14. Markas Binatang

1606 Kata
Daisy terbangun dari pingsannya, kepalanya masih terasa berat. Dia menatap sekitar kamar dan menyadari kalau dirinya tidak berada di kamarnya di mansion Daniel. Ruangan ini asing, tetapi tetap mewah dengan desain interior yang didominasi warna hitam dan emas. Daisy duduk di tepi ranjang, mencoba mengingat apa yang terjadi. Lalu semuanya kembali menghantam pikirannya—Daniel, tembakan, darah, dan ketakutan yang menyelimuti dirinya. "Aku pingsan..." gumamnya lirih. Dengan sedikit goyah, dia turun dari ranjang dan berjalan keluar dari kamar. Begitu keluar, dia baru sadar betapa besar tempat ini. Markas Daniel tidak seperti yang dia bayangkan. Ini bukan sekadar tempat persembunyian mafia biasa, melainkan sebuah benteng yang dipenuhi keamanan ketat. Daisy berjalan tanpa alas kaki, menelusuri koridor yang luas. Langkahnya ragu-ragu, matanya tertuju pada beberapa senjata yang tergeletak begitu saja di atas meja dan rak di sepanjang ruangan. Dia menelan ludah, menyadari betapa berbahayanya tempat ini. Namun, sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, napasnya tercekat. Di depannya, seekor singa besar berdiri. Mata kuning binatang buas itu menatap langsung ke arahnya, bulunya keemasan dan tubuhnya besar serta berotot. Daisy bisa merasakan ketegangan di udara. Singa itu seperti siap menerkamnya kapan saja. Tubuh Daisy gemetar hebat, kakinya terasa lemas. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Dia ingin berlari, tetapi tubuhnya membeku. Lalu, sebuah suara terdengar. "Tenang." Seorang wanita berjalan mendekat. Dia memiliki rambut pirang panjang yang diikat tinggi, wajahnya tegas namun tetap anggun. Matanya tajam seperti seorang prajurit terlatih. Wanita itu mengisyaratkan sesuatu, dan beberapa pria berbadan besar segera menghampiri singa tersebut. Mereka menariknya kembali, membawanya masuk ke dalam kandang yang tak jauh dari situ. Daisy masih terengah-engah, matanya belum bisa lepas dari singa yang baru saja hampir menerkamnya. Wanita itu tersenyum kecil. "Maaf. Seharusnya dia tidak berada di luar kandang." Daisy menoleh, masih berusaha mengatur napas. "Singa...? K-Kenapa ada singa di sini?" Wanita itu terkekeh. "Daniel menyukainya. Singa adalah lambang kekuatannya. Tapi jangan khawatir, dia tidak akan menyakitimu." Daisy menelan ludah, lalu mengangguk pelan. "Namaku Victoria," kata wanita itu, memperkenalkan diri. "Aku salah satu orang kepercayaan Daniel." Daisy mencoba tersenyum meski tubuhnya masih lemas. "Aku Daisy..." "Aku tahu," balas Victoria. "Aku juga tahu kau belum makan. Ikut aku ke dapur, aku menyiapkan banyak makanan." Daisy menatap Victoria ragu, tetapi ketika perutnya berbunyi, dia tersipu malu. Victoria tertawa kecil. "Kau pasti lapar. Ayo, ikut aku." Daisy akhirnya mengangguk dan mengikuti Victoria ke dapur. Begitu sampai, matanya membelalak melihat meja yang penuh dengan berbagai makanan lezat—steak, pasta, sup krim, salad, dan beberapa hidangan lain yang bahkan tidak bisa dia kenali. "Silakan," kata Victoria sambil tersenyum. Daisy mengambil garpu dan mulai mencicipi semua makanan di hadapannya. Rasanya luar biasa enak. Dia tersenyum lebar, membuat Victoria ikut tersenyum melihatnya. Namun, kesenangan itu tidak berlangsung lama. Suara langkah kaki yang berat terdengar di belakang mereka. Daisy menoleh, dan jantungnya hampir berhenti berdetak saat melihat Daniel berdiri di ambang pintu. Tatapan pria itu dingin, wajahnya tanpa ekspresi. Dia masih mengenakan jas hitamnya, tetapi kini dengan bercak darah di ujung lengan bajunya. Daisy langsung teringat dengan kejadian tadi—tembakan, darah, dan bagaimana dia pingsan dalam pelukan Daniel. Daniel melangkah mendekat. Victoria segera memberi hormat kecil dan berkata, "Bos, saya hanya membawa Daisy ke sini agar dia bisa makan." Daniel tidak menjawab, hanya menatap Victoria sekilas sebelum menatap Daisy tajam. "Daisy," panggilnya pelan, tetapi ada nada perintah di dalamnya. Daisy menelan ludah. "Ya?" Daniel menyipitkan mata. "Ikut aku." Daisy terdiam sejenak, lalu meletakkan garpunya dan bangkit berdiri. Victoria menatap mereka berdua, lalu berkata, "Aku akan membereskan semuanya di sini." Daniel tidak menjawab, hanya berjalan pergi. Daisy mengikutinya dengan langkah ragu. Dia tidak tahu ke mana Daniel akan membawanya, tetapi firasatnya mengatakan sesuatu yang serius akan terjadi. Mereka berjalan melewati koridor panjang, lalu masuk ke dalam sebuah ruangan besar. Ruangan itu penuh dengan layar komputer, beberapa pria duduk di depan meja, sibuk dengan pekerjaan mereka. Di tengah ruangan, sebuah meja besar berdiri kokoh dengan berbagai peta dan dokumen di atasnya. Daniel berjalan ke arah meja itu dan bersandar di pinggirnya. "Kenapa kau berkeliaran sendirian?" tanyanya. Daisy menggigit bibirnya. "Aku... aku hanya bangun dan ingin melihat-lihat..." Daniel menatapnya tajam. "Ini bukan tempat untuk berjalan-jalan, Daisy." Daisy menunduk, merasa bersalah. "Maaf..." Daniel menghela napas, lalu melipat tangannya di depan d**a. "Apa kau sadar betapa berbahayanya dunia ini?" Daisy menggigit bibirnya. "Aku mulai mengerti..." Daniel mendekat, membuat Daisy mundur satu langkah. Namun, dia terhenti saat Daniel mengangkat dagunya dengan jari telunjuknya, memaksanya untuk menatap matanya. "Kau harus lebih berhati-hati," ujar Daniel. "Aku tidak bisa selalu ada untuk menyelamatkanmu." Daisy merasakan jantungnya berdebar kencang. "Aku... aku mengerti." Daniel menatapnya beberapa detik lagi sebelum akhirnya melepas dagunya dan mundur. "Kau bisa tinggal di sini untuk sementara waktu," kata Daniel. "Tapi jangan pernah mencoba kabur. Aku tidak akan mentolerir itu." Daisy mengangguk. "Aku tidak akan kabur..." Daniel mengangkat alis. "Bagus." Lalu, tanpa peringatan, dia meraih pinggang Daisy dan menariknya lebih dekat. Daisy terkejut, tetapi sebelum dia bisa protes, Daniel sudah menunduk dan mengecup sudut bibirnya sekilas. Matanya membelalak. Daniel tersenyum tipis. "Kau akan terbiasa dengan ini." Daisy masih terpaku di tempatnya saat Daniel melepaskannya dan berjalan keluar ruangan. Hatinya berdebar kencang, bukan hanya karena ketakutan—tetapi juga sesuatu yang lain. Sesuatu yang belum dia pahami. Namun, satu hal yang pasti, dia semakin terperangkap dalam dunia Daniel. Dan entah bagaimana, dia merasa bahwa dia tidak akan pernah bisa keluar lagi. *** Daisy tetap tinggal di markas Daniel, tetapi pria itu entah pergi ke mana. Kata orang-orang di markas, Daniel sedang berada di Jerman untuk menyelesaikan urusan penting. Beberapa kelompok di sana mencoba mengusiknya, dan seperti biasa, Daniel tidak akan tinggal diam. Meskipun tidak ada Daniel, Daisy tetap merasa tidak nyaman di tempat ini. Markas ini lebih mirip kebun binatang daripada markas mafia. Setiap hari, dia harus berhadapan dengan singa yang berkeliaran, harimau yang dipelihara di area belakang, buaya yang ada di sebuah kolam besar, dan bahkan ular besar yang melingkar di beberapa ruangan. Jantung Daisy selalu berdetak lebih cepat setiap kali melihat mereka. "Astaga, tempat ini benar-benar gila," gumamnya suatu kali saat melihat seekor harimau sedang berjemur di bawah sinar matahari di halaman belakang. Victoria, yang selalu menemaninya, tertawa kecil. "Tenang saja, mereka tidak akan menyerang tanpa perintah." Daisy menatap Victoria dengan ekspresi tidak percaya. "Kau bicara seolah-olah itu hal yang biasa!" Victoria terkekeh. "Di tempat ini, memang biasa." Daisy menghela napas panjang. Dia benar-benar tidak terbiasa dengan dunia ini. Namun, mau bagaimana lagi? Daniel sudah memutuskan bahwa dia harus tinggal di sini untuk sementara waktu. ** Selama beberapa hari di markas, Daisy mulai mengenal orang-orang di sekitar Daniel. Victoria adalah orang yang paling sering menemaninya. Wanita itu cerdas, berani, dan sangat loyal pada Daniel. Dari percakapan mereka, Daisy tahu bahwa Victoria sudah bekerja untuk Daniel sejak lama dan sangat menghormatinya. Ada juga Marco, pria berbadan besar yang bertugas sebagai kepala keamanan. Dia tidak banyak bicara, tetapi dari caranya memandang Daisy, jelas dia selalu waspada. Kemudian ada Leon, pria dengan wajah tampan tetapi sorot mata yang tajam. Dia salah satu tangan kanan Daniel dan tampaknya sangat menikmati pekerjaannya sebagai eksekutor mafia. Suatu hari, saat sedang duduk di ruang tamu, Daisy bertanya pada Victoria. "Kenapa mereka begitu setia pada Daniel?" Victoria tersenyum tipis. "Karena Daniel bukan hanya seorang bos. Dia seorang pemimpin yang kuat. Dia tahu bagaimana mengendalikan orang-orangnya dan melindungi mereka." Daisy mengernyit. "Tapi dia kejam." Victoria menatapnya sebentar sebelum menjawab, "Di dunia ini, kebaikan tidak akan membuatmu bertahan hidup." Daisy terdiam. Meskipun tidak ingin mengakuinya, dia tahu Victoria benar. ** Setelah hampir seminggu, akhirnya kabar tentang kepulangan Daniel terdengar. Semua orang di markas tampak lebih siaga dari biasanya. Daisy bisa merasakan perubahan suasana—ada ketegangan sekaligus rasa hormat yang kuat. Malam itu, suara deru mobil terdengar di halaman depan. Daisy berdiri di balkon lantai dua, menatap ke bawah dengan jantung berdebar. Pintu mobil terbuka, dan seorang pria dengan setelan hitam turun dengan langkah mantap. Daniel. Tatapannya dingin, auranya begitu kuat hingga membuat semua orang diam. Daisy menelan ludah. Sudah beberapa hari sejak terakhir kali dia melihat pria itu, dan sekarang dia kembali dengan aura yang lebih gelap. Daniel berjalan masuk ke dalam markas, langsung menuju ruangannya tanpa berbicara banyak. Victoria menoleh ke Daisy. "Sepertinya dia dalam suasana hati yang buruk. Sebaiknya jangan mengganggunya dulu." Daisy mengangguk. Tapi entah kenapa, ada sesuatu di dalam dirinya yang merasa ingin bertemu dengan pria itu. ** Malam itu, Daisy akhirnya memberanikan diri untuk pergi ke ruangan Daniel. Dia mengetuk pintu pelan. "Daniel?" Tidak ada jawaban. Dia ragu sejenak, lalu memutar gagang pintu. Ternyata tidak dikunci. Saat masuk, dia melihat Daniel sedang duduk di kursinya, menghisap cerutu. Di mejanya, ada beberapa berkas yang tampak berantakan. Daniel menatapnya sekilas. "Apa yang kau lakukan di sini?" Daisy menggigit bibirnya, lalu melangkah mendekat. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja." Daniel terkekeh kecil, tetapi tawanya terdengar dingin. "Kau pikir aku bisa terluka semudah itu?" Daisy terdiam. Dia tahu Daniel bukan orang biasa. Tapi tetap saja, dia merasa ada sesuatu yang berbeda dari pria ini setelah kembali dari Jerman. "Apa yang terjadi di sana?" tanyanya pelan. Daniel menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab, "Seseorang mencoba menjatuhkanku. Tapi sekarang mereka sudah mati." Daisy bergidik. Daniel menghisap cerutunya sekali lagi sebelum berdiri dan berjalan mendekatinya. "Kau terlihat lebih nyaman di sini sekarang," katanya sambil menyentuh dagu Daisy. Daisy menelan ludah. "Aku hanya mencoba beradaptasi." Daniel tersenyum tipis. "Bagus. Karena kau akan tinggal lebih lama." Daisy menatapnya kaget. "Apa?" Daniel menatapnya dalam sebelum berkata, "Aku belum selesai dengan urusanku. Masih banyak tikus sampah mencoba merusak keamananku." Dan dengan itu, dia menariknya mendekat, membuat Daisy terjebak dalam dunia yang semakin sulit untuk dia tinggalkan dan Daniel … Daisy tidak bisa lepas dari lelaki itu. Karena dia tidak akan bisa kabur dari Daniel.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN