15

1839 Kata
"Aku tahu kamu mungkin tidak percaya. Aku harus cari bukti konkrit Aya. Agar kesalahpahaman ini bisa terungkap. Tapi menurut keyakinan aku, bayi yang di kandung Friska bukan benih dari Fadil kakakmu. Mungkin ada dendam kesumat." ucap Panji pelan. "Mas ... Bisa kamu menjelaskan detail untukku?" tanya Aya kemudian sambil mengunyah nasi goreng seafood itu. "Kamu kenapa Aya? Kok makannya begitu?" tanya Panji pelan. "Aku baru tahu rasanya udang itu ternyata enak. Selama ini Ibu tidak pernah memasak udang, tapi kalau cumi atau ikan, Ibu suka memasak." ucap Aya menjelaskan lalu tersenyum. "Oh ... Lain waktu aku akan cerita khusus untuk kamu, setelah Wibisono kembali kesini, dia sedang pulang ke Solo." ucap Panji pelan. Panji pun dengan cepat menghabiskan nasi goreng miliknya yang benar-benar pedessss bikin bibir sedikit ndombleh kalau orang Jawa bilang. "Janji ya Mas? Aya paling gak suka di bohongi." ucapnya kemudian. "Aya ... Kamu gak cape jualan sampai malam. Masih ada pekerjaan yang tidak menguras tenaga dan waktu seperti ini. Apalagi pulangnya sampai malam." tanya Panji pelan. Makanannya sudah habis, kedua tangannya terlipat di depan meja menunggu Aya yang masih menyelesaikan berbagai makan malamnya. "Hanya ini yang bisa menghasilkan uang banyak dalam satu malam Mas Panji. Satu malam aku bisa mendapat dua ratus atau tiga ratus ribu, sedangkan malam minggu atau malam libur aku bisa dapat empat ratus ribu rupiah. Walaupun cape, aku harus memikirkan sekolahku." ucap Aya pelan. Suapan terakhir pun sudah dikunyah dan ditelan. "Aku sedih lihat wanita yang mau berkorban untuk keluarga dan cita-citanya. Sebentar lagi magangku selesai, aku harap kamu bisa jaga diri. Karena aku harus menyelesaikan sekitar enam bulan lagi untuk Tugas Akhirku. Kamu mau menunggu aku, Aya??" tanya Panji pelan, tatapannya terlihat berharap. "Apa maksudmu Mas Panji?? Aku tidak mengerti." ucap Aya yang begitu polos. "Sudahlah lupakan. Aku ingin kamu belajar yang baik, dan kejar cita-cita kamu. Waktu yang tersisa ini, aku akan mengajak kamu ke salah satu agency disini bagi orang-orang yang berbakat. Kamu mau coba? Kamu bisa dan pasti bisa." ucap Panji dengan penuh semangat. "Tapi aku kan sekolah Mas Panji." ucap Aya pelan "Datang saat kamu libur, di hari Sabtu dan Minggu. Kamu akan belajar banyak tentang Fotografi. Aku ingin melihatmu sukses Aya." ucap Panji memotivasi dan mendukung cita-cita Aya. "Kalau itu saran Mas Panji, aku mau. Aku percaya Mas Panji orang yang baik." ucap Aya pelan. dan tersenyum. "Jadi??? Selama ini kamu ragu berteman denganku??" tanya Panji pura-pura marah. Mereka pun tertawa lepas bersama. Hidup mereka bahagia bagaikan sepasang kekasih, namun itu hanyalah angan-angan yang menjadi harapan terberat bagi keduanya. "Sudah larut malam, kita pulang sekarang." ucap Panji lalu membayar makanan tadi. "Maaf ya Mas ... Aya banyak nyusahin Mas Panji." ucapnya saat berjalan menuju parkiran motor. Keduanya berdiri di sisi motor dan sibuk memakai helm masing-masing. Pandangan Panji pun selalu mengarah kepada Aya. "Aya ... Aku menyukaimu." ucapnya pelan namun suara itu jelas terdengar di telinga Aya. Aya hanya menatap ke arah Panji dan tidak menjawab apapun. Aya tidak mau kehilangan Panji, namun Aya juga tidak mungkin pacaran dengan Panji sebelum sekolahnya selesai. Aya akan tetap egois dengan cita-citanya hingga terwujud. "Tidak perlu kamu jawab Aya. Aku hanya ingin kamu tahu apa yang aku rasakan saat ini. Aku mengerti kamu pasti mencintai sahabatmu Firman?" ucap Panji pelan. "Mas Panji ... " ucapan Aya pun terpotong dengan ucapan Panji untuk segera naik ke atas motor. "Ayo Aya, naik sudah malam." ucap Panji pelan. Sepanjang perjalanannya Keduanya hanya terdiam. Panji fokus dengan jalan, sedangkan Aya masih berpikir dengan ucapan Panji di parkiran tadi. 'Kenapa jadi begini sih,' gumam Aya di dalam hatinya. Hanya sepuluh menit perjalanan menuju rumah Aya. Rumah itu begitu sepi dan gelap. Aya pun membuka pagar rumah itu namun pagar sudah digembok. Aya hanya melongo, rumahnya terlihat kosong. Ponsel Panji pun berdering, tertera nama Nunu disana. "Assalamualaikum ... Nunu kamu dimana? Fathur dimana? Apa??!! Oke kita segera kesana." ucap Panji pelan. Raut wajahnya terlihat kusut dan tidak baik. Aya melihat perubahan itu pun bertanya kepada Panji. "Ada apa Mas??" tanya Aya pelan. Panji tidak tega mengatakan ini, ditariknya tangan Aya ke pelukannya dan mengusap punggungnya pelan. "Fathur koma di rumah sakit. Aku tidak tahu kenapa? Kalau kamu sudah siap kita kesana sekarang." ucap Panji dengan mata yang sudah basah. Aya pun melotot dan melepaskan pelukannya dari Panji. "Jangan main-main Mas Panji. Tadi sewaktu kita tinggal, Fathur baik baik saja. Tidak mungkin dia koma." ucap Aya kasar. Tenggorokannya tercekat dan tiba-tiba saja kering. Panji pun menarik Aya kembali, sebelum Aya histeris seperti kemarin. Bahunya sudah bergetar, bisa dipastikan tangisannya pun sangat dalam. Air matanya sudah deras membasahi kaos milik Panji. "Ssttt ... Jangan menangis, ada aku disini. Aku akan bersamamu Aya. Janji kamu harus lulus dari sekolahmu setelah ini. Aku ingin mewujudkan cita-cita Ibu." ucap Panji yang juga sedih. Aya hanya terdiam dan tidak berkata apa-apa. Hatinya terasa sesak baru tuju hari yang lalu Aya harus kehilangan Ibunya yang tercinta. Lalu hari ini Aya harus kembali sedih dengan berita Fathur. 'Kenapa harus aku dan keluargaku yang mengalami ini!! Belum juga aku membanggakan mereka. Semua sudah pergi meninggalkan Aya sendiri.' gumamnya dalam hati. Hatinya tersiksa menahan kesedihannya sendiri. Walaupun ada Panji tetap saja, semua ini masalah keluarga Aya. "Ke rumah sakit sekarang?? Kamu siap?? Apapun yang terjadi ada aku disini." ucap Panji pelan dan melepaskan pelukannya. Wajah Aya masih kusut dan sembab, baru beberapa menit saja menangis wajahnya sudah nampak bengkak. "Kita ke rumah sakit sekarang. Aya mau lihat Fathur." ucapnya pelan. "Pegangan aku ya." ucap Panji pelan. Wajah Aya masih kusut dan sembab, baru beberapa menit saja menangis wajahnya sudah nampak bengkak. "Kita ke rumah sakit sekarang. Aya mau lihat Fathur." ucapnya pelan. "Pegangan aku ya." ucap Panji pelan. Aya hanya bisa menurut dengan pasrah. Tubuhnya sudah sangat lelah dan lemas, ditambah lagi dengan kabar buruk yang seakan-akan membuatnya semakin terpuruk dan jatuh. Aya hanya menyandarkan kepalanya pada punggung Panji. Sungguh itu terasa nyaman sekali, yang membuat tidak nyaman adalah helm yang Aya pakai. "Aya ... Kamu tidur? Sudah sampai." ucap Panji pelan. "Heummmm ... Maaf Mas Panji. Kita sudah sampai Rumah Sakit. Ayok Mas .... " ucap Aya keras langsung turun dari motor seakan teringat kondisi Fathur yang sedang dalam keadaan sekarat. "Ayok Aya." ucap Panji dengan menggandeng tangan Aya erat. Aya hanya menatap Panji dan tangannya yang sudah bertautan berjalan bersama menuju ruangan Fathur. Terlihat dari jauh, Nunu sedang berjalan mondar-mandir di depan ruangan isolasi itu. Panji dan Aya pun berjalan menghampiri Nunu. "Panji, Aya?? Kalian sudah datang??. Fathur ada didalam, dia sekarat dan sekarang dalam keadaan koma. Kita doakan yang terbaik. Bila masa kritisnya bisa dilewati, kemungkinan sembuh itu besar." ucap Nunu pelan. Informasi penting ini yang harus disampaikan kepada keluarga pasien begitu pesan dokter yang menangani Fathur. "Makasih Kak Nunu sudah membawa adik saya ke rumah sakit. Kalau Aya boleh tahu, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Aya pelan ke arah Nunu. Nunu hanya menatap Panji dengan nanar, kali ini Nunu sangat takut, takut bila dia disalahkan dalam hal ini. Terlihat jelas Panji menganggukkan kepalanya tanda bahwa Nunu harus berkata jujur dan sebenar-benarnya. Nunu pun menghembuskan napasnya dengan kasar. Rasa takut dan rasa cemas itu di buang jauh-jauh agar tidak terus menerus merundung di kepalanya. "Maafkan aku Aya, Panji. Tadi aku menemani sejak Maghrib kita bermain game, menonton TV dan membuat makanan lalu makan bersama. Fathur ijin untuk ke kamar ingin mengerjakan tugas. Aku melanjutkan nonton TV hingga film favorit aku selesai. Aku cek ke kamar Fathur sepertinya tertidur, lampu kamar pun sudah dimatikan. Aku mengendap pergi untuk membeli pulsa dan kuota di depan jalan, sekalian membeli kopi dan beberapa cemilan di warung dekat rumah. Aku tidak curiga, aku lihat kok kamar Fathur menyala, aku langsung ke kamarnya dia sudah tergeletak tidak sadarkan diri. Disebelahnya ada pisau dan tangannya sudah teriris hingga nadinya hampir kena. Aku ... " ucap Nunu dengan mata yang sudah basah. Bisa dibayangkan Nunu adalah orang pertama yang melihat kejadian itu. Darah sudah berceceran dilantai dan kasur. Melihat tubuh tergeletak terkulai lemah dan lemas bahkan tidak sadarkan diri. Wajah Fathur yang pucat dan dingin semakin membuat Nunu saat itu gemetar dan tidak berpikir jernih hingga tangannya memencet taxi online untuk si bawa ke rumah sakit, siapa tahu nyawanya masih bisa di selamatkan. Memang Tuhan itu Maha Penyayang, Fathur masih hidup, walaupun sebenarnya hidupnya pun terombang-ambing antara bangun atau harus tidur selamanya. Tangisan Aya sudah deras luruh begitu saja. Kantung mata yang terlihat lelah dan mulai menghitam. Tubuhnya bergetar hebat dan tangannya terus mengepal kencang. Dadanya ditepuk tepuk oleh kepalan tangannya itu hingga berbunyi dug ... dug ... Panji memeluk Aya yang benar-benar terpuruk dan hancur. Hidupnya sangat malang sekali. Belum lagi setelah ini Aya harus mencari uang untuk membayar biaya rumah sakit pengobatan Fathur. Tabungannya sudah habis untuk keperluan tahlil badan penguburan Ibu waktu itu. Ibunya tidak meninggalkan harta apa-apa kecuali rumah sederhana itu. Apa perlu aku jual rumah itu, dan aku akan mencari kost untuk sementara, gumamnya dalam hati. Pikirannya sudah kalut ditambah beban Fathur yang bertindak bodoh. "Aku ada tabungan untuk membayar rumah sakit ini." ucap Panji yang masih setia memeluk Aya dan mengusap punggungnya. Seakan tahu apa yang sedang dipikirkan Aya saat ini. "Ini minuman untuk kalian? Kasihan Aya, Nji." ucap Nunu pelan dan memberikan minuman kemasan yang tadi dibeli diwarung. "Minum dulu Aya, biar kamu lebih tenang." Ucap Panji melepaskan pelukannya dan membuka tutup botol itu dan menyodorkannya kepada Aya. Aya pun menerima dengan wajah buang benar-benar jelek dan kusut, rambutnya sudah tidak beraturan. Keringat dan air mata sudah bercampur hingga membuat wajahnya yang cantik pun seketika hilang sirna. Satu teguk, dua teguk hingga beberapa teguk air masuk membasahi kerongkongannya yang mengering. "Mau makan? Atau mau roti? Kita hanya bisa melihat Fathur dari jendela kecil itu." ucap Panji pelan dan mengikat rambut Aya yang mulai kacau. Aya hanya pasrah dan tidak berdaya. Kedua kakinya lemas seakan butuh istirahat. "Kalian istirahat di joglo itu. Biar aku yang menjaga Fathur, nanti bila ada sesuatu aku bangunkan kalian." ucap Nunu yang iba melihat kondisi Aya. "Ayok Aya, tubuhmu butuh istirahat. Aku temani." ucap Panji yang begitu sayang dan lembut. Sikap dewasa dan bijak ini yang membuat Aya pun merasa aman, nyaman dan terlindungi. Saat ini Aya boleh berbesar hati karena Panji begitu tulus dan sayang membantu Aya. Aya sudah merebahkan tubuhnya di joglo Rumah Sakit khusus untuk penunggu pasien. Kepalanya di letakkan di paha Panji. Panji pun mengusap kepala Aya penuh kasih sayang, mereka berdua tampak kakak beradik yang saling menjaga dan menguatkan. Belaian itu awalnya membuat Aya merasa nyaman hingga tertidur pulas. Tubuhnya di selimuti oleh jaket milik Panji. Satu tangannya mengipas-ngipas agar nyamuk tidak mendekat dan mengganggu Sang Putri yang sedang tertidur karena kelelahan. Satu notifikasi masuk ke dalam ponsel Panji. Sebuah pesan masuk tertera nama Firman disana. 'Aku tahu kekuatan cintamu pada Aya. Bantu Aya melupakan aku, mungkin tragedi ini bisa jadi jalan untuk memisahkan aku dengan sahabatku. Walau sesungguhnya aku tidak pernah rela dia bahagia dengan siapa pun.' Begitulah isi pesan itu, menitah namun tidak ikhlas. Bagaimana itu bisa terjadi. Kalau begitu mau lakukan, lakukanlah jangan menyalahkan orang yang saat ini dekat dengan Aya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN