'Aku tahu kekuatan cintamu pada Aya. Bantu Aya melupakan aku, mungkin tragedi ini bisa jadi jalan untuk memisahkan aku dengan sahabatku. Walau sesungguhnya aku tidak pernah rela dia bahagia dengan siapa pun.'
Begitulah isi pesan itu, menitah namun tidak ikhlas. Bagaimana itu bisa terjadi. Kalau begitu mau lakukan, lakukanlah jangan menyalahkan orang yang saat ini dekat dengan Aya.
Panji hanya membaca dan menutup layar ponsel itu kemudian meletakkan di sampingnya. Hawa dingin yang menusuk karena malam akan berganti pagi hari.
Aya sudah pulas sejak dua jam yang lalu. Nunu pun terlihat rebahan di kursi tunggu depan kamar Fathur. Panji sendiri masih terjaga mengusap kepala Aya dengan lembut dan mengusir nyamuk yang akan mendekat.
Nyamuk nakal itu seakan sedang menggoda Panji. Nyamuknya hanya satu tapi temannya satu kompeni datang. Satu nyamuk hinggap dan mulai menghisap darah Aya.
Plak .... Tepukan pelan di pipi Aya berhasil membuat si empunya yang sedang nyenyak di alam mimpi pun terbangun.
Aya mengucek dan membuka matanya. Aya sedikitpun meringis mengusap pipinya uang masih terasa panas dan sakit.
"Maaf Aya tadi ada nyamuk malaria." ucap Panji pelan. Seakan mencari pembelaan disana.
"Iya Mas Panji gak papa. Maaf ya sudah merepotkan Mas Panji." ucapnya pelan lalu bangkit dari tidurnya dan duduk tegak.
"Besok kamu sekolah kan?" tanya Panji pelan. Tatapannya kosong ke arah bawah. Matanya sudah tinggal lima Watt lagi, sesekali menguap hingga air matanya pun keluar menahan rasa ngantuk.
"Mas Panji mau kopi? Atau mau tidur. Biar gantian Aya yang menjaga." ucapnya pelan. Aya memang sengaja menghindari pertanyaan dari Panji dan mencari pertanyaan lain.
"Jawab dulu pertanyaan aku, baru kamu bertanya yang lain. Hargai aku, Aya." ucapnya pelan. Tatapannya penuh kekecewaan terhadap Aya.
"Iya Mas. Maafin Aya. Seharusnya Aya sekolah, tapi mungkin Aya mau pindah rumah cari kost saja. Rumah akan Aya jual untuk biaya Fathur selama di rumah sakit." ucapnya pelan.
"Aya ... Aku ada tabungan hasil fotografi, pakai saja. Rencananya untuk membeli rumah masa depan keluarga kecilku, tapi pakailah aku ikhlas." ucap Panji pelan kepada Aya. Tatapannya terus fokus terhadap Aya membuat Aya pun menjadi salah tingkah.
Aya menatap heran dan bingung. Rasanya ingin menerima bantuan itu, tapi tidak mungkin terus-menerus bergantung kepada Panji.
"Mas ... " ucapan Aya pun terhenti. Satu jari Panji sudah berada di depan bibir mungil Aya untuk tidak bersuara dan membuka mulutnya.
"Aku Ndak perlu jawabanmu. Aku hanya ingin kamu menerima bantuan ku yang tulus ikhlas tanpa pamrih." ucap Panji pelan. Mata indah itu terus menatap Panji dalam diam.
Akhirnya Aya pun mengangguk pasrah menuruti keinginan Panji.
"Aku hanya ingin, Mas Panji seolah-olah membeli rumahku. Bawa sertifikat rumahku dan aku akan mencicil setiap bulan uang yang aku pinjam." ucap Aya pelan memberi saran.
"Sudahlah Aya. Ak tidak mau berdebat masalah uang. Bagiku uang bisa dicari, tapi nyawa tidak akan bisa kembali. Kita harus menyelamatkan Fathur dengan segala cara." ucapnya penuh semangat dan antusias.
"Baiklah Mas. Aku tidak tahu, kalau tidak ada kamu, mau gimana lagi?" ucap Aya pelan lalu tersenyum dengan tulus.
"Kalau tidak ada aku, pasti akan ada orang lain yang membantu kamu. Bagaimana Firman?" tanya Panji pelan. Panji hanya ingin tahu seberapa dekat Aya dengan Firman sekarang ini.
Aya hanya menggelengkan kepalanya pelan, dirinya tidak tahu dimana keberadaan Firman sekarang. Kemarin sempat mencari tahu, rumahnya sudah dijual. Ruko salon dan studio fotonya pun sudah berganti pemilik. Rumah nenek atau keluarganya yang lain pun Aya tidak tahu.
"Aku sahabatnya tapi aku bahkan tidak tahu dia berada dimana sekarang." ucapnya lirih dan seketika raut wajahnya sedih.
"Apakah kamu suka dengan Firman?" ucap Panji dengan hati-hati.
Aya pun menoleh ke arah Panji dan menatap sendu lelaki yang ada di depannya. Lalu pandangannya pun beralih ke arah depan.
"Aku belum pernah pacaran dan aku tidak tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang. Mencintai lawan jenis kita. Yang aku tahu kita saling menyayangi, saling membantu dan saling mengasihi." ucapnya pelan kepada Panji.
Panji hanya tersenyum ... Dalam hatinya wanita ini terlalu polos atau memang kurang peka dengan yang namanya cinta.
"Cinta itu hadir karena terbiasa. Cinta itu tumbuh karena sering bersama. Cinta dan Obsesi itu beda tipis." ucap Panji menjelaskan.
"Lalu perasaan Mas Panji kepada Mbak Friska? Bukankah itu cinta?" tanya Aya dengan penasaran. Kedua alisnya saling bertautan.
"Kan aku bilang cinta dan obsesi itu beda tipis. Cinta dan kasihan itu juga beda tipis. Coba kamu renungkan." ucap Panji menjelaskan.
Aya tampak seperti berpikir keras namun hasilnya pun tetap nihil dan zonk. Aya tetaplah Aya, yang tidak pernah perduli dengan perasaannya. Semua orang dianggap sama saja, hanya memiliki rasa sayang dan ketulusan.
"Entahlah Mas ... Aku tetap tidak mengerti. Duniaku hanya untuk belajar dan bekerja. Temanku tidak banyak, sahabatku hanya Firman." ucap Aya pelan.
"Kamu cinta gak? Kalau ketemu rasanya beda aja, biasanya itu cinta? Hati bergetar dan berasa deg degan." ucap Panji menjelaskan.
"Sepertinya tidak Mas. Aku memang sayang, tapi tidak dengan hati yang deg degan begitu. Gimana sih Mas?" ucap Aya terkekeh dengan rasa penasarannya.
"Belajar yang rajin dan harus sukses menggapai cita-cita kamu. Aku kan belum tentu tiap saat ada buat kamu. Waktu aku di Yogyakarta tinggal sebentar lagi. Aku akan menemui kamu lagi setelah aku sudah menjadi seorang sarjana dan mapan." ucap Panji penuh harap dan semangat.
"Biar bisa traktir Aya kan Mas?" ucap Aya jujur dan polos. Senyum manisnya pun tidak luput dari wajah cantiknya walaupun hatinya sedang terpuruk dan hancur.
"Iya buat traktir kamu dan pesan prasmanan." ucap Panji pelan. Ungkapan itu memiliki maksud lain tapi mungkin Aya tidak akan mengerti.
"Iya buat traktir kamu dan pesan prasmanan." ucap Panji pelan. Ungkapan itu memiliki maksud lain tapi mungkin Aya tidak akan mengerti.
"Mas Panji ... Aku dan Firman itu bersahabat sejak SD, dia murid pindahan. Awalnya tidak memiliki teman dan aku mencoba berkenalan dan akhirnya bersahabat hingga sekarang. Kita selalu bersama, sekolah, ekskul, bimbel dan semuanya. Sudah aku anggap seperti kakakku sendiri. Mungkin saat ini aku baru merasakan kehilangan Firman setelah setiap saat dan setiap waktu dia selalu ada untukku." ucap Aya pelan.
"Seberapa kamu mengenal sahabatmu Firman." Panji pun semakin penasaran dan terus bertanya.
Aya hanya tertawa dan tersenyum kecut.
"Aku tidak mengenalnya dengan baik. Nyatanya saat ini dia kemana? Dia sedang apa? Aku tidak tahu. Padahal aku sahabatnya. Sahabat macam apa aku!!" ucap Aya kesal dengan dirinya sendiri. Tatapannya seakan kosong ke depan.
"Kamu merasa kehilangan Firman? Atau kamu merindukan Firman?" tanya Panji kemudian.
"Ya ... Aku kehilangan dan aku merindukan Firman karena memang kita selalu bersama, sekarang terasa ada yang hilang, walaupun tidak hampa." ucap Aya jujur.
"Tidak hampa? Maksud kamu?" tanya Panji menyelidik.
Aya pun menoleh ke arah Panji dan kemudian tersenyum manis.
"Kan sekarang ada Mas Panji yang selalu menemani Aya. Entahlah ada rasa kecewa juga. Di saat aku terpuruk, Firman malah pergi meninggalkan aku sendiri." ucap Aya lirih dengan wajah menunduk karena menahan tangis agar tidak jatuh kembali.
"Maaf sudah membuat kamu bersedih. Lebih baik kita tidur." ucap Panji pelan dan langsung merebahkan diri di joglo kecil itu.
Tanpa alas bantal dan selimut yang menutupi tubuhnya. Kedua mata Panji pun mulai terpejam karena sudah menahan rasa kantuk dari tadi.
Aya masih terduduk di sebelah Panji yang sudah tampak terlelap walaupun sesekali menepuk anggota tubuhnya yang di gigit nyamuk. Aya hanya memandang lelaki yang pantas menjadi kakaknya ini, karena memang usianya yang sudah matang dan dewasa.
Aya pun ikut berbaring dan tidur dengan posisi menyamping menghadap ke arah Panji hingga mereka pun saling berdekatan dan saking berhadap-hadapan. Alam mimpi pun menjadi tujuan utamanya.
"Aya ... Panji ... Bangun." ucap Wibisono yang sudah menyusul ke rumah sakit.
Panji pun tampak membuka matanya badan mengucek hingga terbuka lebar.
"Wib ... baru datang. Ada apa?" tanya Panji pelan dan menguap dengan lebar. Rasanya masih ngantuk dan ingin merebahkan tubuhnya yang mulai terasa pegal dan nyeri di bagian pinggang, kaki dan tangan.
"Aku baru saja datang dan langsung kesini. Itu kondisi Fathur melemah kata dokter. Kemungkinan untuk hidup sangat kecil tapi semuanya tergantung mukjizat dari Allah SWT." ucapnya pelan.
Panji pun hanya menghela nafas dalam lalu menghembuskan napas itu secara bergantian Perlahan-lahan. Lalu tatapannya beralih kepada Aya yang terlihat lelah dan pucat.
"Aku tidak tega untuk membangunnya. Aku kasihan pada Aya." ucap Panji pelan.
"Tapi Nji .... Aya harus tetap tahu kondisi Fathur yang sebenarnya. Bukan malah ditutup-tutupi." ucap Wibisono memberikan solusi.
"Tapi lihat Wib ... Masalahnya sudah banyak dan beban itu sudah berat di pundaknya. Aku tidak tega memberikan kabar ini kepadanya. Biar dokter saja yang bicara langsung kepada Aya." ucapnya pelan dan mengusap kepala Aya dengan lembut.
Wibisono pun mengedarkan pandangannya dan mulai berbicara serius pada Panji.
"Aku dapat kabar tentang Fadil dan Friska. Mereka sudah menikah sehari setelah kejadian itu. Bahkan kabar Ibunya yang sudah meninggal pun Fadil benar-benar tidak tahu." ucap Wibisono pelan setengah berbisik. Kedua alisnya pun naik turun karena informasi penting ini seakan menjadi hal utama bagi Panji.
"Hanya itu saja?" tanya Panji pelan, seakan kurang puas dengan informasi yang diberikan oleh Wibisono. Masih ada banyak kejanggalan tentang Friska.
"Ada ... Anak yang dikandung Friska anak dari Bintang sahabat Fadil." ucapan Wibisono kali ini benar-benar membuat Panji langsung tersentak kaget.
"Kamu tidak salah dengar bukan?" tanya Panji kemudian. Tatapannya tajam seakan membunuh seolah apa yang Panji dengar sekarang adalah suatu kesalahan.
"Kau serius Nji." ucap Wibisono dengan lantang.
"Informasi dari mana itu?" ucapnya kemudian.
"Sarah ... Kamu kenal? Dia sahabat Friska." ucap Wibisono mantap dan tersenyum penuh kemenangan.
"Bukti lain?" ucap Panji keras.
Wibisono membuka ponselnya dan menunjukkan foto mesra Friska dan Bintang saat berada di kamar hotel.
"Foto itu asli dari ponsel Bintang. Bintang mengancam Friska. Aku sedang menyelidiki motifnya." ucap Wibisono pelan.
Panji pun terdiam badan menggabungkan kesemuanya dengan alur yang cocok. Kemungkinan itu pasti ada, motif Bintang pun sepertinya bisa ketebak dengan baik. Walaupun Bintang cukup cerdik menutupi semua dengan rapi dan baik.
"Niatku hanya ingin menyadarkan Fadil, bahwa tindakannya itu salah. Hanya itu saja, masalah Friska itu urusan dia. Aku pun sudah tidak perduli dengan keberadaannya." ucap Panji dengan tegas.
Tatapan kebencian dan kekecewaan menjadi satu hingga yang terasa hanya penyesalan bukan rasa sakit hati. Menyesal sudah mengenal perempuan bernama Friska. Mencari celah untuk keuntungannya sendiri dan kebahagiaannya sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain di sekitarnya termasuk Sarah sahabatnya.
Panji hanya tidak habis pikir dengan apa yang telah diperbuat Friska. Selama berhubungan dengan Friska, Panji selalu menurut dengan semua permintaanya. Apapun itu tanpa terkecuali.
"Panji .... Fathur Nji ..... Cepat!!" ucap Nunu yang terengah-engah berlari dari kamar Fathur hingga joglo tempat beristirahat para penunggu pasien.
Wibisono dan Nunu lebih dulu berlari ke arah kamar Fathur. Sedangkan Panji membangunkan Aya dari tidurnya.
"Aya .... Bangun .... Dokter ingin bicara denganmu." ucap Panji pelan badan menepuk kedua pipi Aya pelan.
Cara terampuh membangunkan seseorang seperti yang dilakukan boleh Panji. Aya pun mengerjap ngerjapkan matanya dan membuka dengan lebar.
"Ada apa Mas?" tanya Aya pelan.
"Dokter ingin bicara padamu tentang kondisi Fathur." ucap Panji pelan.
"Panji !! Aya !! Cepat." ucap Wibisono teriak dengan sangat keras.