Pesta yang dipenuhi oleh orang-orang berpakaian mahal, aroma parfum mewah yang menyengat, dan gelas-gelas sampanye yang terus berdenting di udara terasa begitu menjijikkan bagi Daisy. Ia berdiri di sudut ruangan bersama Daniel, merasa seperti patung hidup yang dipajang untuk dilihat oleh semua orang. Meski ia mengenakan gaun mahal dengan rambut tertata sempurna, hatinya kosong. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti rantai yang mengikatnya lebih erat pada pria yang telah menghancurkan hidupnya.
Seorang wanita dengan gaun merah yang mencolok tiba-tiba mendekati Daniel. Wajahnya sempurna dengan riasan tebal, rambutnya disanggul tinggi, dan setiap gerakannya menunjukkan bahwa ia tahu betul dirinya adalah pusat perhatian. Wanita itu—Mona, anak seorang rekan bisnis Daniel—melirik Daisy dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan pandangan meremehkan.
“Daniel,” kata Mona sambil tersenyum manis pada pria itu, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke Daisy. “Siapa wanita kampung ini? Kenapa kau membawa seseorang seperti dia ke pesta yang berkelas ini?”
Daisy merasa wajahnya memanas. Ia tahu betul tatapan itu—tatapan seseorang yang merasa dirinya lebih tinggi dan berkuasa. Tetapi sebelum Daisy bisa membalas dengan kata-kata apapun, Daniel tertawa kecil. Pria itu tampaknya terhibur dengan komentar Mona, dan tanpa ragu, ia meraih pinggang Mona, menarik wanita itu mendekat.
“Ini Daisy,” jawab Daniel dengan senyum liciknya. “p*****r pribadiku.”
Daisy merasakan seluruh tubuhnya menegang. Kata-kata itu menghantamnya seperti pukulan keras di wajah. Matanya membelalak sejenak, tetapi ia segera menunduk untuk menyembunyikan amarah yang membakar dadanya. Tangannya mengepal erat, kuku-kukunya hampir menusuk telapak tangannya sendiri.
Mona tertawa kecil, suaranya terdengar tajam dan menyakitkan. “Oh, jadi kau akhirnya memutuskan untuk mengambil mainan baru, ya? Kau selalu punya selera yang aneh, Daniel.”
Daniel tidak menjawab. Sebaliknya, ia melirik Daisy dengan tatapan penuh peringatan, seolah mengingatkan bahwa tidak ada gunanya untuk melawan atau memprotes. Daisy menangkap tatapan itu, dan meskipun hatinya berteriak untuk membalas, ia hanya bisa memejamkan matanya sesaat.
Ketika Mona melangkah pergi setelah beberapa saat berbicara dengan Daniel, Daisy tetap berdiri diam. Ia merasa seperti seseorang yang telah diinjak-injak dan tidak memiliki kesempatan untuk membela diri. Hati kecilnya berdoa dalam kesunyian, memohon agar ada jalan keluar dari penderitaan ini.
Tuhan... bagaimana caranya bebas dari lelaki itu?
***
Malam itu, pesta berjalan semakin ramai, tetapi Daisy merasa seperti sedang terjebak di dalam mimpi buruk yang tidak pernah berakhir. Daniel memperlakukannya seperti barang pajangan, menariknya ke sana kemari sambil memperkenalkannya kepada orang-orang dengan cara yang menghina.
“Ini Daisy,” katanya kepada seorang pria tua dengan perut besar. “Dia sedikit liar, tapi aku sedang melatihnya untuk menjadi lebih patuh.”
Setiap kata yang keluar dari mulut Daniel membuat Daisy ingin berteriak, tetapi ia tahu bahwa melawan hanya akan membuat segalanya menjadi lebih buruk. Jadi, ia menggigit bibirnya dan menahan air mata yang ingin tumpah.
Saat pesta akhirnya usai dan para tamu mulai pergi, Daniel membawa Daisy kembali ke kamarnya. Di sana, ia melemparkan jasnya ke kursi dan duduk di tepi tempat tidur, mengamati Daisy dengan senyum puas.
“Kau melakukannya dengan baik malam ini,” katanya, nada suaranya terdengar seperti pujian yang dipaksakan.
Daisy menatapnya dengan penuh kebencian. “Kau tidak punya hak untuk berbicara seperti itu tentangku di depan orang lain.”
Daniel tertawa kecil, lalu berdiri dan mendekati Daisy dengan langkah perlahan. “Oh, Daisy,” katanya sambil menatap matanya dalam-dalam. “Aku punya semua hak. Kau milikku, ingat? Aku bisa melakukan apapun yang aku mau.”
“Kenapa kau begitu kejam?” Daisy bertanya dengan suara gemetar, mencoba menahan tangis.
Daniel berhenti tepat di depannya, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Dunia ini tidak peduli pada orang lemah, Daisy. Jika kau ingin bertahan hidup, kau harus belajar untuk menerima kenyataan.”
Daisy tidak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan mata yang penuh air mata, lalu berbalik dan berjalan menuju tempat tidur, membaringkan dirinya dengan punggung menghadap Daniel. Ia tidak ingin pria itu melihat air matanya jatuh.
***
Beberapa hari setelah pesta, Daisy mulai menyusun rencana pelarian. Ia tahu bahwa melarikan diri dari Daniel tidak akan mudah, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup seperti ini. Setiap malam, ia mempelajari pola para penjaga, mencari celah dalam pengawasan mereka.
Suatu malam, saat suasana mansion tampak lebih tenang dari biasanya, Daisy melihat peluang. Ia menyelinap keluar dari kamarnya dan berjalan pelan menuju pintu belakang, berhati-hati agar tidak menarik perhatian siapa pun. Namun, sebelum ia bisa mencapai pintu, seseorang menangkap pergelangan tangannya.
Daisy terkejut dan menoleh. Daniel berdiri di belakangnya dengan ekspresi yang begitu gelap sehingga membuat jantungnya berdebar kencang.
“Kau pikir kau bisa lari dariku?” tanyanya dengan suara rendah yang penuh ancaman.
Daisy mencoba melepaskan tangannya, tetapi cengkeraman Daniel terlalu kuat. “Lepaskan aku!” teriaknya.
Daniel menarik Daisy kembali ke ruang tengah mansion dan mendorongnya ke sofa. Ia menatapnya dengan mata yang penuh amarah, tetapi ada juga kilatan kekecewaan di dalamnya.
“Kau benar-benar tidak tahu terima kasih,” katanya dingin. “Aku memberimu tempat tinggal, makanan, pakaian... dan ini balasanmu?”
“Aku tidak pernah meminta semua itu darimu!” balas Daisy, air matanya mengalir deras. “Aku hanya ingin hidupku kembali!”
Daniel terdiam sejenak, memandang Daisy dengan ekspresi yang sulit diartikan. Kemudian, ia menghela napas panjang dan duduk di kursi di seberangnya. “Kau tidak akan pernah mendapatkan hidupmu kembali, Daisy,” katanya dengan nada yang lebih lembut. “Semakin cepat kau menerima kenyataan ini, semakin mudah hidupmu.”
Daisy tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menangis dalam diam. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak akan pernah menyerah. Suatu hari, ia akan menemukan cara untuk bebas—tidak peduli berapa pun harga yang harus ia bayar.