07. Dia Milikku

1341 Kata
Tangan Daisy ditarik kasar oleh Jake, salah satu tamu undangan Daniel. Daisy berusaha meronta, menarik lengannya sekuat tenaga, namun Jake tidak melepaskan genggamannya. Tatapan lelaki itu penuh dengan nafsu yang membuat Daisy merasa semakin terpojok. “Lepaskan aku!” teriak Daisy dengan suara panik. Tubuhnya bergetar, matanya mencari pertolongan di tengah keramaian pesta yang terasa seperti jebakan baginya. Namun, Jake justru tersenyum licik. Tangannya yang bebas dengan santai mengusap pipi Daisy. Sentuhannya lembut, tapi membuat Daisy merasa jijik. “Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu, sayang. Kau sudah jadi milikku malam ini,” bisiknya dengan nada rendah. Di sisi ruangan, Kevin dan Joseph—dua teman dekat Daniel—melirik adegan itu. Salah satu dari mereka memiringkan kepala ke arah Daniel, yang berdiri tak jauh dari bar sambil menyesap segelas anggur merah. “Daniel,” ujar Kevin, “kau benar-benar membiarkan Jake melakukan ini? Bukankah Daisy masih perawan?” Joseph menambahkan dengan nada skeptis, “Bukannya kau selalu menghargai apa yang kau sebut ‘milikmu’?” Daniel, yang awalnya tampak tidak peduli, hanya mendengus pelan. Ia meletakkan gelas anggurnya di meja dengan gerakan malas, lalu meregangkan lehernya, seolah-olah hal ini tidak lebih dari gangguan kecil di malamnya. Tanpa tergesa, ia berjalan mendekati Jake yang masih mencengkeram tangan Daisy. Dengan satu gerakan cepat, Daniel menarik tangan Jake dari Daisy. Genggamannya keras, membuat Jake sedikit terhuyung. Jake menatap Daniel dengan kebingungan. “Apa-apaan ini, Daniel? Bukankah kau bilang Daisy jadi milikku malam ini?” Daniel tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menarik pinggang Daisy, membuat gadis itu merapat ke tubuhnya. Mata Daniel menatap tajam ke arah Jake. “Daisy itu milikku,” ucapnya dengan dingin, setiap kata yang keluar terasa seperti pisau yang menyayat. “Tidak ada satu pun orang yang berhak menyentuhnya.” Jake tertawa sinis. “Oh, jadi sekarang kau berubah pikiran? Baru saja kau memberiku izin, dan sekarang kau menariknya kembali? Jangan main-main denganku, Daniel.” Daniel tidak membalas langsung. Sebuah senyuman kecil terlukis di wajahnya, namun itu bukan senyuman ramah. Itu adalah senyuman seorang predator yang tahu ia berada di puncak rantai makanan. “Dengar, Jake,” katanya sambil melangkah lebih dekat. “Aku tidak tahu kau salah dengar atau otak kecilmu tidak mampu memahami, tapi aku ulangi sekali lagi. Daisy bukan milik siapapun. Dia hanya milikku. Dan aku tidak akan pernah membiarkanmu atau orang lain menyentuhnya.” Jake mendengus, merasa diremehkan. “Kau pikir kau bisa seenaknya? Kalau begitu, aku akan mengambilnya dengan caraku sendiri!” Tiba-tiba, Jake mengeluarkan pistol dari balik jasnya dan mengarahkannya ke kepala Daniel. Suasana pesta yang semula riuh langsung terdiam. Semua mata tertuju pada Jake dan Daniel. Para tamu mundur perlahan, memberikan ruang di tengah aula besar itu. Daisy membeku, rasa takut menyelimuti tubuhnya. Tatapannya berpindah dari Jake ke Daniel, yang tetap berdiri tenang meski moncong pistol hanya beberapa sentimeter dari wajahnya. Daniel mendecih, merasa geli. “Pistol? Benarkah? Kau mengancamku, Daniel Alexander, penguasa mafia terbesar di Amerika, dengan mainan kecil seperti itu?” Nada bicaranya penuh ejekan. “Kau benar-benar seekor kucing kecil yang lucu.” Dengan gerakan yang begitu santai, Daniel menjentikkan jarinya. Seketika, empat anak buahnya muncul dari berbagai sudut ruangan. Mereka bergerak cepat, menangkap Jake dan merebut pistol dari tangannya sebelum Jake sempat bertindak lebih jauh. Jake meronta, berusaha melawan, namun usahanya sia-sia. “Bawa dia ke ruang bawah tanah,” perintah Daniel dengan nada malas. Anak buahnya langsung menyeret Jake keluar dari aula, meskipun pria itu terus berteriak dan melontarkan ancaman. Semua tamu hanya bisa diam, tidak ada yang berani ikut campur. Setelah Jake menghilang dari pandangan, Daniel mengalihkan perhatiannya pada Daisy yang berdiri gemetar di sampingnya. Air mata mengalir di pipi gadis itu, tubuhnya bergetar karena rasa takut dan ketegangan yang belum hilang. Daniel menatapnya dengan tatapan sinis, lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Daisy. “Dasar lemah,” bisiknya, nadanya mengejek. “Apa kau selalu menangis seperti ini setiap kali ada masalah?” Daisy tidak menjawab. Ia hanya menunduk, mencoba menyembunyikan air matanya, meskipun itu sia-sia. Daniel mendesah pelan, lalu menggenggam dagu Daisy, memaksa gadis itu untuk menatapnya. “Dengar baik-baik,” katanya dengan nada tegas. “Aku tidak peduli seberapa takut atau lemahnya kau. Selama kau di sini, kau milikku. Dan aku tidak akan membiarkan siapapun menyentuhmu. Tapi jangan pernah berpikir bahwa itu berarti aku peduli padamu. Kau hanyalah properti, Daisy. Ingat itu.” Kata-kata Daniel menusuk hati Daisy seperti belati. Ia tahu posisinya tidak lebih dari boneka dalam permainan Daniel. Namun, meskipun ia membenci pria itu, ia juga tahu bahwa hanya Daniel yang bisa melindunginya dari bahaya yang lebih besar di dunia ini. Daniel melepaskan dagu Daisy, lalu berbalik. “Kembali ke kamarmu,” katanya tanpa menoleh. “Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi malam ini.” Daisy tidak membantah. Ia melangkah pergi dengan kepala tertunduk, meninggalkan aula yang kini mulai kembali sibuk dengan suara musik dan percakapan para tamu. Tapi di hatinya, ia tahu bahwa malam ini hanyalah awal dari penderitaan panjang yang harus ia jalani di bawah kendali Daniel. *** Daisy terisak pelan di sudut kamarnya. Air matanya mengalir deras, membasahi pipi dan jatuh ke bantal yang kini ia pukul berkali-kali dengan tangan gemetar. Rasa marah dan putus asa bercampur menjadi satu, membuat dadanya sesak. Bayangan pesta tadi terus terulang di kepalanya—Jake yang mencengkeram tangannya, tatapan para tamu yang menghina, dan kata-kata dingin Daniel yang selalu menekannya. “Aku benci ini…” gumam Daisy dengan suara serak. “Kenapa aku harus mengalami semua ini?” Namun, tidak ada jawaban. Tidak ada seorang pun yang peduli dengan keluhannya. Ia hanya seorang gadis biasa yang terjebak di dunia yang gelap dan kejam. Semua ini karena ayahnya—hutang besar yang ditinggalkan oleh pria itu kini menjadi beban di pundaknya. Daniel mengambilnya sebagai jaminan, dan sejak saat itu hidupnya berubah menjadi neraka. Daisy memandang pantulan dirinya di cermin besar di sudut kamar. Matanya bengkak, wajahnya pucat. Gaun pelayan yang masih ia kenakan mengingatkannya pada penghinaan yang ia terima malam ini. Semua tamu memandangnya seperti barang, bukan manusia. “Kenapa aku harus jadi seperti ini?” isaknya lagi, suaranya hampir tidak terdengar. Ia menunduk, kedua tangannya mengepal erat di pangkuannya. Ia tahu jawaban atas pertanyaan itu, namun hatinya tidak bisa menerima. Daniel. Nama itu sendiri sudah cukup untuk membuat tubuh Daisy bergetar. Pria itu adalah penyebab dari semua penderitaannya, namun juga satu-satunya orang yang bisa memastikan ia tetap hidup. Kontradiksi ini menghancurkan dirinya dari dalam. Daniel adalah seorang monster, namun dunia di luar mansion ini mungkin lebih menakutkan. Daisy mengingat saat-saat pertama kali ia dibawa ke sini. Ia memohon pada Daniel untuk memberinya kesempatan, untuk membebaskannya dari hutang ayahnya. Tapi pria itu hanya tertawa, menatapnya dengan tatapan meremehkan, dan mengatakan bahwa ia tidak akan pernah bisa lari. “Kau milikku sekarang, Daisy,” suara dingin Daniel terdengar di benaknya. “Jadi, jangan pernah berpikir untuk kabur.” Kata-kata itu terus menghantui Daisy. Ia merasa seperti burung kecil yang terkurung di sangkar emas, di mana tidak ada kebebasan, hanya perintah yang harus ia patuhi. Ia merasa marah—tidak hanya pada Daniel, tapi juga pada dirinya sendiri. Ia muak menjadi korban. Ia muak menjadi boneka yang hanya menuruti perintah tanpa melawan. “Aku harus keluar dari sini…” gumamnya, meskipun suara itu terdengar lemah. “Aku harus menemukan cara untuk bebas.” Tetapi bagaimana? Dunia luar penuh bahaya, dan pengaruh Daniel begitu besar. Bahkan jika ia berhasil kabur, ke mana ia akan pergi? Tidak ada yang bisa ia percayai, tidak ada tempat untuk berlindung. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari jalan keluar, namun hanya menghasilkan kekosongan. Ia kembali tersungkur di atas tempat tidur, memeluk bantal dengan erat. Di luar pintu, tanpa sepengetahuannya, Daniel berdiri dengan tangan menyilang di d**a. Matanya tajam, mendengar setiap isak tangis Daisy dari balik pintu. Bibirnya melengkung tipis, namun sulit untuk menafsirkan apakah itu senyuman atau ekspresi dingin. Daniel tidak mengetuk, tidak masuk ke dalam. Ia hanya berdiri di sana untuk beberapa saat, mendengarkan, sebelum akhirnya pergi dengan langkah tenang. Bagi Daniel, Daisy hanyalah alat, bagian dari permainan kekuasaannya. Namun ada sesuatu tentang gadis itu yang membuatnya selalu memerhatikannya, meski ia sendiri tidak ingin mengakuinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN