari tahu siapa yang ada di balik semua ini. Aku ingin jawabannya sebelum pagi."
"Siap, Bos!" Anak buahnya segera bergerak, membersihkan jejak pembantaian yang baru saja terjadi.
Daniel berjalan keluar dari ruangan itu dengan langkah santai, kembali mengisap cerutunya. Namun, pikirannya kini kembali ke satu hal—atau lebih tepatnya, satu orang.
Daisy.
Wanita itu masih tertidur di kamarnya, mungkin masih belum menyadari betapa berbahayanya dunia yang kini dia masuki.
Daniel tersenyum kecil. Mungkin sudah waktunya Daisy menyadari siapa dirinya sebenarnya.
Bukankah menjadi p*****r mafia harus masuk ke dalam dunia kejam ini juga?